We are What We Eat

Tiadalah mengherankan jika banyak sampah yang keluar dari mulut manusia-manusia yang hidupnya mengonsumsi sampah di televisi. Karena kita adalah apa yang kita makan3 min


4
6 shares, 4 points

Saya menghela nafas panjang mendengarkan acara televisi. Iya, meski saya hanya mendengarkan televisi, sudah cukup membuat hati saya tidak nyaman. Sehingga saya pun tidak perlu menontonnya. Bagaimana tidak, pagi hari ketika matahari baru melukiskan senyuman tipis, televisi sudah menyuguhkan berita nasional maupun daerah. Mengabarkan para pejabat yang berpolitik ditangkap tangan menyembunyikan uang rakyat yang tentu saja bukan hak politisi tersebut, untuk menyembunyikan apalagi jika sampai menikmati bersama keluarga dan kolega mereka.

Kemudian setelahnya sorot kamera memperlihatkan mereka tersenyum dengan seragam ā€œkebanggaanā€, mengacungkan jempol berucap lafaz keagamaan dan masih dengan gagah setelah menjalani sidang yang seperti drama sinetron, mereka masuk ke sel ā€œsewaanā€ yang terhitung mewah dibanding sel tetangga mereka yang maling ayam, pisang dan singkong. Betapa ā€œmenyenangkanā€ sepertinya hidup mereka. Semua urusan bisa berjalan lancar, sesuai keinginan mereka. Hanya dengan uang, yang bahkan bukan milik mereka.

Yuval Noah Harari dalam Sapiens menulis uang adalah penakluk terbesar dalam sejarah, penakluk yang memiliki toleransi dan kemampuan beradaptasi ekstrem, sehingga mengubah orang-orang menjadi pengikut setianya. Ya, sebab uang, semua seakan menjadi lupa diri. Lupa bahwa dirinya manusia, sang khalifah di bumi. Penguasa semestinya memiliki harga diri yang tinggi, tidak murah. Tidak mudah tergoda rupiah.

Menyoal kembali acara televisi, agak siang sedikit benda kotak itu menawarkan hingar bingar cerita selebritis. Lagi-lagi uang dan  popularitas sebuah gambaran kesuksesan yang menjadi standar dunia televisi. Konten yang disuguhkan kosong, tidak berisi. Jika bukan perceraian, mereka menyajikan gaya hidup yang kering akan makna.  lebih menakutkan hampir semua orang seperti ingin menjadi bagian dari orang-orang yang berada di kotak hitam itu. Baik menjadi pelaku maupun orang yang berada di balik layar. Salah satunya dari terinspirasi kehidupan selebritis yang glamor dan terkenal.

Lantas siang hari, tepat ketika azan Zuhur berita kriminal disajikan lengkap dengan kronologi dan reka ulang kejadian. Tersangka dan korban sangat detail mereka gambarkan, beserta motif dan modus kejahatannya. Kemudian di sore hari ada ā€œhiburanā€ reality show. Menampilkan permasalahan cinta muda mudi kota, dibumbui dengan intrik keluarga, dan seorang ustazah yang menjadi penengah. Sedangkan tontonan penghantar tidur adalah panggung musik yang berisi penuh gimik.

Ada toxic di dalam rumah

Tontonan semacam itu setiap hari disuguhkan oleh dunia kubus bernama televisi. Kita seperti dipaksa mengonsumsi ā€œmakananā€ yang dilihat saja tidak menarik, dimakan tentu saja rasanya tidak enak, apalagi jika sampai diserap oleh otak? Televisi sudah bak racun pikiran. Hampir tidak ada tayangan yang bernutrisi, demi menyehatkan jiwa manusia-manusia penerus kebajikan semesta di dunia pertelevisian negeri ini. Siraman rohani yang mustinya menentramkan pun menjadi berwajah sangar dan menakutkan.

Kita adalah apa yang kita konsumsi. Begitu banyak hal yang kita konsumsi selama 24 jam. Jika satu media saja menyuguhkan tontonan seperti itu, bagaimana dengan media lain? Lebih baik kah? Atau bahkan tidak lebih baik dari itu? Dari tontonan, bacaan, siaran audio, sampai media sosial. Kita melihat fakta yang cukup memprihatinkan menilik konten-konten yang ada di beberapa media tersebut.

Bahkan media digital kita mencuri perhatian masyarakat awam secara tidak elegan, menyuguhkan berita yang ‘umpan klik’, antara judul dan isi berita tidak ada korelasi atau dipaksakan nyambung. Belum lagi media sosial yang penuh perang maya antara satu kelompok dengan kelompok lainnya atas nama kebenaran yang mereka klaim menurut versi mereka sendiri.

Kita tentu saja bisa memilih. Namun betapa pilihan itu pun begitu sulit. Masih banyak orang-orang di sekeliling kita yang bagai toxic. Mereka adalah penggemar-penggemar acara-acara yang ada di televisi. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga, yang setia menjadi penonton televisi. Mereka adalah korban sekaligus toxic bagi anak-anak dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Bagaimana susahnya ketika mereka diberitahu bahwa acara itu nirfaidah, bahkan acara itu diatur sedemikian rupa sehingga nampak seperti kejadian nyata, padahal tentu saja hanya untuk kepentingan yang mereka sebut hiburan. Kita seperti terpenjara manakala orang-orang semacam itu setiap hari menonton televisi. Sedangkan kita tidak berdaya memberi pengertian di tengah kecanduan mereka akan tontonan yang tidak bermutu itu.

Lagi-lagi demi uang, korporasi media itu mengorbankan generasi muda bahkan anak-anak lengkap dengan ibu-ibunya, itu artinya tiga generasi sekaligus, untuk keuntungan materi mereka, dan tidak mengindahkan efek sosial yang mungkin terjadi dari tontonan yang rendah literasi itu. Tak peduli generasi rusak atau hancur yang penting uang terus mengucur, begitu sepertinya semboyan mereka. Iklan terus ditayangkan sebagai pertanda tayangan mereka laku.

Di bagian iklan pun disisipkan pesan-pesan tersirat untuk menjadi manusia yang mabok konsumerisme. Setelah otak dijejali lelucon garing dengan mencela bentuk tubuh diri sendiri atau teman satu panggung, kekerasan verbal dan fisik serta kriminalisme. Lantas otak juga dicekoki iklan yang semu dengan bahasa hiperbola. Iklan sebagai wujud marketing sebagai bentuk penipuan terencana terus saja berhamburan dibuat untuk memanipulasi penonton seperti arus deras dengan air yang kotor tanpa penyaringan.

Lantas pertanyaannya, mau bagaimana kita? Alternatif terbaik adalah jalan-jalan, seperti yang orang-orang bilang banyak piknik kalau bisa yang jauh, menikmati alam yang hijau, kuning dan biru. Mencari pengalaman sebanyak mungkin dengan kegiatan di luar ruangan, kerja bakti dengan tetangga, sehingga benda kotak itu tidak berhasil memasung langkah kita untuk terus di depannya. Atau pergi ke tempat yang tidak ada kotak hitam bernama televisi.

Dengan mengurangi menonton asupan televisi atau apapun media yang mengontaminasi otak kita, sama saja kita seperti melakukan imunisasi dari virus-virus yang membahayakan pikiran.


Like it? Share with your friends!

4
6 shares, 4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
1
Sedih
Cakep Cakep
6
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Neyla Hamadah

Warrior

Pembelajar kehidupan. Simple ga neko-neko, cuma sedang gila buku dan baca šŸ˜Š

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals