Ibnu Manzhur menulis dalam Lisanul-‘Arab, istilah taqwa berasal dari akar kata waqa-yaqi-wiqayah-taqwa; taqiyy; waqahullah = shanahu = hafizhahu (menjaga); Ittaqa-yattaqi-ittiqa`; muttaqi = hadzarahu (berhati-hati, waspada). Hal itu tecermin dalam ayat-ayat Al-Quran beriut.
Mereka yang mengikuti petunjuk, Ia akan menambah petunjuk bagi mereka dan memperkuat ketakwaan mereka. (QS 47:17); Tak seorang pun akan mengingat, kecuali dengan kehendak Allah: Dialah Yang layak tempat bertakwa dan Yang layak memberi pengampunan. (QS 74:56 ); Wahai Nabi, takutlah kepada Allah dan janganlah ikuti kaum kafir dan kaum munafik. (QS 33:1). Tetaplah bertakwa kepada Allah dan senantiasa dalam takwa kepada-Nya.
Menurut Al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazhil-Quran, kata taqwa terbentuk dari akar kata waqa-yaqi-wiqayah = menjaga sesuatu dari apa yang menyakiti, melukai, mencederai dan membahayakannya. Taqwa = menjadikan diri terpelihara dari apa yang ditakuti.
Mereka yang bertakwa dan memperbaiki diri tak perlu khawatir, tak perlu sedih (QS7:35); Sungguh, Allah bersama mereka yang bertakwa dan mereka yang mengerjakan amal kebaikan (QS 16:128); Mereka yang bertakwa kepada Tuhan akan dibawa ke dalam surga berbondong-bondong (QS 39:73).
Kata-kata yang lain yang berdekatan artinya dengan taqwa ialah khauf dan khasyyah. Khauf dari akar kata khafa-yakhafu-khauf = takut, gentar, khawatir, cemas, dan waspada; lawan kata amina = aman, tenang. Khasyyah dari akar kata khasyiya-yakhsya-khasyyah = takut dan mewaspadainya. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, Ibrahim Unais dan kawan-kawan menulis, at-taqwa: al-khasyyah wal-khauf.
Abdullah Abbas Nadwi dalam Vocabulary of the Holy Quran mengartikan ittaqa-yattaqi: to fear (takut, khawatir), to be pious (saleh), to ward off [evil] (menangkal, mencegah keburukan); to be consciuos of God (menyadari keberadaan Tuhan), to keep duty towards God (memelihara kewajiban/melaksanakan perintah Tuhan). Tattaqun: God fearing. Muttaqin: those who fear Allah or those who are pious; the righteous (orang yang lurus, budiman).
Kata taqwa memiliki bermacam-macam arti menurut konteks ayatnya. Dalam Mu’jamu Alfazhil-Quran Al-Karim, Muhammad Husain Haikal dan kawan-kawan mengartikan taqwa: menjaga diri dari siksa Allah swt dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Orang yang takwa menurut Mirza Nashir Ahmad, seperti dikutip M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Quran, adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang merusak diri sendiri dan orang lain.
Az-Zamakhsyari berpendapat dalam Al-Kasysyaf bahwa taqwa ialah menunaikan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan. “Bertakwalah kepada Allah sejauh kalian mampu.” (64:16) berarti “Bertakwalah sedemikian rupa, sehingga kamu tidak meninggalkan satu hal pun yang sebenarnya kamu mampu.”
Menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam Al-Manar, taqwa ialah meninggalkan apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintahkan menurut kadar kemampuan.
Dalam Al-Wahyul-Muhammadi Ridha menulis bahwa arti takwa secara umum ialah menghindari segala yang membahayakan keberadaan manusia dalam jangka pendek dan jangka panjang; menghindari penghalang antara manusia dan maksud-maksud yang mulia serta tujuan-tujuan yang baik. Takwa ialah menghindarkan sebab-sebab yang merintangi kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat menurut sunatullah, seperti kemenangan atas musuh dan menjadikan kalimat Allah menjulang tinggi.
Masih menurut Rasyid Ridha, takwa yang sempurna ialah tercapainya kemampuan untuk membedakan dan memisahkan secara tegas antara apa yang harus diterima dan apa yang harus ditolak; antara apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Kepada setiap muttaqin Allah memberikan kemampuan untuk membedakan (furqan). Takwa membersihkan jiwa dan memberikan kemampuan untuk melakukan perbaikan di bumi.
Menurut Mahmud Syaltut dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim, orang yang takwa ialah orang yang memelihara fitrah yang telah Allah. Ia memeliharanya dari segala yang dapat merusaknya, bahkan mereka mendindinginya dengan pancaran kebenaran.
Menurut Abdullah Yusuf Ali dalam Quran Terjemahan dan Tafsirnya, taqwa dan kata kerja serta kata benda yang dikaitkan dengan akar kata itu berarti: (1) takut kepada Allah yang merupakan permulaan kearifan; (2) menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan; (3) ketaatan dan kelakuan yang baik. Bertakwa kepada Allah ialah takut melanggar ketentuan-Nya; sama dengan cinta kepada Allah dan semua makhluk-Nya.
Maulana Muhammad Ali dalam Quran Suci menulis, taqwa ialah memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Muttaqi dari kata kerja ittaqa yang artinya melindungi atau menjaga diri dengan sangat dari dosa, atau dari sesuatu yang merugikannya di akhirat. Muttaqi ialah orang yang menjaga diri dari kejahatan; orang yang berhati-hati; orang yang menghormati atau menetapi kewajiban.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi menulis dalam Tafsir Al-Maraghi bahwa takwa berarti menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, menjaga batas yang menjauhkan manusia dari siksa-Nya. Orang bertakwa ialah orang yang bersih jiwanya, sehingga dapat mencapai petunjuk Allah, siap sedia mengikuti kebenaran dan beramal demi keridhaan Allah sesuai dengan tingkat kesanggupan dan kemampuan berpikirnya.
Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan karena ada kesadaran diri sebagai hamba; memelihara diri jangan sampai terperosok pada perbuatan yang tidak diridhai Tuhan. Memelihara segala perintah-Nya untuk dijalankan dan memelihara kaki jangan terperosok ke tempat berlumpur atau berduri. Kebudayaan Islam ialah kebudayaan takwa. Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, dan sabar, serta berani. Takwa adalah pelaksanaan iman dan amal saleh.
Sahabat Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw tentang takwa. Rasulullah saw pun menjawab, “Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?” Abu Hurairah menjawab, “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur.” Rasulullah pun berkata, “Itulah takwa.” (HR Abud-Dunya).
Muttaqin beriman kepada Allah, Al-Quran, kitab-kitab terdahulu, dan yakin terhadap akhirat, melaksanakan shalat dengan saksama, serta menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan Allah swt kepadanya.
Alif lam mim. Inilah Kitab (Al-Quran), tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang melaksanakan shalat secara berkesinambungan, dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan, mereka yang beriman kepada apa (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu, serta yakin tentang (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS 2:1-5).
Muttaqin memegang teguh ikrar: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah Tuhan alam semesta. (QS 6:162).
Muttaqin berakhlak Al-Quran, sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah saw. Ketika seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah saw, beliau menjawab, “Kana khuluquhu Al-Quran – Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran.”
Muttaqin peduli, mengindahkan, dan memperhatikan Al-Quran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran, “Rasul mengadu, ‘Tuhan, sungguh kaumku mulai meninggalkan Al-Quran.’ (QS 25:30). Menurut Ibnu Taimiyyah, siapa yang tidak membaca Al-Quran ia telah meninggalkan Al-Quran. Siapa yang membaca Al-Quran tanpa memahaminya ia telah meninggalkan Al-Quran. Siapa yang membaca Al-Quran dan memahaminya tetapi tidak mengamalkannya ia telah meninggalkan Al-Quran.
Muttaqin memperoleh keberhasil hidup, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran: Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa kemenangan, berupa surga yang dilengkapi kebun-kebun dan buah-buah anggur serta gadis-gadis remaja lagi sebaya, dan gelas-gelas yang penuh minuman yang lezat. Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula ucapan dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu berupa pemberian yang banyak. (QS 78:31-36).
Muttaqin berpegang teguh pada ajaran Allah. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwa dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim. Berpegang teguhlah kamu semua pada tali agama Allah, yakni Al-Quran, dan janganlah bercerai berai, serta ingatlah nikmat Allah kepadamu … (QS 3:102-103).
Muttaqin mengikuti jalan Allah. Inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, sehingga mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu supaya kamu bertakwa. (QS 6:153).
Muttaqin sabar, taat, berinfak, dan beristighfar kepada Allah. Katakanlah, “Inginkah Kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik daripada yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, di sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Mereka dikaruniai pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Allah Maha Melihat para hamba-Nya. Yaitu orang-orang yang berdoa, “Tuhan, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari azab neraka.” Yakni orang-orang yang sabar, benar, taat, berinfak, dan yang memohon ampun di waktu sahur. (QS 3:15-17).
Muttaqin ingat nikmat Allah dan bersyukur kepada-Nya (3:103, 123); menghindari keburukan dan pikiran jahat (3:134, 5:100); tidak meneruskan perbuatan dosa dan menghindari (7:201, 3:135); tidak khawatir dan sedih serta bertawakal kepada Allah (7:35; 10:62-63, 62:3); memenuhi dan menepati janji (3:76, 9:4, 9:7); benar, jujur, dan adil dalam kata dan perbuatan (5:8, 9:7, 9:119, 61:2-3); mengajak kepada kebaikan dan melarang berbuat mungkar (3:104, 5:93, 16:128); bersatu dan memelihara hubungan baik antar sesama (4:1; 8:1; 11:78), serta berjuang di jalan Allah (5:35, 9:24, 49:15).
Hendaklah kita memenuhi kehendak Allah swt karena cinta. Kita niscaya menemukan kedamaian di dalam kehidupan kita, sehingga dapat menunjuki orang lain menuju kedamaian. Yang terpenting dalam hidup adalah menyerahkan hati kepada Allah. Jika kolam hati penuh, seluruh makhluk akan mendatanginya. (MR Bawa Muhaiyaddeen).
Buah hanya dapat dirasakan di dalam buah itu sendiri. Buah taqwa hanya dapat dirasakan oleh muttaqin; dan hanya mereka yang dapat membimbing orang lain menjadi muttaqin.[]
0 Comments