Dalam keadaan mabuk seperti ini semua hal tidak terduga bisa saja mungkin terjadi.
Malam ini sangat dingin. Seperti biasa keadaan jalanan kota bila telah dini hari akan sepi. Beberapa lampu jalan yang ada tak berfungsi, hingga jarak pandang sedikit remang dan lengang. Kondisi itu aman bagi kami berdua yang sedang mabuk.
“Maklumlah pekerjaan kami tadi sangatlah berat dan banyak yang harus diselesaikan,” katanya.
Pengunjung kedai kopi tempat kami bekerja beberapa hari ini sangat banyak, dan beberapa jam lalu adalah puncaknya. Kami buruh dan bekerja seperti diburu.
“Diburu siapa?” kecepatan waktu.
“Yaa, aku merasa hidup di zaman ini seperti terburu-buru.”
“Yaa, hidup selalu terburu-terburu.”
“Mungkin,” sudahlah.
Tapi pada keadaan mabuk seperti ini, kami sering punya kebiasaan buruk. Pikiran dan imajinasi semakin bebas, liar, dan membuat kami terus berhalusinasi tidak jelas. Mendadak, kami seperti pengkhayal yang agung, dengan khayalan recehan.
Kami mabuk, tapi aku tidak terlalu berat. Aku berhasil, oleng bisa kuatasi ketika minum tadi, bahkan sampai saat ini. Buktinya aku masih bisa membopong kawanku yang mabuk berat, ia berkeringat dingin dan muntah banyak sekali.
Kami berdua menghabiskan 2 botol anggur merah dan setengah liter ciu. Aku membawanya keluar dari kedai kopi dan mengantarnya pulang kepemondokannya, tempat ia tinggal, di belakang universitas tempat kami berdua menempuh pendidikan.
Kami bekerja di sebuah kedai kopi, yang bisa dibilang tidak terlalu sederhana, juga tidak mewah.
Tapi itu dulu. “Yaa, dulu ketika kami berdua masih bekerja di kedai yang sama.”
Kami selalu minum-minum sehabis kerja, kami patungan, jika masih ada beberapa uang. Jika tidak ada sama sekali, kami bon kepada bos beberapa ratus ribu untuk beli minuman dan untuk hidup beberapa hari ke depan.
Kami akan minum jika keadaan kedai kopi tempat kami bekerja, diserang oleh banyak pemburu bualan, kegelisahan, kesenangan perempuan-perempuan pembela feminitas, atau para pemulung yang menyetor sampah tanggung jawab kertas-kertas berkas (tugas) yang disetorkannya ke pengepul berkas, para PNS (Pegawai Negeri Syair), jurnalis, novelis—dari yang moralis sampai immoralis, aktivis-aktivis pembebasan sampai aktivis-aktivis kemandekan, komunitas rongsokan besi motor, orang-orang tua yang sama tuanya dengan kota ini, yakni—mereka alumni universitas kami yang tersesat di kota ini, yang tak tahu arah pulang, dan seniman-seniman musiman.
Walaupun di antara mereka, para cendekia zaman baru itu, banyak yang satu universitas dengan kami. Kami memilih meminggirkan diri dari mereka, itu kami sengaja.
Di umur kami yang ke-20an ini, kami seperti mulai memasuki periode sinis kepada dunia. Kami muak melihat kepalsuan-kepalsuan di sekeliling kami. Ada beberapa teman di luar kami berdua selalu bilang pada kami, “dalam kehidupan itu semua biasa.” kami bisa mengerti, tapi tak bisa menerima.
Lima tahun lalu kami masih hidup dengan penuh harapan. Tapi yang penting mungkin bukan sekadar harapan. Yang penting adalah kenyataan, dan kenyataan telah membuat kami kecewa. Kami mulai jenuh dengan basa-basi. Sikap kami mulai kasar dan terang-terangan. Banyak kawan mulai sakit hati, dan akhirnya kami tersingkir dari koloni. Hanya sesekali saja mereka berjumpa dengan kami, mungkin karena kesibukan makin hari makin bertambah.
Kami biasa minum di halaman belakang kedai kopi tempat kami bekerja, di sana lampunya redup dan hanya ada dua, sisi kanan dan kiri bangku paling awal.
Kami memilih bangku yang paling remang, agak memojok, letaknya di bawah pohon, antara pohon mangga dan sawo. Sehari dalam seminggu biasanya kami berdua minum. “Yaa, hanya kami berdua.”
Dalam keadaan mabuk kami berdua mulai berbicara apa saja, panjang lebar, asal tidak boleh ngawur dan membuat lawan bicaranya tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan.
Jika demikian, berarti salah satu dari kami ada yang mulai mabuk. Lebih sering kami punya banyak satir dan lelucon. Terkadang, tidak jarang kami teriak-teriak membaca puisi tidak jelas. Pernah suatu hari kami berdua mabuk di kedai kopi, kami membaca puisi W.S. Rendra sambil berteriak-teriak dan ketawa-ketawa tidak jelas.
Kemudian kawanku naik ke atas meja dengan sempoyongan. Dengan badannya yang tampak berkeringat dingin dan memerah, dia mulai berteriak-teriak dan—sedikit kekanakan—dalam mabuknya membacakan puisi untuk seluruh pengunjung kedai kopi itu. Dia berkata:
“Para pengunjung dan penikmat kopi yang budiman, saya minta perhatiannya sebentar.”
“Tolong semuanya harap diam sebentar,” berteriak dengan suara yang agak serak.
Jika sudah seperti ini, biasannya aku hanya diam dan melihat saja aksinya. “Lumayan, hiburan seperti ini hanya ada jika dia dalam keadaan mabuk.”
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam, para penikmat kopi yang budiman, yang insya Allah kalian selalu dekat dan berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.”
“Karena apa?”
“Karena kopi, konon katanya adalah minuman kaum sufi. Kaum sufi adalah orang-orang yang berjalan di jalan tasawuf, orang yang sedang dalam proses menuju pembersihan jiwa, sebab mereka merasa selalu ada yang tidak beres dalam jiwanya.”
“Ya, walaupun kopi yang kalian minum adalah hasil dari kerja kami yang pemabuk ini.”
“Yakinlah!”
Kemudian dia membuka pertunjukannya.
Seketika semua pandang di kedai kopi itu tertuju padanya. Ekspresinya macam-macam. Ada yang senyum penuh antusias, tertawa penuh cemas, beberapa lainnya menunjukkan air muka jijik.
“Saya minta waktu dan perhatian kalian sebentar”
“Izinkan saya menghibur kalian”
“Saya akan membacakan salah satu puisi dari W.S. Rendra yang tidak pernah ada dalam buku antologi puisi Rendra manapun untuk kalian.”
“Bismillaahirrohmaanirrohiim.”
Lalu dia memintaku mencari puisi itu di handphonenya.
“Hei, babi, Hp mana?”
“Rene!”
“Kau tidurkah?”
“Kau tidur apa mabuk?”
“Hp mana!” dia berteriak.
Aku yang melamun karena memikirkan tingkahnya saat mabuk, sontak kaget dan menjawab, “Habis, anjing.”
“Kau makan kah Hpku, kenapa bisa habis?”
“Oh, Hp.”
“Iyaa, kau kira apa?”
“Kukira jus tape.”
“Ya, tuhanku, bantulah kawanku ini menyelesaikan masalah pribadinya agar babi ini tidak sering melamun.”
Beberapa saat kemudian dia mulai membacakannya.
Pantun Koruptor**
W.S. Rendra
Kalau ada sumur di ladang
Jangan diintip gadis yang mandi
Koruptor akalnya panjang
Jaksa dan hakim diajak kompromi
Berburu ke padang datar
Mendapat janda belang di kaki
Koruptor sakit diijinkan pesiar
Uang rakyat dibawa lari
Berakit rakit ke hulu
Berenangnya kapan-kapan
Maling kecil sakit melulu
Maling besar dimuliakan
Ur… Ur… Ur… Ur… Bada Ur…
Selendang sutra jingga
Aturan negara ngalor ngidul
Lantaran wakil rakyat korupsi juga
Hio… Hio… Hio… Hio…
Kura-kura dalam perahu
Buaya darat di dalam sedan
Wakil rakyat jangan ditiru
Korupsinya edan-edanan
Si tukang riba disebut lintah darat
Si hidung belang disebut buaya darat
Pedagang banyak hutang itulah konglomerat
Mereka yang berhutang yang bayar, lha, kok rakyat?
Binatang bego itu kura-kura
Binatang lamban juga kura-kura
BBM naik rakyat sengsara
Uang bea cukai ditilep juga
Aduh aduh cantiknya si janda kembang
Sedang menyanyi si Jali Jali
Hujan emas di rantau orang
Hujan babu di negeri sendiri
Hio… Hio… Hio…
Ale… Ale… Ale…
Bakso… Bakso… Bakso…
Onde… Onde… Onde…
Mikul duwur mendem jero.
Kemudian ia tutup penampilannya dengan ucapan terimakasih dan salam. Betapa santun!
Kawanku kembali duduk di bangkunya dengan sempoyongan dan tetap dalam keadaan mabuk. Ia menanyakan penampilannya kepadaku.
“Bagaimana penampilanku tadi, apa aku sudah terlihat seperti nabi?”
Kami sering membaca puisi W.S. Rendra, Wiji Thukul, dan Chairil Anwar di depan umum. Cukup itu saja. Tapi bukan berarti kami tidak suka atau tidak tahu penyair-penyair bagus lainnya. Hanya saja, dalam keadaan mabuk seperti itu, hanya tiga nama penyair yang tertinggal di batok kepala kami. Nama mereka bertiga seperti sudah menetap di ingatan kami berdua.
Dengan wajah malu dan bodoh aku menjawab, “Hehehe, ya, bagus, tapi apa maksudmu dengan nabi sekaligus rasul?”
“Bagus, serius?”
“Kau tidak sedang menjadi lelaki jawa yang pemalu dan pembual seperti umumnya kan?”
“Maksudmu bodoh?”
“Hahaha, tidak. Aku bercanda,”
“Aku yakin kau tidak seperti mereka, kau Jawa limited edition, hahaha.”
“Tapi apa maksudmu dengan nabi-rasul?”
“Ya, nabi-rasul!”
“Semacam seorang pemberi kabar, ajaran dari kitab tertentu begitu?”
“Ya, seperti itu.”
“Hahaha, kau mabuk bodoh.”
“Ya, tapi aku masih waras, masih sadar dan bisa berpikir. Hanya kepalaku pusing dan badanku lemas.”
“Ya, kau betul. Kita cuma mabuk. Bukan gila, ya?”
“Ya, bagaimana?”
“Tapi aku tidak percaya bahwa ada nabi sekaligus rasul lagi setelah nabi Muhammad SAW.”
“Haduuh, jawabanmu agamis sekali, kawan. Kita tidak sedang membicarakan nabi dalam konteks agama.”
“Lalu?”
“Ini nabi dalam sastra.”
“Sastra?”
“Ya, sastra. Aku mendengar beberapa orang terkadang ada yang menyebut para penyair, novelis, atau cerpenis, sebagai nabi.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Mungkin karena pekerjaan mereka hampir sama dengan nabi.”
“Mereka, para penyair, novelis, cerpenis, dan penulis lainnya, juga membawa sebuah kabar, dan ajaran. Juga kitab atau buku yang mereka karang sendiri. Tentu hasil dari buah kegelisahan hidup mereka dalam membaca semua realitas yang ada.”
“Tapi nabi tidak mengarang buku maupun kitab.”
“Tapi mereka membaca realitas di sekeliling mereka.”
“Maksudnya?”
“Apa kau tidak merasa bahwa kesadaran mereka dalam menangkap realitas yang terjadi sekarang di atas rata-rata manusia zaman ini, mereka memiliki kesadaran pikir setara nabi.”
“Lalu mereka menuangkan isi pikirannya ke sebuah tulisan sastra begitu?”
“Ya, seperti itu. Kau jangan lupa, nabi pun juga manusia sama seperti kita!”
“Mereka juga daging, yang membedakan kita dengan mereka mungkin hanya kapasitas berpikir dan pengolahan kesadaran terhadap realitas yang ada saja.”
“Ya Tuhan, kau cerdas sekali jika mabuk. Mudah-mudahan kau selalu diberi kemudahan untuk selalu mabuk oleh Tuhan. Aamiin.”
“Maka nikmat mabuk mana lagi yang kita dustakan, kawan?”
Lalu kami tertawa.
“Dan kita sekarang berada di antara mereka, para nabi itu. Kita bekerja di kedai kopi tempat mereka biasa minum kopi.”
“Yang benar saja, kau Zen, maksudmu?”
“Ya, ada banyak penulis dan sastrawan yang biasa minum kopi di tempat ini.”
“Serius? Tahu dari mana kau? Siapa saja mereka?”
“Kau tahu dia yang biasa duduk di depan TV dan membelakangi TV itu?”
“Tidak. Siapa dia?”
“Dia penulis novel yang paling kau sukai. Novel yang berjudul Kambing dan Ujang, juga novel Kisah Kelabu Jalan Pandu.”
“Waaaah, serius itu beliau?”
“Ya, itu dia.”
“Ada lagi?”
“Ya, ada. Dia yang biasa duduk di bangku pojok kanan paling depan, si pangeran berkunang-kunang, penulis naskah drama Hakim Kang Min. Dia baru merilis buku terbarunya yang berjudul Barista Tanpa Mama.”
“Ada juga penulis paling muda. Dia seusia kita, bukunya berjudul 5 Sifat Baik Daun Ganja.”
“Siapa lagi, Zen?”
“Dia, yang berada di bangku paling belakang dari deretan TV, dia penulis buku Tarian Mabuk Hutan, dan masih banyak lagi.”
“Astaga, aku tidak percaya ternyata selama ini mereka ngopi di tempat ini.”
“Ya, mereka semua nabi zaman baru itu. Selama ini menyeruput kopi buatan tangan kita.”
“Selama ini kopi buatan kita menemani pikiran mereka yang terus berkerja, Zen.”
“Ya, begitulah.”
“Walaupun kita pemabuk, kopi buatan kita jadi selera para nabi.”
“Ya begitulah.”
Kami berdua tertawa terbahak.
Yogyakarta, 2 Oktober 2018.
** Dibacakan WS Rendra ditengah Iwan Fals dan kawan-kawan menyanyikan lagu HIO dalam konser Merdeka yang berlangsung di Leuwinanggung 16 Agustus 2008.
Baca juga cerpen-cerpen lainnya di sini!
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments