Tidak sedikit para akademisi, peneliti, dan aktivis sosial-HAM mengkritik kebijakan Jokowi. Bentuknya beragam, mulai dari membikin opini, kertas kerja, hasil riset, survei, artikel jurnal nasional dan internasional, buku, bagian buku, proseding internasional, focus group discussion (fgd), dan seminar. Kritik itu tidak hanya tajam, melainkan memiliki argumen yang akurat dengan data yang berlimpah. Isu yang diangkat pun sangat beragam.
Namun, semua kritik itu apakah mendapatkan perhatian dari pemegang kebijakan ataupun lingkaran terdekat Jokowi? Mungkin saja didengarkan, meskipun belum tentu dilakukan. Kalau misalnya dilakukan, dalam konteks pengendalian covid-19, jumlah terinfeksi tidak akan sebanyak ini. Jika mendengarkan kritik, KPK akan tetap berdiri kokoh, membawa dan menangkap bajingan tengik para koruptor itu ke jeruji besi. Pelanggaran HAM masa lalu sudah tuntas dan mereka yang kebal hukum akan di penjara karena tidak imun terhadap kejahatan yang dilakukan.
Namun, lingkaran terdekat Jokowi justru telinganya lebih sensitif dengan visual gambar meme twittan mengenai Jokowi yang menggunakan mahkota dengan latarbelakang bibir merah. Secara estetik, visual itu sangat buruk. Penggunaan istilah bahasa Inggris yang terlalu anak muda Jakarta dengan bahasa which is dengan mengatakan “Jokowi: the King of Lip Service” yang diunggah oleh BEM UI ini juga sebenarnya enggak keren-keren amat.
Baca juga: Quo Vadis UU ITE dan Kebebasan Berpendapat |
Dengan kata lain, ini sebenarnya kritik yang engga intelektual dan elegan. Namun, yang menjengkelkan, mengapa kemudian direspon? Visual meme dan julukan tersebut tidak hanya bikin gerah pendukung Jokowi, melainkan juga lingkaran orang terdekat yang mendukung dan bekerja dalam pemerintahan Jokowi dengan menganggap itu sebagai stigma ketimbang kritik. Hadeh!
Di sini poin utama yang saya sesalkan, mengapa orang-orang terdekat Jokowi dan penggemarnya justru lebih sensitif menerima kritikan dengan visual meme dan kalimat semacam itu ketimbang kritik dengan hasil riset dan akademik?
Di sisi lain, kritik tajam dengan hasil logis dan sistematis melalui data dianggap sebagai angin lalu. Hal ini menunjukkan bahwa cara mengkritik BEM UI itu adalah tepat. Sementara, cara mengkritik yang dilakukan oleh kaum intelektual/akademisi/peneliti sekaligus juga aktivis sosial-HAM yang dianggap memiliki data dan ilmiah justru tidak menemukan momen artikulasinya di ruang publik; disambut dengan kontroversi dan perbincangan publik luas.
Saya merasa bahwasanya ada yang salah dengan kerja-kerja intelektual dan akademik sekaligus advokasi para aktivis. Menyentil kekuasaan tidak perlu dengan data apalagi hasil riset dengan saintifik dengan kalkulasi data yang kokoh. Sebaliknya, mengkritik rejim kekuasaan adalah cukup dengan bermain-main ala anak muda dengan visual meme seadanya dan tidak perlu canggih. Di tengah itu, perlu adanya ungkapan bahasa Inggris yang pas untuk merepresentasikan meme tersebut.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments