Ulama fiqih lebih dahulu dalam memahami Hadis sebagai sumber ajaran Islam dibandingkan ulama hadis. Hal ini setidaknya dapat dilihat aktivitas ulama fiqih atas persoalan hukum yang ada pada masa awal Islam baik masa Rasulullah sampai generasi sesudahnya. Sementara itu, ulama hadis baru berupaya menjaga hadis dan menghimpunnya dalam sebuah kitab khusus. Dengan demikian, sebelum ahli hadis menjadikan dalam pemahaman atasnya ulama fiqih sudah mendahuluinya.
Kenyataan di atas merupakan komsekwensi dari perkembangan hukum atas ajaran Islam. Hal inilah menjadikan Hadis sebagai sebuah contoh tafsir awal atas Al-Qur’an. Perbedaan dalam hukum fiqih juga bersumber dari hadis. Hubungan antara hadis dengan fiqih sebagaimana digambarkan oleh al-A’masy (w. 150 H.) seperti hubungan antara dokter dan apoteker. Dalam konteks ini apoterker adalah ahli hadis dan dokternya adalah fuqaha’. Dengan demikian, antara ahli fiqih dan ahli hadis berbeda peran namun satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Kebutuhan akan kedua ahli tersebut dalam memahami ajaran Islam sangat penting. Bahkan lebih dari itu, mutiara hadis menghasilkan beragam keilmuan lain. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Sholah (w. 643 H.) dalam kitabnya Muqaddimah ibn Shalah. Hal ini juga diperkuat oleh beragam pendapat serupa seperti Ahmad ibn Hanbal (w. 241H.). yang menyatakan ahli hadis yang menguasai fiqih lebih baik dari pada yang tidak menguasainya atau hanya menghafal hadis saja. Dengan demikian, keilmuan fiqih dan hadis sangat mendukung satu dengan lainnya.
Era abad kedua dalam sejarahnya menghasilkan epistemologi keilmuan yang tidak mendikotomikan antara hadis dan fiqih. Kenyataan ini didukung oleh mazhab ahl al-ra’yi dengan tokohnya Imam Abu Hanifah (w. 150 H.) dan mazhab ahli hadis yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). Dengan demikian, keduanya dalam keilmuan awal saling integrasikan satu dengan yang lainnya.
Kitab fiqh al-Hadis yang pertama adalah Ma’alim al-Sunnah atau yang dikenal dengan Syarah Sunan al-Nasa’i. Hal ini dikarenakan secara pribadi penulisnya, Abu Sulaiman al-Khattabi al-Basti memberikan nama dengan Tafsir Sunnah Abu Dawud. Pola penjelasan yang dilakukan adalah menjelaskan mufradah hadis, deskripsi makna-maknanya, sisi hukumnya, hal-hal yang menjadi perdebatan dalam istinbat dan sebagainya. Dengan pola penjelasan seperti tersebut menjadikan pola syarah hadis yang dikenal oleh ahli hadis abad ke-7 H. tidak ditemukan.
Usaha yang dilakukan ulama yang dikenal dengan nasir al-sunnah sangat berperan dalam hal ini. Hal ini dikarenakan sosok Muhammad Idris al-Syafi’i (w. 204 H.) tengah membangun fondasi keilmuan yang dikenal dengan ushul al-fiqih. Kebutuhan akan persoalan hukum menjadi bagian penting dalam perkembangan kehidupan manusia. Hal inilah yang menjadikan kreativitas ulama dalam memahami hadis. Sehingga hadis dapat dipahami dengan sesuai konteks yang terus berkembang dengan baik. Dengan demikian, sosok keilmuan al-Syafi’i menjadi penting dalam petkembangan.
Karya-karya Imam al-Syafi’i menjadikan ahli hadis berkembang. Hal ini setidaknya sesuai ungkapan al-Za’farani (w. 260 H.). yang menggambarkan ahli hadis tidak mengembangkqn pemahaman hadis dan baru sadar serta bangun setelah Imam al-Syafi’i tersebut. Dengan demikian, melalui tangan Imam al-Syafi’i menyadarkan pentingnya fiqh al-hadis.
Kontribusi ulama fiqih yang dikenal sebagai nasir al-sunnah adalah sangat besar. Setidaknya melalui kitab a-Risalah dan al-Umm. Kedua kitab tersebut dijadiksn sebagai induk dari ilmu hadis, fiqih dan fiqhul hadis. Sebagai metodologi fiqh al-Hadis adalah al-Risalah sedangkan aplikasinya adalah dalam kitab al-Umm. Dengan demikian, melalui al-Syafi’i telah menjadikan kajian hadis dan fiqih pun berkembang pesat.
Kenyataan tersebut menjadikan lahirnya kitab hadis yang bernuansakan fiqih. Hal tersebut sebagaimana lahirnya kitab hadis seperti dengan metode sunan yang berisikan hadis berdasarkan bab-bab sebagaimana dalam kitab fiqih. Walaupun dalam sejarahnya pola ini sudah ada jauh pada masa sebelumnya yaitu masa tabi’in. Hal ini sebagaimana pendapat MM Azami yang menyatakan pelopornya adalah Amir ibn Syarahil ibn Amr al-Sya’labi al-Hamdani (w. 103 H.).
Bahkan masa sebelumnya yakni masa sahabat telah ada walaupun hanya dalam bentuk yang sederhana yang dikenal dengan sahifah. Dengan demikian, pola tematik dengan tema-tema fikih adalah menjadi kebutuhan masyarakat dan temanya juga berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.
Fenomena di atas merupakan bagian dari upaya pemeliharaan hadis. Kendati hal tersebut bukan menjadi fokus utama melainkan person tertentu yang memiliki kemampuan dalam menjaga hadis dengan kesadaran pribadi melakukan penulisan hadis. Hasil tersebut berjalan terus sampai muncul ide dari khalifah Umar ibn Abd Aziz untuk mengkompilasi hadis dengan alasan akan hilangnya ilmu seiring banyaknya ahli hadis yang wafat.
Syukran kasira ustd, ilmunya…