Salah satu kitab favorit saya saat nyantri di Pesantren Lingkar Studi al-Quran (LSQ) Arrahmah—yang diasuh oleh Dr. K.H. Abdul Mustaqim—adalah kitab Adabul ‘Alim wal Mutaallim karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, salah seorang Pahlawan Nasional Indonesiayang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, ormas Islam yang terbesar di Indonesia. Dalam kitab ini, beliau banyak menekankan tentang pentingnya etika baik dalam belajar maupun mengajar.
Hal ini tercermin dalam judul kitab ini yang memang secara spesifik membahas tentang adab (etika). Dalam bab awal kitab, beliau mengutip pernyataan Ibnu Mubarak yang pernah menyatakan, “Kami terhadap adab (etika) meskipun sedikit lebih butuh ketimbang ilmu yang banyak (tanpa etika)”.
Di dalam belajar maupun mengajar, seseorang harus memiliki etika-etika yang benar agar berhasil dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat. Dalam kitab ini, beliau membagi pembahasan ke dalam beberapa bab. Di antaranya adalah tentang keutamaan ilmu; keutamaan penuntut ilmu (thalibul ilmi); keutamaan orang berilmu; etika seorang penuntut ilmu; etika seorang murid terhada guru; etika seorang guru secara personal; etika seorang guru terhadap muridnya, etika seorang murid terhadap pelajarannya.
Salah satu etika penuntut ilmu menurut beliau adalah mensucikan diri dari segala kotoran hati dan kerisauan, sifat hasad, dan buruk perangai. Hal ini diperlukan agar penuntut ilmu dimudahkan oleh Allah dalam memahami dan menghafal mata pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Selain itu, salah satu syarat memperoleh ilmu yang bermanfaat—menurut beliau—adalah memandang guru dengan pendangan penghormatan dan jikapun ada sifat buruk yang secara kasat mata dilihat dalam pribadi sang guru, maka sang murid dianjurkan untuk tidak berkomentar dan tetap ber-husnudzdzan kepada guru, sebab, boleh jadi hal ini merupakan salah satu cobaan yang sengaja ditampakkan oleh Allah untuk menguji seberapa sabar sang murid dalam menuntut ilmu. Membuat guru marah dan jengkel akan menjadi penghalang tersampainya ilmu yang bermanfaat.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary juga menekankan pentingnya belajar dan mudzakarah, mengulang-mengulang mata pelajaran yang sudah didapat. Dalam salah satu bab, beliau menyatakan, “Sedikit sekali seorang murid yang bisa sukses jika ia hanya rajin belajar dan berfikir di hadapan gurunya, tetapi setelah selesai pelajaran, ia meninggalkannya dan tidak mengulanginya lagi.”
Adapun bagi sang guru, kata beliau, selayaknya memandang semua muridnya dengan pandangan kasih sayang (bi’ainir rahmah) tanpa membeda-bedakan murid yang satu dengan yang lain. Salah satu bentuk kasih kasih sayang tersebut adalah selalu bersedia ketika ditanya dan dimintai bimbingan oleh sang murid jika mereka belum memahami pelajaran. Guru tidak boleh pelit dengan ilmu yang dimilikinya.
Hadratus Syaikh melanjutkan bahwa guru juga harus sabar ketika melihat sebagian muridnya mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran atau saat melihat sebagian murid yang bandel dan nakal. Hal ini juga merupakan ujian bagi guru seberapa sabar ia dalam proses ta’lim yang sedang ia jalani.
Di samping itu, pesan beliau, tidak sepantasnya sang guru menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai alat untuk memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi semata seperti ketenaran, harta benda dan pujian dari orang lain (wa la yanbaghi lilmuta’allim an yaj’ala ilmahu sullaman li aghrâdh al-dunyawiyyah). Mengajar menurut beliau harus diniatkan ikhlas karena Allah Swt.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga termasuk ulama yang sangat hati-hati. Ketika menjelaskan tentang etika mengajar, beliau mewanti-wanti seorang guru ketika selesai mengajar agar tidak bertanya kepada para murid “apakah kalian sudah paham?” Pertanyaan seperti ini menurut beliau adalah pertanyaan yang menjebak para murid pada kebohongan.
Berikut pernyataan beliau yang penulis bahasakan secara sederhana:
“Tidaklah pantas bagi seorang guru bertanya kepada murid-muridnya setelah selesai pelajaran dengan pertanyaan, ‘هل فهمت؟/hal fahimta?’ (Apakah kalian sudah paham? Atau, sudah paham kan?). Pertanyaan seperti ini terkadang menjerumuskan murid pada kebohongan. Karena biasanya murid-murid ketika ditanya seperti ini akan serentak menjawab, ‘ iya, pahaaam.’ Padahal belum tentu semuanya paham. Oleh karenanya, lebih baik melontarkan pertanyaan-pertanyaan terkait pelajaran untuk menguji sejauh mana pemahaman murid.”
Pilihan lain menurut hemat penulis, sang guru bisa mempersilahkan para murid untuk bertanya dengan menyatakan, “Silahkan bertanya bagi yang belum paham, tidak usah malu, pertanyaan adalah separuh dari ilmu pengetahuan.” Dengan begitu, diharapkan para murid tidak akan sungkan untuk bertanya.
Pembaca yang budiman, pesan-pesan yang disampaikan oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary ini sebagian memang berat untuk diamalkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita usahakan. Ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan secara keseluruhan, maka jangan ditinggalkan semuanya). Begitu pesan orang bijak.
Penulis berkesimpulan bahwa membaca karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary ini sama pentingnya dengan membaca kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh Azzarnuji untuk bekal bagi kita baik sebagai pelajar maupun pengajar. Wallahu a’lam bis Shawab. Semoga bermanfaat!
0 Comments