Pembela bangsa merupakan suatu yang menjadi cikal bakal warga negara hidup bernegara dan bagian yang vital karena merupakan kewajiban suatu warga negara membela bangsa. Sedangkan penegak agama adalah situasi dimana manusia secara hakiki sebagai pandangan hidup yang terarah dan dijadikan sebagai pegangan dalam mengarungi hidup dan kelak setelah ajal tiba sesuatu yang dipertanggungjawabkan.
Memang bila kita membahas konteks bela negara dan penegak agama keduanya saling berkaitan. Bela negara lebih meranah pada spesifikasi kehidupan bernegara, lain halnya dengan penegak agama mengarah pada kehidupan secara universal karena meliputi ruang lingkup secara luas dan menyeluruh terhadap kehidupan beragama.
Mujahidin (2015) menjelaskan bahwa mencari akar demokrasi dalam Islam atau mempertanyakan apakah demokrasi sesuai dengan Islam merupakan pekerjaan yang melelahkan. Selain kurang relevan, sudah jelas bahwa tujuan agama sendiri tidak untuk melawan perubahan, termasuk kemajuan, apalagi yang bersifat menyejahterakan umatnya.
Beliau menambahkan terkait itu, bahwa sekularisasi yang mencaci maki agama dan menyingkirkan agama seperti candu menjadi catatan sejarah tersendiri bagi umat beragama. Namun, sejarah itu tidak bisa membentuk sikap traumatik yang membuat umat beragama dalam keterbelakangan. Untuk itu, sebuah sikap bijak adalah memikirkan ulang (rethinking) terhadap tradisi yang hendak dipertahankan sehingga agama dan pemeluknya tidak dalam keterasingan dengan perubahan dan modernitas, tetapi justru menjadi subyek dari perubahan.
Memegang teguh agama bukan menjadi keterbelakangkan, terutama agama Islam harus berkemajuan berkonsep pada pembaruan aqidah dan muamalah duniawi yang mengarah pada pemurnian Islam ke arah sesuai dengan dalil berupa Al-Quran, Hadist (dalil naqli) dan istijad (dalil aqli). Lain halnya dengan muamalah duniawiyah yang mengarah pada pembaharuan Islam yang menjadikan Islam berorientasi pada kemajuan paradigma maupun implementasi kehidupan yang berprogres. Dalam artian, Islam jangan sampai terpinggir dan terasing, serta statis.
Mengenai demokrasi, tentu dalam hal ini juga sangat berkaitan dengan analisis konteks demokrasi (Yunani) itu sendiri kata demos yaitu rakyat dan kratos itu pemerintah berarti pemerintahan rakyat yang secara analisis dapat disimpulkan bahwa kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
Dalam hal tersebut, mengarah pada muamalah duniawiyah yaitu berkonsep pada kesejahteraan rakyat karena demokrasi bervisi bahwa apabila suatu negara menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, maka akan terwujud keadilan sosial yang berorientasi pada spekulasi kesejahteraan sosial.
Rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara-negara sangat sulit ditegaskan. Tetapi kalau diperhatikan, arena persemaian awal konsepsi tentang nasionalisme dan negara-bangsa dan diikuti logika di balik kehadiran nasionalisme dan negara-negara yang tumbuh di negara bekas jajahan, kita akan menemukan bahwa keduanya pada dasarnya adalah pakta perjanjian antara warga yang berdaulat dengan negara (Lay, 2006, hal. 172).
Tumbuhnya jiwa nasionalisme warga negara Indonesia memiliki latar belakang tersendiri. Seperti yang diungkapkan Cornelis Lay: pada dasarnya negara Indonesia yang dijajah dalam kurun waktu yang lama dan mampu memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan perjuangan mengusir penjajah, sehingga belajar dari sejarah kelam tersebut mendorong tumbuhnya jiwa nasionalisme.
Hal itu menyebabkan embrio lahirnya paradigma maupun tindakan bela negara yang tumbuh dalam fitrah kehidupan bernegara rakyat Indonesia. Adanya nasionalisme menjadi alasan kuat bagi warga negara untuk berkeinginan membela negaranya dari segala ancaman kecil maupun besar.
Dalam sebuah seminar di Salatiga sekitar 15 tahun yang lalu, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sejarawan senior dari Universitas Gajah Mada, berdasarkan hasil kajian beliau di atas dokumen-dokumen dalam pergaulatan awal sebelum mencapai kesepakatan mengenai sumpah pemuda, mengungkapkan bahwa elemen-elemen prinsipil yang inherent dalam gagasan nasionalisme meliputi antara lain: kebebasan, demokerasi, keadilan sosial, dan prestasi.
Sebagai sebuah pakta perjanjian antara warga negara dengan negara, nasionalisme mengharuskan adanya tanggungjawab dua pihak, yakni negara dan masyarakat.
Di sisi masyarakat atau warga sebuah bangsa, tanggungjawab diekspresikan dalam bentuk kesediaan untuk menerima norma-norma moral dan legal dari kolektivitas ketersediaan untuk mempertahankan negara, termasuk membayar pajak, mendukung penguasa yang dinilai baik, dan seterusnya. Hal-hal diatas didorong oleh semacam self-concious belief terhadap nasionalisme dan negara-bangsa yang ada (Lay, 2006, hal. 173).
Dalam kehidupan bernegara, tak lepas dari kewajiban bela bangsa yang menjadi cikal bakal negara tersebut menjalankan roda pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara yang menjadi otoritas suatu bangsa bersinkronisasi antara warga negara dengan jajaran pemerintahan bersinergi atas nama negara. Dalam bela negara tak lepas dari unsur nasionalisme yang bersarang dalam paradigma maupun jiwa warga negara yang mengarah pada wujud rill sebagai warga negara yang peduli, siap membela dan menjaga keutuhan negara.
Hasan (2013) mengatakan: “Setiap agama pasti memiliki sisi-sisi eksklusif (al-inghilaq) dan inklusif (al-infitah) yang sangat mempengaruhi dalam sikap keagamaan seseorang. Sisi eksklusif (alinghilaq) ini tercermin dalam masalah terutama aqidah dan ibadah. Setiap agama memiliki kekhususan tersendiri yang tidak dimiliki agama lain dan tidak boleh dicampur adukkan.”
Selanjutnya, Hasan mencampur adukkan kedua hal tersebut dengan kenyakinan lainnya yang dinyakini tidak hanya menjadikan tertolaknya aqidah dan ibadah tersebut, namun juga dapat menghilangkan eksistensi agama itu sendiri. Dan tentunya akan mempengaruhi kepada keharmonisan antar umat beragama, bahkan melahirkan kondisi sosial kemasyarakatan yang tidak sehat. Sedangkan sisi inklusif (al-infitah) tercermin dalam sikap sosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Bu Tedjo dan Refleksi Kedewasaan Berinternet |
Sinkronisasi Bela Negara dan Penegak Agama
Sisi eksklusif agama sudah jelas mengarah pada internalisasi agama berupa aqidah dan ibadah yang secara mutlak berotoritas pada pendoman masing-masing atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga secara tidak langsung mendorong keharmonisan.
Sedangakan hal lain yang mempengaruhi keharmonisan beragama berkenaan juga dengan sisi inklusif (al-infitah) yang sangat mempengaruhi sikap keagamaan seseorang yang berspekulasi pada ranah sikap sosial kemasyarakatan; berbangsa dan bernegara.
Kedua hal tersebut merupakan faktor indikator penegak agama dilihat dari perspektif hubungan vertikal dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sangat mempengaruhi secara universal mengenai agama yang dianut, dan dari perspektif duniawiyah yang merujuk pada keajekkan maupun eksistensi agama dianut yang tercermin pada sosial yang nantinya berspekulasi pada tindakan bela negara secara rill.
Haryatmoko mengungkapkan (dalam jurnal Mujahidin, 2015, hal. 23) Pluralitas yang perlu dihadirkan oleh agama menurut Haryatmoko tidak cukup hanya atas dasar tuntutan realitas, demi menjaga keteraturan dan keselarasan hidup bersama, demi menjaga kerukunan antara umat beragama. Penerimaan pluralitas itu didasarkan atas pemahaman teologis bahwa “Tuhan menjadi lebih kaya terungkap oleh beragamnya agama dari pada oleh satu tradisi agama saja”.
Selanjutnya, Haryatmoko menjelaskan dengan demikian semua bentuk monopoli kebenaran, sektarianisme tidak mendapat tempat. Dogmatisme yang pada dasarnya merupakan bentuk argument yang cenderung mendasarkan pada otoritas harus didiskusikan secara kritis. Institusi harus dikembalikan pada perannya sebagai sarana mendekatkan kepada Tuhan, jangan justru mengasingkan pemeluknya dari Tuhan dengan membatasi melalui aturan-aturan ketat.
Bela bangsa merupakan konsekuensi yang bersifat menyeluruh dari paradoks kebangsaan yang timbul terhadap keinginan warga negara untuk menunjang intergrasi suatu negara. Oleh karena itu, ranah keberagaman agama di Indonesia juga dapat memicu kontradiksi yang dapat memecah belah NKRI dari pemancingan isu-isu yang dapat mencederai keberagaman tersebut.
Dalam mencapai keteraturan dan keajekan sosial dalam memelihara kerukunan umat beragama, memang tidak hanya fundamental pada tuntunan realitas akan tetapi keberagaman tersebut juga disadari oleh pemeluk-pemeluk kepercayaan agama untuk sadar akan toleransi beragagama dengan memupuk rasa nasionalisme, empati, kenegarawanan, persaudaraan, maupun konstitusi yang mengarah pada pemersatuan keberagaman beragama untuk saling menjaga ranah dan keharmonisan yang mengarah pada perspektif jua.
Agar nilai agama bisa menjadi nilai bersama, Kuntowiyo (1997) menawarkan konsep obyektivikasi yaitu penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori obyektif.
Sesuatu perbuatan disebut obyektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan, sekalipun demikian sisi yang mempunyai perbuatan boleh jadi tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal. Obyektifikasi juga dilakukan oleh orang non Islam, asal perbuatan itu dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang obyektif.
Dalam keberagaman umat beragama di Indonesia juga berkaitan erat dengan dinamika bela negara karena bila kita berbicara mengenai keberagaman dan bela negara, tentu ini berkenaan dengan karakteristik terbentuknya NKRI yang notabennya berbeda-beda dengan 1.340 suku, dan 300 etnik (sensus BPS 2010), serta 6 Agama yang diakui pemerintah, meliputi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu.
Mengenai keberagaman beragama tentu tak lepas dari perbedaan dari segi paradigma kepercayaan maupun pola hidup sehingga rentan dengan kontradiksi maupun radikalisme yang berujung pada perpecahan umat beragama. Sehingga dengan menjaga perdamaian, kerukunan beragama merupakan salah satu wujud bela bangsa spekulasi dari nasionalisme yang tertanam dalam setiap warga negara. Keberagaman juga berkaitan dengan objektifitas yang spasial antara umat agama sehingga perspektif terhadap suatu objek dapat satu titik perspektif.
Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim Indonesia (dalam jurnal Mujahidin, 2015) Pancasila sebagai hasil usaha para pendiri bangsa dalam meletakkan nilai-nilai asasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan pijakan bersama dalam usaha membina dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Satu hal yang perlu dipertahankan dari Pancasila, adalah kedudukannya sebagai idiologi terbuka.
Selanjutnya, Nurcholis Madjid menjelaskan pandangan sosial politik yang dibentuk oleh Pancasila itu akan absah sepanjang tidak secara kategoris melawan atau menghalangi jiwa dan semangat titik temu kebaikan bersama antara semua golongan, tanpa diskriminasi atau pembedaan satu dari yang lain secara tidak benar.
Konsep seperti itu dilandasi oleh paham kemanusiaan universal yang menghendaki agar tiap manusia percaya akan potensi kebaikan tiap-tiap individu. Paham kemanusiaan universal juga percaya kepada adanya kebaikan bersama yang dihasilkan dari dinamika wacana umum dan bebas.
Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang terlahir dari karakteristik bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, pilar, maupun patokan standar kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegak agama tak luput dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang secara interprestasi merujuk pada monotheis.
Hal itu bermakna bahwa setiap warga negara wajib memiliki kepercayaan Ketuhanan yang satu karena Pancasila sebagai sember dari segala hukum dan sebagai patokan bernegara. Penegak agama dalam hal ini yaitu menjaga harmonisasi beragama sehingga agama yang diyakini terjaga eksistensi penyebarannya dan tetap menjadi agama yang menyelaraskan hidup bernegara sehingga tetap menjadi agama yang diakui oleh Konstitusi Negara.
Pilar-Pilar Kerukunan dalam Beragama
Dinamika kehidupan membawa gejolak dan tantangan problematika, salah satunya kerukunan antar umat beragama yang bertaruh pada keutuhan NKRI yang tercengkram tantangan zaman yang tentunya perlu upaya kolaborasi pemerintah maupun warga negara sehingga mampu bersinergi dalam menghadapi tantangan post-truth yang berbentur pada penggiringan isu yang dapat menimbulkan mengacaukan ketentraman bernegara.
Menurut (Hasan, 2013, hal. 73-76) pilar-pilar kerukunan dalam beragama yaitu belajar dari petunjuk Al-Quran, untuk membangun kerukunan antar umat beragama terutama dalam konteks ke-Indonesiaan, perlu adanya beberapa pilar yang harus disepakati bersama dan diaktualisasikan dalam kehidupan beragama. Tanpa menyepakati dan mengaktulisasikan pilar-pilar tersebut, kerukunan antar umat beragama di Indonesia akan selamanya “jauh panggang dari api”.
Baca Juga: Seni Reog dalam Pusaran Politik dan Islamisasi |
Diantara pilar-pilar kerukunan tersebut yang harus ditegakkan semua pengikut agama yang hidup dibumi nusantara adalah sebagai berikut:
1. Kedewasaan umat dalam beragama
Kedewasaan dalam beragama sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai isu agama atau keagamaan. Dengan kedewasaan beragama, umat tidak mudah terpancing dan terprovokasi dengan berbagai isu yang mengadu domba antar pemeluk umat.
Kedewasaan dalam beragama tercermin dalam menyikapi berbagai isu dengan penuh bijaksana dan menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda. Dan masalah tersebut tetap diselesaikan dengan kepala dingin tanpa harus saling menyalahkan atau mencari kambing hitam.
Dalam hal ini peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan dalam pencapaian solusi yang terbaik. Dengan semangat mencari solusi bersama dan menjauhkan dari berbagai prasangka buruk, tidak mustahil berbagai permasalahan dapat diselesaikan dengan penuh kedewasaan. Diantara nilai Al-Quran dalam hal ini adalah perintah untuk mengedepankan saling terbuka dan larangan berburuk sangka (QS. Al-Hujurat/49: 12).
Kedewasaan dalam beragama ini tidak mungkin akan dicapai, jika dalam memahami agama hanya bersifat parsial, tidak mendalam dan hanya sebatas ritual tanpa memahami subtansi beragama dan tidak mau terbuka. Sikap keagamaan semacam inilah yang sering menimbulkan berbagai masalah dilapangan.
