Kertas Rokok Linting: Upaya Kultural Merawat Tembakau

Jauh sebelum kampanye yang sesungguhnya merupakan kontestasi antara industri farmasi dan tembakau, tingwe dianggap lazim bagi masyarakat Indonesia, bahkan Nusantara.2 min


2
2 points

Kalau Anda memiliki waktu luang bervakansi ke Gunung Kidul, bukan semata mampir ke tempat wisata seperti pantai, tebing, maupun gua, melainkan ke dusun-dusun pelosok, maka Anda akan menemukan peristiwa kultural yang lazim terjadi. Kebanyakan masyarakat di sana, sejauh pengamatan saya sebagai “orang dalam”, merokok “tingwe” (linting dewe) merupakan hal biasa, bahkan telah mentradisi menjadi bagian dari habitus kehidupan sehari-hari.

Tingwe menjadi tanda akan penikmatan kehidupan bagi masyarakat Gunung Kidul. Melinting kertas rokok yang berisi tembakau dan “bahan-bahan alam lain” sesuai kreativitas sendiri, bahkan kerap kali ditambahkan “kemenyan”, adalah upaya resisten mereka melawan rokok konvensional secara simbolis.

Mereka tak ingin terjebak pada kapitalisme rokok, sehingga tingwe dikonsumsi sebagai suatu proses pula. Proses yang saya maksud di sini antara lain menegaskan merokok tak sekonyong-konyong menghirup asap tapi juga seni melinting.

Bagaimana tingwe telah mentradisi dalam “darah daging” masyarakat Gunung Kidul, baik bagi orang tua maupun anak muda? Tentu saja jamak versi mampu menjelaskan fenomena ini. Namun, saya tak hendak menyasar ke sana, melainkan cenderung menitikberatkan bagaimana tingwe merupakan ekspresi kultural yang konsisten memakai kertas khusus dalam proses penikmatan rokok.

Kertas “Manis”

Saya dilahirkan di sebuah dusun terpencil sebelah selatan, Gunung Kidul. Sebagian besar masyarakat di sekitar tempat kakek saya tinggal, hampir semuanya perokok, termasuk paman serta keponakan saya sendiri. Sewaktu masih kecil, sebelum pindah ke kota, saya tinggal bersama nenek. Seingat saya, semua anggota keluarga, khususnya laki-laki, merupakan ahli hisap tingwe yang aktif.

Rasa antusias sewaktu kecil terhadap kertas rokok begitu kuat. Terkadang, ketika lenggang, saya mencuri-curi kesempatan untuk mengambil kertas itu. Bau kertas itu harum dan kuat sampai sekarang bila saya mengingat-ingat peristiwa detailnya.

Saya suka menjilat kertas tersebut karena berasa manis di lidah. Mencecap rasa manis itu, selain juga mencapur bubuk kopi dan gula untuk mendapatkan rasa serupa, adalah kenangan masa kecil yang sukar dilupakan sampai sekarang.

Kalau ketahuan kakek, saya hanya diingatkan. Tapi bila ibu saya tahu, ia akan naik pitam. Kenakalan masa kecil demikian mungkin sukar ditoleransi banyak orang tua. Namun tidak bagi kakek. Dugaan saya, kakek sudah melakukan tradisi tingwe sejak dini. Itu berarti membaui harum manisnya kertas rokok itu sudah dilakukan berdekade-dekade silam olehnya.

Ketabuan terhadap rokok, khususnya tingwe, mengakar kuat sejak kampanye anti rokok mengemuka belakangan. Jauh sebelum kampanye yang sesungguhnya merupakan kontestasi antara industri farmasi dan tembakau, tingwe dianggap lazim bagi masyarakat Indonesia, bahkan Nusantara sebelum itu.

Kita tahu, pendiri bangsa Indonesia mayoritas merupakan perokok berat. Agus Salim contohnya. Ia terkenal sebagai diplomat yang kerap kali menggunakan tembakau sebagai wacana bilateral dalam mendekati pimpinan negara lain.

Saya tak hendak menandaskan sekaligus membongkar ketabuan untuk merokok. Saya sekadar mewacanakan bagaimana tingwe sebagai tradisi merawat kebudayaan tembakau telah eksis jauh sebelum kampanye anti rokok bergeliat. Sementara para pendiri bangsa, selain mengucapkan retorika seputar nasionalisme maupun kedaulatan, saya kira dapat dikontekstualisasikan dari dan melalui tembakau.

Dengan kata lain, nasionalisme juga berarti cinta akan industri tembakau dalam negeri, sedangkan kedaulatan sama artinya pula dengan merawat tradisi lewat berdiri di atas kaki sendiri. Jauh dari hiruk-pikuk kampanye anti rokok yang acap diwacanakan di kota metropolitan, di sebuah dusun terpencil di Gunung Kidul, tradisi tingwe yang menggunakan kertas khusus beraroma manis itu masih mengakar kuat di tubuh kebudayaan setempat.

Dialog Kultural

Kertas rokok tingwe, saya kira, juga dapat menjadi jembatan relasi antarmasyarakat ahli hisap. Maksud saya di sini adalah bagaimana transaksi antara penjual dan pembeli dalam lanskap pasar tradisional bukan hanya terjadi karena saling menguntungkan, melainkan juga terjadi pola komunikasi berbasis kultural.

Manakala saya ikut kakek saya ke pasar untuk membeli kertas tingwe, saya melihat bagaimana komunikasi di antara mereka terjalin hangat. Kohesi sosial terkadang mewujud dalam percakapan mengenai rokok, kertas, tembakau, dan persoalan-persoalan sosiologis lain.

Di samping itu, ketika ahli hisap kehabisan kertas tingwe, terkadang mereka tak langsung ke penjual, tetapi merapat ke perokok lain. Kakek salah satu contohnya. Ia sering menerima “silaturahmi” dari tetangga maupun anak-cucunya untuk dimintai kertas tingwe.

Maklum saja, sebagai buruh tani, ia cukup memiliki kapital untuk membeli apa pun, khususnya bahan-bahan rokok tingwe. Bukan berarti kakek tajir, melainkan pola konsumsinya hanya seputar kebutuhan rumah tangga, sebab semua anak-anaknya telah “mentas” (lepas) dari tanggung jawab. Semua telah berkeluarga sendiri.

Proses komunikasi dengan anak-cucu yang meminta kertas rokok ke kakek tak berjalan linier. Terkadang topik komunikasi di antara mereka menyasar ke wacana-wacana interdisiplin. Kakek adalah penutur sekaligus pencerita yang ulung. Seraya melinting kertas berisi tembakau untuk kemudian dinikmatinya, ia bisa bercerita selama berjam-jam tanpa pendengar merasa bosan. Ada-ada saja kisah tertentu yang diujarkan kakek tatkala merokok. Saya ingat betul.


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Rony K. Pratama
Pembelajar di Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals