“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum…”
“’Alaikumsalam… Siapa?”
“Saya, Ahliya Pucuk, Umi Merah.”
“Oh, iya. Sebentar. Sendiri ya?”
“Iya.”
Pintu terbuka perlahan, terkuak seukuran badan. Seorang perempuan masuk dan duduk. Pintu kembali ditutup.
“Ada tamu di rumah kami, mencari Pak Taman sekeluarga, katanya.”
“Siapa?”
“Ndak tahu. Dari Surabaya, katanya. Dia datang bersama anak perempuannya, dan seorang laki-laki yang nyupiri. Mantunya, suami anaknya itu. Sedang suaminya sendiri ndak ikut. Mereka pakai mobil, kayak yang dipakai Pak Bupati waktu sowan ke ndalem Romo Kyai dulu. Mobilnya guede dan guagah. Abi bilang, namanya Alfath atau apaa gituu… Mbuh. Ya begitu itulah.”
Bunga diam saja. Wajahnya rata, tak berkesan apa-apa.
“Pak Taman dan njenengan ini, sebenarnya siapa ya?”
“Memangnya kenapa, bu?”
“Sejak pindah hijrah ke sini, Pak Taman dan njenengan suka banyak diam. Senyum sana, senyum sini. Ndak banyak bicara. Ngomongnya, ya seperlunya, sepantesnya. Ditanya satu, jawabnya satu. Ndak ditanya, ndak ngomong apa-apa. Tapi sekarang, eeh malah dicari orang kaya. Abi sampai bingung dibuatnya. Saya juga. Sebenarnya, kami ini ya, sudah lama lho bertanya-tanya.”
Bunga tak menanggapi. Bibirnya tersungging, menampakkan gigi yang putih bersih dan rapi. Terawat, sejak lama sekali.
“Ibu tamu itu bilang, dia dipaksa lho, ke sini.”
“Dipaksa?”
“Iya. Makanya mereka ke sini, Pak Taman sekeluarga yang dicari.”
Bunga kembali diam. Raut wajahnya tak segaris pun dapat dijadikan kalam.
“Boleh?”
“Kalau perempuan, Pak Taman ngizinkan.”
Wajah perempuan itu cerah. Senyumnya sumbringah.
“Tak gowo rene, yo.”
“Tapi baik juga njenengan ikut nemani.”
“Ya, jelas tho.”
Perempuan itu datang dan pergi dengan berjalan kaki. Rumahnya sememang tak jauh, hanya kisaran 90-an meter jarak tempuh. Sebelah, sebelah, sebelah, sebelah, sebelah, sebelahnya lagi. Berselang lima rumah. Sedang Bunga, setelah menutup pintu, terlihat sedikit sibuk di situ. Mengemas merapikan barang-barang yang berserak-tumpuk.
“Oh, ini rumah Pak Taman, rupanya. Dan ibu ini istrinya?”
“Iya.”
Perempuan tamu itu memperkenalkan diri. Lalu, menjelaskan siapa mereka. Panjang lebar ia bercerita, terutama silsilah keluarga besar mereka. Sesekali, anaknya melengkapi. Bunga dan Ahliya Pucuk tawajuh mendengarkan, duduk diam di hadapan tamu yang baru mereka kenal itu. Sedang mantunya yang nyupir, mau masuk tak diizinkan, dan memilih nunggu di kendaraan.
Rupanya, perempuan tamu itu dan suaminya masih keturunan Sunan Ampel, yang juga dikenal dengan nama Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah, anak dari Syeikh Ibrahim Samarkandi, cucu seorang ulama besar asal Bukhara, Rusia Selatan, Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra. Mereka keluarga besar ulama.
“Maaf ibu, kami datang dari Surabaya, lebih dari empat jam baru sampai ke sini. Dan tadi malam tidurnya pun telat, dicecar pikiran sendiri. Maafkan, jika kami terlihat agak kelelahan.”
Bunga mengangguk pelan, lalu pamit ke belakang. Sedang perempuan tamu itu melanjutkan bincang dengan Ahliya Pucuk. Saat kembali, Bunga membawa sebuah nampan berisi empat gelas minuman. Setelah meletakkannya, ia mengambil tiga toples kecil, berisi teman ngemil.
“Maaf, kami ndak lama. Hanya hendak nyampaikan pesan.”
Bunga tak bersuara. Hanya matanya yang bicara. Semenjak tadi, sebetulnya. Dan perempuan tamu itu paham maksudnya.
