Seusai pertarungan akbar di Pilpres 2019, suhu politik nasional kian mereda, sinyal “perdamaian” mulai bermunculan. Namun, serpihan pertarungan, seperti cacian, dendam, dan bully masih santer terasa di masyarakat, contohnya polarisasi dan politik identitas yang meninggalkan noda hitam dalam kehidupan bernegara. Bahkan, terdapat beberapa cuitan di media sosial yang melaporkan adanya “konflik” keluarga akibat perbedaan pilihan politik.
Annisa Alrazi, pemilik akun di media sosial mengungkapkan konflik keluarga akibat perbedaan politik yang berujung saling mengumpat, rasis, dan fitnah. Menurut Hamdi Muluk (2019), pengamat psikologi politik Universitas Indonesia, fenomena seperti ini, “menunjukkan perpecahan yang terjadi setelah pemilihan presiden, polarisasi yang disebutnya semu karena tidak memiliki landasan yang jelas”. Ketidakjelasan basis argumen seringkali menjadi dalil pembenaran, yang justru mengarah pada perpecahan bangsa. Pluralisme jadi tantangan integrasi.
Sejauh yang dipahami, mengenali pluralisme, keberagaman, dan sebagainya cukup dengan membuka kamus, selesai. Namun, mewujudkannya yang menjadi problem. Bear F. Braumoeller (2003), dalam artikelnya yang bertajuk “Perspective on Pluralism”, berpendapat: “Agreeing that pluralism is good is one thing; implementing it, however, raises a host of questions that are far more difficult to answer.” Pluralisme yang diagungkan, nyatanya hanya sekadar “kebelet” akan keberagaman yang justru melahirkan wacana moderasi yang hilang arah.
Diskursus Moderasi Hilang Arah
“Kebelet” akan keberagaman sedang digaung-gaungkan, dan moderasi menjadi diksi yang banyak diminati, khususnya para politikus altruis negeri ini. Pertaruhannya, moderasi menjadi wacana yang paling rentan menjadi alat politisasi dan legitimasi kepentingan. Shamsi Ali (2017), Imam Besar Masjid New York, berpendapat, “kata moderasi seringkali dipakai sebagai senjata untuk menyerang sesama untuk tujuan yang satu, yaitu menekan kelompok lain dalam komunitasnya sendiri…”. Moderasi, bergeser menjadi alat penekan kelompok yang efektif.
Selain itu, moderasi yang multitafsir dapat diartikan beragam, misalnya, “biarkan orang melakukan apa pun tanpa dibatasi oleh aturan tertentu”, “suka-suka gue yang penting ga ganggu hidup loe”, atau “lakukan secara optimal dan ala kadarnya”. Namun, penulis sendiri berpikiran bahwa moderasi yang kita kenal tidak jauh beda dengan prinsip sekuler, padahal berbeda. Sehingga, membuat arah wacana moderasi menjadi legitimasi bagi kelompok penekan untuk membuat kelompok lain termarginalisasi bila menentang gerakan “open minded” semunya.
Dengan problem seperti itu, sepantasnya wacana moderasi kehilangan pokok rimbanya. Ibarat kompetitor, tidak tahu siapa musuhnya, maka apakah mungkin ia bisa mempersiapkan diri menghadapi tantangan di depannya? Maka dari itu, perlu adanya penegasan kembali makna “moderasi”, barulah menyemai diskursus bersama, lalu menuai hasilnya berupa konsep moderasi yang secara sah dan meyakinkan, tidak menimbulkan gesekan persepsi.
Oleh karena itu, kompleksnya interaksi budaya seharusnya menjadi bahan pembelajaran bagi akal sehat. Gurnah (Scott, 1997:120) menggunakan istilah cultural complex untuk menggambarkannya, artinya “…rangkaian proses yang memotivasi setiap orang untuk bekerja dalam proses menyaring, menyusun, memisahkan, memilih, dan mengaktifkan tanda-tanda dan simbol-simbol kultural supaya kita menjadikan pertemuan kebudayaan menjadi produktif, bermakna dan memungkinkan eksis.” Dapat disimpulkan, ada sesuatu yang hilang di masyarakat.
Hidupkan Kembali Kehangatan Bernegara
Cultural complex, seperti yang disinggung di atas, merupakan serangkaian interaksi banyak kebudayaan yang memungkinkan manusia belajar dari keberagaman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Hujurat (49): 13, di mana manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Bukan tanpa sebab Tuhan menciptakan demikian, misalnya, beras sebanyak apa pun akan tetap dipanggil beras, sedangkan manusia itu unik dan karena keunikannya maka keberagaman adalah niscaya dan interaksi perlu dilakukan.
Sebagai bangsa yang besar, menjaga kehangatan berwarganegara bukan hanya kewajiban negara, tapi seluruh elemen bangsa. Hal itu bisa dilakukan dengan menjaga interaksi antarwarga negara. Semua itu didasari bahwa perbedaan yang tidak diikuti dengan rasa empati dan tenggang rasa, memicu klaim sepihak dan menganggapnya adalah sumber kebenaran yang dapat memicu konflik. Oleh karena itu, kehangatan warga negara harus dipupuk kembali dan meneguhkan kembali sikap gotong-royong yang kian terkikis. Itulah nilai-nilai yang mulai hilang di masyarakat.
Demi terwujudnya kehangatan berwarganegara, penghormatan atas keberagaman menjadi sakral. Persoalannya bukan “terserah padaku”, toh ada nilai normatif yang konsekuen dijalankan subjek dalam masyarakat, melainkan tanggung jawab dan jujur mengakui kekurangan. Artinya, butuh lebih dari sekadar “kenal” agar bisa membentuk interaksi yang intensif. Maka, dengan jalan keterbukaan dan saling menghormatilah akan memunculkan penghargaan dan keinginan untuk hidup bersama, atau meminjam istilah Ernest Renan, “kehendak untuk hidup bersama”.
Penghormatan di sini tidak diartikan “membiarkan” orang bebas melakukan semaunya, melainkan melaksanakan sesuai kadarnya dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Misalnya, larangan dan perintah dalam agama jangan diartikan sebagai “anti-moderasi”, tapi jadikan itu sebagai kekayaan intelektual. Erich Fromm (dalam As-Sirjani, 2015) pernah berkata, “janganlah anda memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang kamu tidak ingin diperlakukan seperti itu.”
Akhirnya, kita mengetahui bahwa kehangatan berwarganegara dimulai dari “kehendak hidup bersama” dan keinginan untuk menjaga interaksi. Gotong-royong merupakan jiwa bangsa warisan leluhur yang mesti dihidupkan kembali. Akan tetapi, ada satu musuh berbahaya lagi yang bersembunyi di balik bayang, mengintai untuk menguasai pikiran kita. Musuh itu dikenal sebagai “meme jahat”, yang terus mempermainkan pikiran dan mengeruk keuntungan dari manusia yang terjangkiti. Pengetahuan, dan gotong-royong saja tidak cukup, perlu komitmen untuk melawannya.
Melawan Meme “Jahat”
Waspadalah! Meme bekerja diam-diam. Meme sendiri merupakan istilah yang dikemukakan oleh Richard Dawkins dalam bukunya yang berjudul The Selfish Gene. Ia menggambarkannya dengan “memori”, karena meme (mim) bekerja menempelkan gagasan di benak lalu menyebarkannya ke benak orang lain, dan terus meloncat-loncat, seperti lagu Seṅorita yang “dikoplokan” oleh Via Vallen dan terus mengiang-ngiang di telinga. Richard Brodie (2005) mendefinisikan meme sebagai, “batu-sendi akal budi, pemrograman ‘komputer’ mental anda”.
Gagasan akan adanya kehidupan setelah kematian, benar-benar mendorong manusia untuk hidup optimal dan dipenuhi kebajikan, itu meme yang baik. Lalu, apa yang terjadi jika meme yang disebarkan ternyata “jahat”? Sebagai contoh, kemunculan sentimen terhadap umat Islam merupakan bukti adanya “gagasan” yang menyebutkan “muslim ekstremis” yang dicirikan dengan janggut atau bergamis. Padahal, itu hanya meme yang dilekatkan oleh orang-orang yang berkepentingan saja. Inilah yang sedang kita hadapi, meme moderasi yang konon sudah terjangkit.
Meme yang sedemikian rupa digambarkan sebagai “virus akal budi”. Itulah alasan penulis menggunakan “jangkit”, layaknya virus yang menjangkiti tubuh manusia, virus akal budi bisa menjangkiti otak yang membuat kebebasan kita terancam. Pada penjelasan “Diskursus Moderasi Hilang Arah” penulis sempat menyebutkan multitafsir atas konsep moderasi. Alhasil, kita terjebak di persimpangan konsep antara moderasi dan sekuler. Kebetulan juga, sekuler memang gagasan yang menyenangkan bagi orang-orang yang bermasalah dengan aturan baku, seperti agama.