2. Meningkatkan rasa toleransi antar umat beragama secara benar
Toleransi antar umat beragama secara benar merupakan salah satu pilar utama demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai pemeluk agama lain adalah merupakan salah satu perwujudan dari rasa tolerasi. Tolerasi yang benar tidak perlu sampai seseorang mencampur adukan antara ritual agamanya dengan agama lain atau mengikuti ritual yang bukan menjadi ritual agamanya.
Hal ini disamping bertentangan dengan eksklusif setiap agama yang memiliki kekhosan sendiri dalam aqidah, ibadah dan ritual, juga rentan menimbulkan kesalahpahaman dan ketegangan antarumat beragama yang akhirnya memicu timbulnya konflik antarumat beragama. Untuk itu Al-Quran dengan tegas melarang umatnya melakukan tindakan mencampur adukkan ritual atau keyakinan agama dengan sesuatu yang lain (QS.al-Baqarah/2:42 dan QS.al-Kafirun/109: 1-6).
3. Kebijakan perintah harus jelas dan tegas, adil dan poporsional.
Hal ini karena pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus menyadari resistensi konflik antar umat beragama. Terutama mencakup pada empat pokok masalah keagamaan di Indonesia, yakni: pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri dan tenaga asing bidang keagamaan.
Dan guna terhindar dari konflik antar pemeluk agama di Indonesia, negara wajib menjamin warganya untuk menjalankan agamanya dan melindungi kemurnian agama sesuai dengan ajaran agama masing-masing dari setiap upaya penodaan agama. Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi yang melakukan penodaan agama, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, maka negara harus menindaknya secara tegas sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila sebagian umat merasa terzalimi, maka potensi berbagai konflik yang berbau agama akan mudah pecah dan dipermainkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Petunjuk Al-Quran dalam hal ini sangat jelas dengan memerintahkan umatnya untuk tidak berbuat zalim kepada siapapun, bahkan kepada musuh atau orang yang tidak sependapat. (QS. Al-Maidah/ 5:8).
4. Penegaan kewibawaan hukum secara adil dan konsisten
Banyak perselisihan antar warga yang kebetulan berbeda agama karena tidak ditangani dengan tuntas dan adil, memicu lahirnya konflik horizontal yang sulit terselesaikan. Berbagai konflik SARA justru meningkat karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya apresiasi etika dalam penyelesaian masalah sosial berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh adalah Konflik Poso.
Bisa jadi konflik dipicu oleh masalah kecil antara dua warga yang kebetulan berbeda agama. Akan tetapi karena secara hukum masalahnya tak pernah diusut tuntas, maka problemnya menjadi rumit dan liar. Perselisihan kecil antar warga akhirnya memicu munculnya konflik lebih besar.
Konflik besar bisa terjadi karena publik atau massa tidak pecaya pada hukum. Ketika Tibo cs dituding menyerang dan membantai penghuni sebuah pesantren di suatu pagi buta, semestinya tragedi itu tidak terjadi jika saja aparat keamanan dapat mengantisipasi dengan mengusut para pelaku perselisihan kecil sebelumnya dimana pihak Kristen atau Muslim menjadi korban. Akhirnya konflik SARA berujung pada siklus balas dendam yang sulit dihentikan.
5. Mengembangkan dialog yang tulus antar umat beragama
Dialog semacam ini diperintahkan secara tegas dalam Al-Quran. Sebagaimana Allah kalamkan yang artinya, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik (QS. Al-Ankabut/29: 46). Dialog antar umat beragama ini sangat perlu dilakukan mengingat; akan adanya kesamaan maupun perbedaan yang tak dapat diingkari dan disingkirkan, sesuai hakekat atau harkat dan martabat manusia; adanya kesamaan nilai-nilai serta permasalahan dan kebutuhan yang universal, yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Hal itu seperti kebenaran, keadilan, persaudaraan dan cinta kasih adanya fakta kehidupan bersama dalam kemajemukan serta hubungan dan ketergantungan satu sama lain; mutlak perlunya kerukunan dan damai sejahtera, persatuan dan kerjasama dengan prinsip keadilan, saling menguntungkan, saling menghargai, saling terbuka dan saling percaya.
Penghargaan terhadap agama atau umat beragama lain, hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain, bukan hanya merupakan kebutuhan dan tuntutan atau kewajiban keagamaan, tetapi lebih luas dan dalam dari itu, yaitu karena kemanusiaan. Kerukunan dan toleransi antar sesama manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, merupakan tuntutan kebutuhan dan kewajiban kemanusiaan dari setiap orang (termasuk orang yang tidak beragama).
Baca Juga: Mahmud Yunus (1899-1982): Ulama Ensiklopedis Indonesia |
6. Memperkokoh tiga pilar kenegaraan (Pancasila, UUD 45, dan NKRI).
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan, para pendirinya telah menyadari kemajemukan bangsa kita ini serta ancaman terhadap kerukunan dan persatuan di satu sisi maupun potensi untuk membangun kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan beragama, dengan rukun dan damai dalam bingkai NKRI, dari lain sisi.
Bahkan jauh sebelum kemerdekaan dan penderitaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pencetus Sumpah Pemuda telah menyadari ciri kemajukan bangsa kita dan kebutuhan akan persatuan dan perdamaian. Karena itu, untuk mencegah perselisihan dan perpecahan serta memelihara kerukunan dan toleransi serta persatuan, disusunlah falsafah bangsa dan dasar negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2009 di Padang panjang, Sumatera Barat, telah menetapkan fatwa tentang prinsip ajaran Islam mengenai hubungan antar umat beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam fatwa itu, para ulama menegaskan bahwa kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk NKRI dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi merupakan ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan hidup bersama, kesepakatan itu mengikat seluruh elemen bangsa.
Hal itu, merupakan komitmen, undang-undang dan peraturan untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan dan toleransi antar umat beragama dibuat dan perlu dipatuhi oleh segenap warga negara. Maka, menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama sama dengan menolak atau merusakkan Pancasila dan UUD 45, serentak menolak atau merusakkan NKRI.
7. Kerjasama dalam hal-hal yang menjadi tujuaan bersama dalam beragama
Semua agama yang ada di dunia sekarang ini, amat menekankan tentang nilai-nilai hidup manusia seperti: kerukunan, perdamaian, persaudaraan, solidaritas, cinta kasih, persatuan, dan kerjasama dalam hidup bersama. Tujuan yang hendak dicapai setiap agama adalah kematangan spiritual dan moral yang terwujud atau terbukti dalam hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan serta antara manusia dengan sesamanya.
Dari tujuh pilar-pilar dalam memelihara keharmonisan berbangsa dan bernegara jika diimplementasikan secara seksama tentu akan menjaga keajekkan yang mengarah pada zona keamanan dan ketenteraman beragama. Pada intinya perbedaan bukan alasan yang membuat hal yang mustahil untuk mencapai harmoni tapi suatu yang mungkin, dalam hal itu perlu sinergi antar lapisan masyarakat untuk menjaga keutuhan NKRI.
Persaudaraan yang merupakan bagian dari prinsip persatuan umat dalam ilmu sosiologis disebut interaksi sosial. Di mana interaksi sosial dilihat sebagai kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa adanya interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Soekanto, 1982: 54). Sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto, bahwa interaksi sosial menghendaki adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (Soekanto,1982:58). Hal ini perlu disadari betul dalam interaksi sosial antar umat beragama (Sagap, 2007).
Dalam menumbuhkan kesadaran bela bangsa dapat dilakukan dengan memupuk nasionalisme agar terwujud pilar-pilar yang dapat memperkokoh persaudaraan, persatuan, dan kesatuan. Sedangkan menegakkan agama dapat dilakukan dengan menjaga kerukunan antar agama dengan memupuk rasa toleransi yang membawa spekulasi beragama tegak di Negara Kesatuan Republik Indonesia. [MJ]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments