Terus terang saya kaget saat mendengar bahwa ada seorang Ustadz Nitijen yang menafsirkan kata ‘dhallan’ dalam Q.S Adh-Dhuha:7 dengan arti sesat. Bagaimana mungkin seorang ‘Ustaz’ yang memiliki banyak jemaah dengan mudahnya menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam keadaan sesat.
Ustaz ini berpendapat bahwa Q.S Dhuha ayat 7 “wawajadaka dhallan fa hadha”, memiliki arti bahwa Nabi pada waktu kecil sesat. Kemudian ia melanjutkan bahwa siapa saja yang merayakan maulid Nabi (kelahiran Nabi) adalah merayakan sesatnya Nabi. Waw!
Ingatan saya langsung menuju pada saat saya kuliah s1 semester tiga. Dosen saya yang bernama Drs. M. Yusron, salah satu dosen senior di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memberikan tugas review artikel yang berjudul “Was Muhammad a Prophet From His Infancy?”, yang ditulis oleh Arthur Jeffery, salah seorang dedengkot Orientalis.
Nah, pendapat Arthur Jeffery ini mirip-miriplah dengan pandangan ustaz Nitijen ini, Nabi Muhammad—kata Arthur—sesat saat masa sebelum kenabian karena secara teknis kata dallan dan hada (ضالافهدى) menunjukkan bahwa Nabi didapati oleh Tuhan dalam agama yang keliru dan menuntunnya ke jalan yang benar.
Baiklah Tadz! saya tidak akan merujuk langsung ke kitab tafsir, tetapi saya ingin merujuk ke sesama Ustaz nitijen lain yang menurut saya mereka adalah pakar dalam bidangnya yakni ahli Ilmu Al-Quran dan Tafsir.
Pertama, Ustaz Sunarwoto dalam akun facebooknya, (akun FB-nya Sunarwoto Saja). Beliau adalah dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dan santri Lirboyo Kediri.
Dalam akun FB-nya, Beliau menjelaskan bahwa kata dhallan dalam Q.S Dhuha tidak pas kalau dimaknai dengan sesat. Beliau merujuk pada Tafsir Shawi yang menafsirkan kata dhallan artinya bukan sesat atau melenceng dari kebenaran karena mustahil hal itu terjadi pada masa sebelum Muhammad menjadi Nabi. Maknanya yang bener adalah sepi dari syariah (khaliyan min al-Syariah). Artinya Nabi Muhammad belum menerima syariat.
Masih penjelasan Ustaz Sunarwoto dalam akun faceboonya, kata ‘dhallan’ dalam Tarjamah Tafsiriyah dari Muhammad Thalib MMI, dimaknai sebagai orang yang bingung mencari kebenaran.
Jadi bukan sesat, Tadz!
Ditambah lagi, dalam literatur tafsir ulama Nusantara—kata Pak Sunarwoto lo Tadz!– kata dhallan dalam surat al-Dhuha (93): 7, tidak diartikan sesat. Tafsir Al-Ibriz karya K.H. Bisri Mustafa dan Tafsir Iklil karya K.H. Misbah Mustafa memaknainya “ora ngerti” (tidak tahu) syariat karena memang belum turun. Sedang menurut Ajengan Ahmad Sanusi dari Sukabumi dalam Raudhatul Irfan, kata tersebut bermakna “heunteu ngabogaan syariat” (tidak memiliki syariat) karena memang tidak memang belum turun dan belum jadi Nabi.
Jadi pertanyaannya, dapat dari mana makna kata ‘dhallan’ itu tersesat, Tadz?
Kedua, Ustadz Abdul Jalil Muhammad, seorang Ustaz Nitijen yang juga seorang hafidz, lahir di Mekkah dan banyak belajar dengan guru-guru dan masyayikh di sana. Sekarang beliau tercatat sebagai Dosen Ulumul Quran di UIN Sunan Kalijaga dan menjadi santri kesayangan Kyai Muhammad Najib Abdul Qodir, sang penjaga al-Quran di Pesantren Krapyak.
Dalam akun FB-nya, Syeikh Jalil (begitu dia biasa dipanggil) menjelaskan bahwa memang kata “dhalla” jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “sesat”. Akan tetapi, apakah cakupan makna kata “dhalla” di dalam bahasa Arab sama dengan cakupan makna “sesat” di dalam bahasa Indonesia?
Bagaimana memahami kata “dhalla” jika disandarkan kepada salah satu Nabi? Sebagai contoh, anak-anaknya Nabi Ya’kub berkata tentang ayah mereka (inna abana la-fi dhalalin mubin) QS. Yusuf: 8, kanjeng Nabi Musa berkata tentang dirinya (qala fa’altuha idzan wa-ana min al-dhallin) QS. al-Syu’ara: 20. Di dalam QS. al-Dhuha: 7, Allah berfirman tentang kanjeng Nabi Muhammad (wa-wajadakan dhallan fa-hada). Di sini para mufassir akan mempertimbangkan banyak hal: bahasa, teologi, sejarah, konteks ayat, dan akhlak karena bicara tentang Maqom Nubuwwah.
Al-Raghib al-Ashfahani berkata bahwa makna “dhalal” adalah menyimpang dari jalan yang lurus, atau keluar dari suatu jalan secara sengaja maupun tidak, sedikit atau banyak. Oleh karena itu, kata tersebut dapat digunakan/disandarkan kepada orang yang melakukan kesalahan secara tidak sengaja (khatha’).
Di dalam kitab-kitab ilmu al-Wujuh wa al-Nazha’ir disebutkan juga bahwa kata “dhalal” di dalam Al-Qur’an mempunyai banyak makna, seperti: sesat, rugi, salah, lupa, tidak tahu dan lainnya.
Mengenai tafsir QS. al-Dhuha: 7, Fakhruddin al-Razi menyebut sekitar 20 penafsiran/pendapat, di antaranya bahwa Nabi Muhammad bingung tentang urusan kaumnya, bagaimana cara menjelaskan berdakwah dan memberi petunjuk kepada mereka, lalu turun wahyu Al-Qur’an kepada Nabi sebagai hidayah/petunjuk.
QS. al-Dhuha: 7, Muhammad Thalib dalam Tarjamah Tafsiryah terbitan pusat Majelis mMujahidin: (Tuhanmu mendapati kamu dahulu sebagai orang yang bingung mencari kebenaran, lalu Dia memberi hidayah kepadamu). Dalam catatan kaki terjemah DEPAG ditulis: (kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.)”
Begitu penjelasan Ustadz Abdul Jalil dalam akun facebooknya, Tadz!
Dari penjelasan dan perbandingan pemahaman ini, saya pribadi lebih memilih dan menyarankan untuk ikut pendapat dari Ustadz Sunarwoto Saja dan Ustadz Abdul Jalil Muhammad karena lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan keilmiahannya.
Boleh kan Tadz?! Salam Ta’dzim.
Para pembaca yang budiman, satu hal yang ingin saya sampaikan dalam artikel agak gokil ini, bahwa menafsirkan Al-Qur’an bukanlah perkara yang mudah. Kita harus hati-hati di dalam menyampaikan pesan-pesan al-Quran yang maknanya terkadang rumit tidak sama persis dengan terjemahan yang beredar. Jadi, sangat tidak cukup memahami Al-Qur’an hanya bersandar pada terjemahan semata.
Imam al-Suyuthi memberikan syarat-syarat yang sangat berat bagi orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an, semisal Ilmu bahasa Arab, makna kosa kata, termasuk yang musytarak (wujuh wn nadzair), Ilmu nahwu, perubahan akibat perubahan i’rab, Ilmu sharaf, pengetahuan tentang isytiqaq, Ilmu ma’ani (susunan kalimat dari sisi pemaknaannya), Ilmu Bayan (perbedaan makna dari sisi kejelasan dan kesamarannya), Ilmu Badi’ (keindahan susunan kalilmat), dan seterusnya.
Kalau kita ikut patokan Imam al-Suyuthi, maka hampir dari kita tidak ada yang mampu karena persyaratan yang sangat berat. Nah, jika kita tidak mampu, maka jalan yang paling aman adalah dengan merujuk para mufassir baik klasik maupun kontemmporer dalam memahami al-Quran.
Karena Sang Ustaz sudah berbesar hati meminta maaf atas kekeliruannya, maka kitapun harus berbesar hati untuk memaafkan dan memberinya semangat untuk tetap berdakwah dan terus belajar kepada ahlinya. Wallahu a’lam.
One Comment