Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan pernyataan salah seorang muballigh populer, Ust. Evie Effendi, melalui media sosial tentang pemahamannya atas surat al-Dhuha ayat 7, wawajadaka dhāllan fahadā. Ia mengaitkan kata dhāllan pada ayat ini dengan pengalaman pribadinya pra-hijrah—ia bahasakan dengan kebodohan—dan menegaskan berulang kali bahwa setiap orang itu pada awalnya berada dalam kondisi sesat, termasuk Nabi Muhammad. Jadi, menurutnya, mawlūd nabi menjadi tidak masuk akal karena memperingati kesesatan Nabi. Bagaimanakah makna dhall-dhalāl dalam Al-Quran?
Baca juga: Tafsir kata ‘Sesat’ Ustaz Nitijen dan Pelurusannya Oleh Ustaz Nitijen Lainnya
Guru saya, Ust. Abdul Jalil Muhammad, menyampaikan pertanyaan mendasar tentang problematika penerjemahan Quran ke bahasa Indonesia dalam akun facebooknya: “Kata ‘dhalla’ diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘sesat’. Akan tetapi, apakah cakupan makna kata ‘dhalla’ di dalam bahasa Arab sama dengan cakupan makna ‘sesat’ di dalam bahasa Indonesia?”
Mari kita cek.
KBBI mendefinisikan kata sesat sebagai (1) ‘tidak melalui jalan yang benar; salah jalan’ dan (2) ‘salah (keliru) benar; berbuat yang tidak senonoh; menyimpang dari kebenaran (tentang agama dan sebagainya’. Makna pertama diberi contoh melalui pepatah malu bertanya sesat di jalan, dan makna kedua dicontohkan dengan ungkapan ajaran yang sesat.
Bagaimana makna kata dhalla itu sendiri? Mari kita cek Mu’jam Mufradat fī Gharīb al-Qur’ān.
Dalam buku tersebut, al-Raghib al-Ashfahani menyebut bahwa makna dhalal adalah al-`udūl an al-tharīq al-mustaqīm wa yudhādduhu al-hidāyah. Bahasa Indonesianya lebih kurang: “melenceng dari jalan yang lurus (benar), dan antonimnya adalah hidāyah (petunjuk). Kata ini bersifat umum. Setiap kondisi melenceng dari jalan yang seharusnya disebut dhalal, baik disengaja maupun tidak, sedikit atau banyak.
Lebih lanjut, menurut al-Ashfahani, karena kata dhalal bermakna umum, maka kata ini digunakan pula kepada para Nabi, bukan hanya kepada kaum kafir, meskipun antara dhalal-nya Nabi dan dhalal-nya kaum kafir terdapat jarak makna yang sangat jauh. Kita temukan beberapa ayat yang menyematkan kata dhalal kepada para Nabi, seperti al-Dhuha: 7 untuk Nabi Muhammad, Yusuf: 8 untuk Nabi Ya`qub, al-Syu`ara 20 untuk Nabi Musa.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap kekeliruan, besar kecil, sengaja dan tidak disengaja, oleh Nabi ataupun oleh orang kafir, bisa disebut sebagai dhalal. Pertanyaannya, mari kita ulangi lagi, apakah cakupan makna kata ‘sesat’ dalam bahasa Indonesia maknanya sama dengan cakupan kata ‘dhalal’ dalam bahasa Arab.
Jika jawabannya iya, maka dhalal yang digunakan kepada para Nabi dan kaum kafir bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sesat, dengan kesadaran bahasa bahwa sesatnya Nabi dan sesatnya kafir memiliki jurang makna yang jauh, sejauh dhalal-nya Nabi dan dhalal-nya kaum kafir. Jika jawabannya tidak, maka harus ada dua kata yang berbeda untuk menjelaskan makna dhalal-nya Nabi dan dhalal-nya kaum kafir.
Jika kita perhatikan kitab-kitab tafsir, terlihat upaya para ulama untuk menjelaskan bentuk dari dhalal yang terjadi kepada nabi Muhammad dalam kasus al-Dhuha: 7. Imam al-Thabari mengutip dari al-Suddiy menyebut ayat ini bermakna ghair allazī anta `alaihi al-yawm (di kondisi yang berbeda daripada kamu sekarang [menjadi Nabi] atau wawajadaka fī qawm dhalāl fahadāka (Kami dapati kamu di antara kaum yang dhalal, kemudian Kami beri petunjuk).
Imam Ibn Katsir, al-Alūsi dan beberapa mufassir lainnya menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh al-Dhuha: 7 dijelaskan oleh al-Syūra: 52, yaitu pada awalnya, Nabi Muhammad tidak mengetahui apa itu iman dan apa itu kitab.
Imam al-Razi menyebut beberapa pendapat yang menyematkan kekafiran kepada Nabi pra-kenabian, tetapi kemudian beliau menegaskan bahwa menurut pendapat Jumhur ulama, Nabi tidak pernah sedetik pun bersifat kafir. Ia kemudian menampilkan sejumlah pemaknaan seperti tidak mengetahui nikmat dan syariat, tidak mengenal Jibril ketika pertama kali didatanginya, dsb.
Imam al-Qurtubi dan al-Baghawi menafsirkan dhalāl kepada tidak mengenal hakikat kenabian dan syariat.
Penjelasan tafsir di atas memperlihatkan bahwa wujud dhalal-nya Nabi Muhammad dalam al-Dhuha:7 bukanlah sebuah perilaku sesat, salah, atau keliru, melainkan kondisi tidak mengenal kenabian dan syariat. Artinya, dhalal-nya Nabi Muhammad dalam hal ini adalah dhalal yang yang kecil. Sekali lagi, bahasa Arab dalam hal ini mengizinkan penyebutan dhalal kecil, karena kata dhalal bermakna luas, dari yang kecil hingga besar, sengaja dan tidak sengaja, sebagaimana disampaikan oleh al-Asfahani tadi.
Yang menarik adalah, dalam kitab-kitab tersebut, ada pula yang mengaitkan kata dhalāl ini kepada makna nyasar. Ibn Katsir menceritakan, Muhammad kecil pernah berjalan-jalan dan dia nyasar, kemudian ditunjuki oleh Allah jalan pulang. Dikisahkan pula Nabi Muhammad bersama pamannya ketika bepergian ke Syam nyasar di jalan karena dikelabuhi oleh Iblis. Lalu kemudian datang malaikat Jibril yang mengusir Iblis dan mengembalikan Nabi Muhammad dan pamannya ke jalan yang seharusnya. Imam al-Rāzi juga menghadirkan beberapa versi cerita mengenai kisah nyasar-nya Nabi ini, ada yang melibatkan Halimah Sa`diyah, bahkan Abu Lahab di dalamnya.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat ternyata kata dhalal maknanya juga sepadan dengan makna pertama dari kata sesat, yaitu nyasar; atau ibarat kata lirik lagu “tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.”
Akan tetapi, makna kedua sesat dalam bahasa Indonesia tidak setimbang dengan dhalal dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia, sesat jika berkaitan dengan ajaran agama, bermakna ‘salah (keliru) benar’ alias very salah/keliru atau salah/keliru jiddan. Adapun dhalal dalam bahasa Al-Quran juga bermakna keliru yang sedikit. Dan dalam kesadaran berbahasa orang Indonesia, tidak ada istilah ‘sesat sedikit’, karena sesat itu, ya keliru besar.
Dengan demikian, dhalal-nya Nabi, jika dalam makna nyasar sebagaimana kisah-kisah yang dijelaskan di beberapa kitab tersebut, bisa diterjemahkan kepada kata ‘sesat.’ Tapi, dhalal-nya Nabi dalam makna kekeliruan sederhana atau kondisi kebingungan untuk menunjuki masyarakatnya atau kekosongan dari syariat tidak bisa diterjemahkan dengan kata ‘sesat.’
Itulah barangkali yang menyebabkan para penerjemah Quran di Indonesia menghindari penggunaan kata sesat pada al-Dhuha ayat 7 ini. Terjemahan Quran di Indonesia, dari Kementrian Agama, M. Thalib, Pak Quraish Shihab, menerjemahkan kata dhalla menjadi ‘bingung’. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkannya wandering (bingung), Abdel Haleem menerjemahkannya lost (bingung, tapi ada makna nyasar juga). Meskipun masih terdapat pertanyaan apakah kata bingung sepadan dengan dhalal yang kecil, penerjemahan kata dhalal menjadi bingung merupakan upaya untuk menjelaskan bahwa dhalal-nya Nabi Muhammad berbeda dengan dhalal-dhalal lain yang digunakan dalam Al-Quran untuk orang-orang yang tidak mendapat petunjuk.
2 Comments