Maka dari itu, meme jahat moderasi ini perlu dibasmi dengan lebih banyak komitmen. Komitmen yang dibutuhkan di sini adalah untuk tidak mudah dibodohi dan terbuai oleh janji dunia, mirip seperti obralan janji politikus. Alasannya sangat mudah, mengapa Adam dan Hawa diusir dari surga, itu karena tipu muslihat setan yang mengabarkan kerajaan abadi jika telah menelan buah terlarang. Maka, dengan membentengi diri dengan meme diri yang lebih kuat, akan mampu mencegah meme jahat untuk masuk ke dalam pikiran.
Penawar virus lainnya adalah devirusiasi terhadap meme “jahat” moderasi melalui “awasi pikiran”, “bentengi dengan pengetahuan dan pengalaman”. Gunakan pikiran sebagai senjata yang bisa digunakan secara bebas dan terbuka. Artinya, biarkan dirimu terbuka, seperti penjelasan pada bagian sebelumnya, menghormati dan memahami orang lain. Ingatlah pernyataan A. N. Whitehead, “semua kebenaran adalah separuh kebenaran” (Brodie, 2005). Tidak semua yang kita tahu adalah benar, dan tidak semua yang tidak kita ketahui adalah salah.
Di penghujung penjelasan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa bahaya laten meme jahat dapat menimbulkan perpecahan. Ingatkah ketika dulu Belanda menggunakan teknik yang sama untuk memecah belah bangsa, devide et impera. Mungkin, hari ini, meme seperti itu telah terselubung oleh argumen-argumen manis, pembangkit selera, dan bumbu yang dicomot seperti permainan puzzle. Pentingnya pikiran kita untuk terbuka dan terus belajar dari masa lalu dan masa kini. Tujuannya, untuk merajut kebersamaan sebagai anak bangsa.
Bagaimanapun, wacana tentang moderasi masih terlalu dini. Perdamaian yang dicita-citakan, bahkan sudah ada jauh sebelum lahirnya konsep kompleks seperti itu. Manusia adalah homo socius, makhluk yang ditakdirkan untuk hidup secara sosial. Maka, interaksi dengan kebudayaan lain merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terhindarkan. Yang pasti adalah meluruskan pemahaman kita tentang moderasi dapat membantu kita mengenal lebih baik.
Itulah refleksi kebangsaan pascaplipres yang sempat terbelah oleh perbedaan politik, atau lebih jauh lagi pasca munculnya pikiran moderasi yang salah arah. Kita hidup di negara dengan lebih dari ratusan suku bangsa dan bahasa. Dan itu membuktikan kita masih bertahan selama lebih 74 tahun kemerdekaan. Bila kita tidak mampu menjaga perdamaian, apa yang akan dipikirkan pendiri bangsa jika melihat kita ribut hanya karena berbeda pilihan presiden atau agama yang dianut?
Dengan kata lain, moderasi memang diperlukan selama kita bisa memahami dan saling menghormati satu sama lain. Kebebasan yang bertanggung jawab, itulah yang mesti dipertahankan. Kehangatan berwarganegara perlu ditegakkan. Keberagaman perlu dilestarikan, sehingga kita bisa berkaca pada kisah masa lalu, bagaimana bangsa ini terbentuk oleh segenap bangsa dan bukan segelintir orang. Dengan begitu, jangankan sebuah wacana, moderasi akan terwujud jika manusia Indonesia menyadari bahwa dirinya anak dari sebuah bangsa yang besar.
Daftar Pustaka
Ali, S. (2017, Mei 6). About Us: Republik Online. Retrieved from Republik Online Web Site: https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/05/05/opgnlt396-memahami-moderasi
As-Sirjani, R. (2015). The Harmony of Humanity. (F. Hasmand, Ed., F. S. Nur, M. Irham, & M. A. Zuhri, Trans.) Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Braumoeller, B. F. (2003, July). American Political Science Association. Retrieved from Apsanet.org Website: www.apsanet.org
Brodie, R. (2005). Virus Akal Budi. (T. Hermaya, & C. M. Udiani, Trans.) Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
BBC Indonesia. (2019, Mei 31). BBC News Indonesia. Retrieved from BBC News Indonesia Web Site: https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-48474408
Scott, A. (1997). The Limits of Globalization: Cases and Arguments. London: Routledge.
#LombaEsaiKebangsaan dan #LombaEsaiArtikula
Esai yang bagus. Persatuan dan kemajuan bangsa ini bukan hanya ditantang dari luar, tetapi juga dari dalam. Kita harus melakukan konsolidasi secara terus-menerus untuk mematangkan persatuan dan gerak maju!
Terima kasih ka
Mantap qaqa, semangat menulisnya aku pembaca setiamu wkwkwk