Suara hujan di luar begitu deras menyamarkan suara tangisku yang sedang mencuci piring dan gelas. Tak peduli seberapa banyak yang ku cuci, setidaknya ada kegiatan yang dapat menemani tangis sesakku ini.
Malam ini adalah malam terakhir acara tahlilan meninggalnya ayahku. Entah bagaimana esok pagi aku harus menyapa matahari dan gemercik tetesan bekas air hujan di atap rumahku. Tetapi setidaknya Alwan menemaniku malam ini sampai aku mengorek noda di piring terakhirku.
“Aruna, bolehkah aku membantumu mencuci piring dan gelas-gelas itu? Setidaknya aku gak cuman duduk di ruang tamu-mu aja”
“Nggak perlu, wan. Aku hampir selesai”
“Hehehe, oke. Jangan sampai Aruna lain gak bisa bangunin kamu besok pagi. Ingat, besok kita harus berangkat sekolah.”
“Aruna lain? Maksudmu?”
“Namamu kan Aruna. Maksudku, cahaya matahari pagi.”
“Oh, maksudmu aku gak bisa bangun pagi? Hahahaha…” Begitulah Alwan membuat malamku ini terasa lebih hangat meski hujan terus mengetuk jendela rumahku.
“Baiklah, Aku pulang dulu ya. Jangan bangun kesiangan ya. Aku harap kamu bisa bangun lebih pagi dari Aruna (fajar pagi) di balik gunung itu, hehehe… Selamat malam, Aruna!”
“ Hmmm, terima kasih, wan.” Jawabku dengan senyuman. Ya, walaupun hujan di mataku belum benar-benar reda.
***
Aruna, terima kasih sudah membangunkanku. Setiap engkau menyapaku, aku selalu ingat dengan ayahku yang memberikan nama ini. Entah mengapa engkau bisa sekuat itu bersinar meski engkau sendirian, sama sepertiku ini. Mungkin karena kita sama-sama yatim piatu, setidaknya setiap berganti pagi kita bisa saling menyapa.
Seusai mandi aku langsung duduk di meja makanku yang hening ini. Hanya ada roti isi ikan dan segelas susu yang menemaniku di meja ini. Ya, setidaknya mereka menemaniku sampai aku menghabiskan keduanya. Satu-satunya suara yang dapat ku kenali di meja ini hanya burung-burung gereja yang tak pernah beribadah ke gereja. Setidaknya mereka diampuni oleh Tuhan karena gereja jauh dari sini.
Baca juga: Hujan yang Turun di Sebuah Kisah
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku membuka pintu mobil. Tapi bukan orang tuaku yang mengantarkanku, tetapi orang lain yang aku anggap orang tuaku. Iya, dia adalah sopir taksi online. Semoga Tuhan senantiasa memberkatinya dengan cinta dan ampunan, karena telah menggantikan sosok ayah tercintaku.
Di depan pintu kelas, aku disambut dengan senyuman manis sosok yang menjadi sahabat manusia di kala malam tiba.
“Hai, Aruna. Sini ku anterin ke bangkuku. Kita duduk bareng ya!”
Aku belum bisa menggetarkan lidah keluku ini yang merintih semalaman. Setidaknya Chandra paham arti anggukan kepalaku.
“Aruna!” teriak seseorang jauh dari belakang bangkuku.
Tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri dari sisi kananku.
“Hai! Tampaknya Aruna lain berhasil bangunin kamu ya. Hahaha, tepat lima menit sebelum bel masuk.”
Aku tidak bisa benar-benar mengunci senyumku setiap Alwan menyapa dan berbicara kepadaku. Situasi yang benar-benar membuatku harus menghitung domba agar aku tidak terlihat kikuk di hadapannya.
Benar apa yang dikatakan Alwan, aku datang ke sekolah tepat lima menit sebelum pelajaran dimulai. Tetapi itu bukan kebiasaanku. Mungkin karena semalaman aku harus bergelut dengan dua hujan yang terus menyertai di kamar tidurku.
***
Aruna, mungkin sudah saatnya kita pulang. Tapi jangan engkau kembali ke rumahmu sebelum aku sampai di rumahku. Aku tahu. Tidak mudah untukmu terus bersinar seharian. Itu tentu sangat melelahkan bagimu. Begitupun aku yang harus bersinar meski harus sendiri. Aruna, terima kasih telah menemaniku hari ini. Beristirahatlah! Karena esok akan lebih sulit dari hari ini.
One Comment