Tak ada salahnya dengan cemburu. Setiap orang berhak untuk cemburu pada pasangannya. Istri boleh cemburu pada suami. Suami boleh cemburu pada istri. Asalkan dengan satu syarat, cemburu tidak boleh didasarkan pada prasangka sehingga memunculkan fitnah kepada pasangannya. Cemburu seperti ini biasa dinakaman dengan cemburu buta. Cemburu tanpa alasan yang bisa dibenarkan yang bisa meretakkan rumah tangga. Seorang pasangan yang salih/salihah tidak boleh demikian. Seorang pasangan boleh cemburu tetapi harus dengan alasan yang wajar. Sebab cemburu adalah kodrat. Sehingga cemburu boleh saja dilakukan jika masuk akal dan didasarkan pada bukti yang kuat.
Cemburu ada karena rasa cinta. Karena itulah, seseorang yang normal akan menampakkan kecemburuan jika melihat pasangannya berbuat macam-macam dengan orang lain. Namun tidak boleh ada prasangka yang berlebihan. Maka dalam hal ini, seorang istri hendaknya memercayai suami begitu juga sebaliknya. keduanya harus harus jujur satu dengan yang lainnya. Keharmonisan keluarga dapat terganggu jika kesetiaan tiada atau kesetiaan yang terus menerus dicurigai.
Ada banyak orang yang memiliki rasa cemburu yang besar. Namun bagaimana cara merawat cemburu yang baik dengan batasan yang diperbolehkan oleh ajaran Islam? Adakah ajaran agama mengatur tentang cemburu untuk mewujudkan keluaga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Contoh yang terbaik dalam menyelesaikan masalah cemburu adalah Rasulullah Saw bersama istri-istrinya. Ada banyak hadis yang menceritakan bagaimana sikap Rasulullah kepada istri-istrinya. Begitu pula sebaliknya.
Kita bisa melihat bagaimana rasulullah dan Aisyah menghadapi kecemburuan. Aisyah adalah salah satu istri Rasulullah yang mudah cemburu. Jika saja Islam melarang cemburu, tentu Rasulullah sudah melarang Aisyah untuk cemburu. Akan tetapi Rasulullah Saw membiarkan kecemburuan itu tanpa melarang. Kecuali jika sudah berlebihan. Maka Rasulullah akan menegurnya.
Dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa Aisyah Ra pernah menampakkan kecemburuannya kepada Rasulullah. Suatu malam Rasulullah keluar dari rumah dan mendatangi istrinya yang lain. Kemudian dia mendatangi Aisyah. Namun Aisyah menampakkan muka cemberut tanda tak suka.
“Apakah engkau cemburu?” tanya Rasulullah Saw.
“Bagaimana mungkin orang sepertiku tidak cemburu kepadamu?” jawab Aisyah.
“Setan telah datang kepadamu.” Jawab Rasulullah Saw.
“Apakah setan bersamaku?”
“Tidak seorang pun yang tidak ditemani setan.”
“Engkau juga?” tanya Aisyah.
“Ya. Akan tetapi Allah Swt menolongku sehingga ia kalah dan aku selamat.”
Kecemburuan semacam itulah yang dianggap oleh Rasulullah saw sudah berlebihan. Oleh sebab itu, cemburu harus didasari pada alasan yang rasional. Tidak boleh cemburu tanpa alasan yang kuat. Jika hanya khawatir, boleh. Namun bukan berarti mencurigai hingga menuduh tanpa ada bukti. Sehingga menjerumuskan pada fitnah. Kecemburuan tanpa ada alasan termasuk suudzon.
Untuk mengantisipasi agar tidak cemburu buta, maka seorang pasangan hendaknya selalu menahan diri. Diusahakan agar tidak lepas kendali yang menyebabkan salah paham dan muncul pertengkaran. Seseorang bisa menjadi marah jika ia tidak berbuat buruk tetapi pasangannya menuduh yang bukan-bukan. Maka, hal ini perlu dihindari.
Dalam hadis lain dikisahkan bahwa salah seorang istri nabi Saw pernah cemburu. Dia adalah Hafsha putri Umar bin Khathab. Suatu ketika ia minta izin kepada Rasulullah Saw untuk pergi ke rumah ayahnya. Untuk sementara waktu, Rasulullah Saw yang menjaga rumah.
Hafshah kemudian pergi dan nabi saw di rumah sendirian. Tetapi tiba-tiba di depan rumah, Maria, istri nabi yang lain sedang melintas. Melihat Nabi Saw berada di dalam rumah, maka singgahlah Maria. Tak lama kemudian Hafshah kembali. Ia sangat terperanjat ketika melihat Maria sedang di rumahnya bersama Rasulullah. Sebagai seorang wanita, tentu hati Hafshah merasa cemburu melihat suaminya bersama wanita lain. Walaupun wanita itu adalah istri suaminya yang lain.
Maka Maria menyadari dan keluar rumah meninggalkan mereka.
“Mengapa Maria berada di rumahku? Enak benar engkau berduaan selagi aku pergi?” ujar Hafshah.
Nabi memaklumi kecemburuan Hafshah kepada Maria. Sebab saat itu memang giliran Nabi berada di rumah Hafshah. Meskipun antara Hafshah dan Maria sama-sama istri nabi, tetapi yang berhak bersama nabi adalah Hafshah. Karenanya kecemburuan Hafshah dianggap wajar dan masuk akal. Kecemburuan Hafshah bukan karena ia benci kepada nabi tetapi lebih karena mencintai Nabi Saw sebagai suaminya.
Berbeda dengan sikap Aisyah yang pernah cemburu namun menurut Rasulullah berlebihan. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Aisyah disebutkan, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘wahai Rasulullah, tidakkah engkau tahu bahwa Shafiyyah (istri lain nabi) orangnya begini dan begitu.”
Rasulullah pun menjawab, “Engkau telah mengucapkan sesuatu yang jika engkau campur dengan air laut, maka ucapan itu akan mengeruhkannya. Aku tak suka kekurangan orang lain sementara saya memiliki sifat ini dan itu. (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Imam Ahmad).
Kecemburuan seperti yang diceritakan sebagaimana kisah di atas merupakan kecemburuan yang hendaknya dihindari. Perasaan cemburu adalah sesuatu yang wajar. Apalagi pasangannya adalah sosok yang dibanggakan oleh banyak orang. Maka, seseorang biasanya akan cemburu sebab pasangannya dipuji oleh orang lain atau memiliki banyak penggemar. Maka seorang yang salih/salihah perlu menata hatinya agar cemburu tidak menjadi sumber konflik yang meretakkan hubungan rumah tangga.
0 Comments