Emha Ainun Najib (selanjutnya ditulis Cak Nun) dalam bukunya yang berjudul Allah Tidak Cerewet Seperti Kita banyak menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara singkat dan agaknya berbeda dengan para penafsir sebelumnya. Salah satu ayat yang ditafsirkan adalah surah at-Taubah[9]: 128.
لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ (١٢٨)
Artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128).
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh utusan Allah yaitu Nabi Muhammad saw. Seorang utusan yang memiliki sifat “azizun ‘alaihi ma anittum” yang melihat betapa berat penderitaan kaumnya. Selanjutnya yaitu “Harisun ‘alaikum” yang mendambakan keselamatan bagi kaumnya.
Selanjutnya yaitu “Raūfur rahim” yang memiliki rasa kasih dan sayang terhadap umatnya. Allah menyebutkan terdapat limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang mukmin melalui seorang rasul yang diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri.
Seorang rasul yang memiliki bahasa, budaya, dan kebiasaan seperti manusia pada umumnya. Ja’far ibnu Abu Talib r.a. berkata kepada Raja Najasyi “Sesungguhnya Allah telah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri. Kami mengenal nasab (keturunan)nya, sifatnya, serta kebenaran (kejujuran) dan amanatnya.”
Berbeda dengan Ibnu Katsir, Cak Nun mempunyai cara tersendiri untuk menafsirkan ayat tersebut. Cak Nun mengawali penjelasannya dengan teori pemimpin. Menurutnya, teori pemimpin di dalam Al-Qur’an digambarkan oleh Allah ketika mendefinisikan sosok siapa itu Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan surah at-Taubah ayat 128 ini ada 2 sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama yaitu dari ayat min anfusikum ‘azizun ‘alayhima ‘anittum. Cak Nun mencontohkan dengan seorang bupati yang tidak tega melihat penderitaan rakyatnya, tidak akan makan enak ketika melihat rakyatnya masih ada yang tidak bisa membeli beras.
Baca juga: Kepemimpinan Transformatif dalam Al-Qur’an |
Sifat pertama ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar menjadi pemimpin yang melek terhadap kondisi atau keadaan rakyatnya. Jika seorang pemimpin memiliki sikap kemanusiaan seperti yang dijelaskan dalam ayat tersebut maka kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama selama masa kepemimpinannya.
Sifat pertama ini jika dapat dimiliki oleh seluruh pemimpin di negara kita ini maka tidak akan ada ketimpangan dan mengurangi jumlah koruptor maupun dampak negatif dari korupsi itu sendiri.
Memiliki seorang pemimpin yang adil dan mengerti keadaan masyarakat adalah cita-cita yang ingin terwujudkan di semua daerah. Hal ini juga sesuai dengan sila kelima pancasila yang jelas tertulis keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat akhir-akhir ini masih menjadi catatan tebal yang belum bisa terselesaikan. Keadilan sosial yang masih dengan syarat dan ketentuan berlaku menjadi pesan yang harus diperbaiki oleh pemimpin dan jajarannya.
Kedua yaitu harîshun’alaykum bil mu’minina raūfur rahim bertumpuk-tumpuk kasih dan sayang kepada rakyatnya yang kemudian diaplikasikan dalam banyak hal. Salah satu yang dicontohkan yaitu ketika banyak protes dengan Nabi terhadap muadzin Bilal.
Dia adalah budak yang dibeli oleh Abu Bakar yang kemudian disiksa oleh Abu Jahal, diinjak-injak, ditimpa batu, dipukuli dan diperintahkan untuk murtad namun dia tidak mau. Bilal tetap memeluk agama Islam dan menjadi seorang muslim. Secara fisik dia tidak begitu bagus namun Nabi sangat mencintainya.
Nabi kemudian menunjuk Bilal untuk mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya. Para sahabat banyak yang protes tidak setuju karena Bilal tidak dapat mengucapkan huruf “syin” dengan fasih. Namun Nabi menjawab protes sahabatnya itu dengan kalimat yang sangat pendek “sinnya Bilal itu sama dengan syin”. Para sahabat terdiam.
Cak Nun mengakhiri penjelasannya dengan pernyataan bahwa tidak begitu penting caramu mengucapkan kata-kata, yang terpenting adalah kesungguhan dalam mengungkapkan cintanya. Mengucapkan kata-kata tidak sepenting dengan tindakan yang dilakukannya. Hanya sebuah janji namun tidak ada pergerakan maka tidak akan dapat merubah situasi apapun.
Seperti ungkapan orang Jawa ojo omong tok, jangan hanya berbicara namun harus diikuti dengan tindakan yang nyata. Begitulah sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin. Seperti yang dicontohkan oleh Cak Nun bahwa pemimpin harus mencintai rakyatnya dan mau memperjuangkan rakyatnya demi kesejahteraan mereka.
Baca juga: Menyiapkan Pemimpin |
Kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama seorang pemimpin. Bukan memperkaya dirinya sendiri namun memikirkan apakah rakyatnya sudah makan hari ini? bagaimana keadaaan rakyatnya? masih adakah yang kelaparan dan tidak memiliki tempat tinggal?. Pemimpin dan rakyat harus bersinergi untuk mengentaskan kemiskinan.
Cara Cak Nun menjelaskan ayat ini begitu mendalam. Mengambil sari pati yang tidak banyak tersentuh oleh para penafsir sebelumnya. Menarik sebuah kesimpulan yang sangat cerdik dan tajam.
Editor : Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments