Mendiskusikan tentang netizen adalah sebuah pembahasan yang menarik akhir-akhir ini, mengingat posisi mereka terbilang sangatlah sentral dalam meramaikan dunia media sosial. Saya, kalian para pembaca dan penikmat media sosial merupakan bagian dari posisi tersebut.
Namun, apakah saya dan kalian para pembaca, termasuk kelompok netizen budiman ataukah sebaliknya? Sebelum itu, ada baiknya kita definisikan dahulu apa itu netizen.
Netizen sering juga disebut dengan “warganet”, yakni seorang yang aktif terlibat dalam hal kepentingan dan kegiatan di dunia maya atau internet, dan menjadikannya sebagai wadah sosial, intelektual, juga politik dan beberapa hal lain, khususnya terkait akses terbuka, netralitas internet dan kebebasan berbicara.
Dalam istilah lain disebut juga dengan cybercitizen. Istilah tersebut banyak dipakai pada pertengahan 1990-an sebagai cara untuk menyebut orang-orang yang mendiami geografi baru dari internet. Pencetus dan yang mentenarkan istilah tersebut adalah Michael F. Hauben, merupakan seorang pionir atau perintis internet.
Dalam perkembangannya di era modern, istilah ini seakan-akan memiliki patron atau pengertian yang bernuansa negatif, khususnya bagi kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan perilaku menyimpang dan beberapa komentar para pengguna media sosial tentang suatu hal yang jauh dari jangkauan nilai etika dan sopan santun. Tentu sulit melacak siapa yang memulai tren tersebut, sehingga istilah netizen mendapat gambaran yang begitu negatif.
Maka, melalui tulisan yang singkat ini, saya melakukan klasifikasi tentang istilah netizen atau warganet ini, menurut tingkah laku, dan perbuatan para pengguna media sosial dengan mengambil salah satu terminologi yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad saw yakni, ruwaibidhah.
Siapa itu ruwaibidhah? Rasululllah menjawab: “(Dia) adalah (seseorang) manusia (yang) bodoh yang memegang jabatan publik”. (HR. Ibnu Majah)
Kata “bodoh” di sini dalam artian “tidak mempunyai kemampuan atau keahlian di bidangnya”. Sedangkan “jabatan publik” jika kita kontekskan pada masa kini, dapat berarti presiden, gubernur, anggota DPR, DPRD, termasuk para pengguna media sosial, atau para netizen.
Mengapa demikian, karena dari tingkah laku yang ditunjukan oleh beberapa netizen, misalkan dalam hal berkomentar bahkan menulis sesuatu di media sosial tidaklah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pada pengertian lain, netizen dalam klasifikasi ini, selalu mencitrakan diri sebagai seorang pakar, memerankan dirinya layaknya pengumbar fatwa yang berisi tentang dusta dan fitnah, hal ini dikarenakan kepiawaiannya membangun citra dan kehebatan retorika, seolah-olah paling ahli.
Ditambah beberapa unsur lain seperti blow-up berbagai media pendukung, pendapatnya dikutip oleh para pengikut setianya dengan satu keyakinan bahwa apa pun yang dikatakannya selalu benar. Inilah yang saya sebut dengan “netizen ruwaibidhah”.
Kita dapat contohkan dalam hal menafsirkan ayat al-Quran. Di dunia dan Indonesia khususnya terdapat beberapa mufassir terkemuka yang mumpuni dalam bidang tafsir dan telah “melek” terhadap media sosial sehingga para mufassir ini aktif di media sosial, sebagai langkah untuk memahamkan para masyarakat tentang suatu fenomena yang muncul dan ada sangkut-pautnya dengan ayat al-Quran atau hadis.
Mereka saya sebut dengan netizen ahlun, yakni netizen yang memiliki keahlian di bidangnya. Sebut saja, M. Quraish Shihab, Nadirsyah Hosen, Sahiron Syamsuddin, Abdul Mustaqim dan beberapa ahli tafsir lainnya.
Namun, pada kenyataannya masyarakat lebih memihak pada penafsiran dari segelintir orang atau netizen yang tidak memiliki landasan ilmu tafsir sebagaimana para mufassir yang saya sebutkan sebelumnya. Penyebabnya seperti yang telah disebutkan, yakni kepiawaian membangun citra, kehebatan retorika seolah-olah paling paham dan fasih.
Hal ini saya lihat sebagai kemunduran otoritas masyarakat dalam mengambil sumber hukum yang tepat hingga menghasilkan hoaks yang bertebaran di mana-mana.
Peran dari beberapa media juga menjadi salah satu faktor untuk menggiring opini yang tidak benar terhadap para mufassir sebagai orang yang memiliki otoritas keilmuan memadai. Para mufassir seakan dicitrakan dengan tuduhan yang tidak relevan seperti, berakidah Syiah, berpaham liberal, kafir dan tuduhan rendahan lainnya, hal itu membuat kepercayaan masyarakat mulai menurun terhadap mereka. Sedangkan para netizen ruwaibidhah diagung-agungkan.
Jika kita lihat dalam al-Quran pada QS. an-Nisa (4): 58;
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. an-Nisa [4]: 58)
Dalam pandangan Al-Maraghi, makna “amanah” adalah sesuatu yang harus diberikan kepadanya ahlinya, yang mampu menjaganya, dipercaya, dan tidak melakukan pengkhianatan atasnya. Sejalan dengan itu, M. Quraish Shihab juga menafsirkan bahwa amanah itu harus ditunaikan kepada ahliha atau pemiliknya. Amanah dapat berupa jabatan juga pemilik otoritas tafsir al-Quran, yang harus diserahkan pada orang-orang yang berkompeten di bidangnya.
Kita sebagai masyarakat harus mampu dan jeli dalam menerima berita, atau penafsiran al-Quran. Terlebih dulu lihat siapa yang menyampaikan dengan tidak terpaku pada pengikut (followers) media sosial, namun pada bidang keilmuannya.
Kemudian menela’ah ulang apa yang disampaikan sebelum membagikan pemahaman atau penafsiran, jangan langsung mengambil tanpa mengkaji (taken for granted). Sehingga dapat terhindar dari kebohongan, menjadi netizen ahlun atau netizen yang budiman, tidak termasuk pada klasifikasi pada netizen ruwaibidhah.
Sebagaimana pesan Allah SWT pada QS. al-Hujurat [49]: 6;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat [49]: 6)
0 Comments