“Kami berangkat dari Surabaya kemarin petang, sebelum Maghrib. Tapi maaf, ndak langsung ke sini, sebab sampainya malam sekali. Tadinya niat mau nginap di Sarangan. Banyak hotel di sana, dan udaranya nyaman. Tapi, setelah nanya, saat berhenti makan di sekitaran Alun-alun Madiun, rupanya tempat yang mau dituju ini malah lebih dekat dari sana, walaupun masuk dalam wilayah Kabupaten Magetan. Kami putuskan untuk nginap di Madiun saja.”
Bunga masih tetap berdiam diri. Matanya yang bulat memandang dengan alis bertanya. Sebaliknya, Ahliya Pucuk terlihat suka mendengarnya.
“Sebetulnya, kedatangan kami ini hanya hendak menyampaikan pesan. Selama tiga malam pekan lalu, saya bermimpi. Dan tiap malam, mimpi dua kali. Mimpi pertama jumpa malaikat, dan mimpi kedua jumpa Nabi Muhammad. Isinya sama, mereka berpesan, “Sampaikan kotak ini pada Taman sekeluarga. Mereka sudah berkali-kali memesannya”. Lalu, keduanya memberikan alamat tujuan: “Taman Sekeluarga, dekat Masjid Taqwa, Desa Klagen, Kecamatan Barat, Magetan”. Begitu alamat yang diberikan.”
Bunga terkejut. Benarkah? Matanya berubah-ubah makna, kadang ragu, kadang haru. Namun, perempuan itu tak perduli. Ia menyerahkan sebuah kotak dalam bungkusan, lebih besar dari kepalan tangan. Bunga menerima, dengan bibir bergetar tak tertahan. Ada cahaya terpancar dari sana, mengiring asma yang dilafazkannya.
“Allah, tuhanku.”
“Ya, Allah yang memaksa kami ke sini. Setelah mimpi malam pertama, saya anggap itu hanya kembang tidur saja. Dan ketika saya sampaikan kepada keluarga, semua juga menganggap itu hal yang biasa. Kami tak memperdulikannya. Ketika mimpi malam kedua, hati saya mulai bertanya-tanya. Keluarga juga. Lalu, kami memeriksa kotak pesanan itu bersama-sama, di tempat yang disebutkan. Dan ternyata, ada! Alangkah kagetnya kami. Tapi ndak tahu harus berbuat apa. Seharian kami sangat terganggu olehnya. Mimpi malam ketiga, kami seperti dikejar dosa. Kami resah dibuatnya. Allah-lah yang telah memaksa kami ke sini.”
Suasana di ruang itu pun berubah magis. Macam-macam bau wangi lalu-lalang berbaris-baris. Perempuan tamu itu, anak-beranak, seperti hendak menangis. Lalu mereka berdiri, dan memeluk Bunga erat sekali, seakan tak hendak dilepaskan lagi. Mereka terharu dan tak menyangka, mimpi itu nyata rupanya. Sedang Bunga hanya tegak kaku, membiarkan airmata mereka menetes di bahu.
“Jadilah saudara kami. Biarkan keluarga ini menjadi bagian dari keluarga kami. Dan izinkan kami berkunjung ke mari, di lain kesempatan.”
Kini, Bunga yang dapat giliran. Air mengalir tak tertahan. Dari kelopak mata, dari lipatan-lipatan hatinya.
“Tadi, sebelum ke sini, Pak Pucuk cerita, Pak Taman sedang pergi belajar ngamalkan agama, dan baru kembali satu bulan ke depan. Tolong sampaikan salam hormat kami pada Pak Taman. Semoga bulan depan, saat Pak Taman sudah kembali, kami dibolehkan ke sini. Untuk silaturrahmi, menjalin tali persaudaraan.”
Mereka pun pamit. Sebelumnya, mereka minta nomor yang dapat dihubungi. Dan mereka juga meninggalkan alamat di Surabaya, dan nomor untuk komunikasi, sembari menyerahkan sebuah bungkusan lagi, sebagai tanda pernah datang bersilaturrahmi. Bunga menerimanya dengan mata bertanya-tanya.
“Umi Merah…”
“Saya ndak akan cerita-cerita, bahkan sama Pak Pucuk. Njenengan ndak perlu cemas.”
Ahliya Pucuk kembali ke rumah. Mata, hati dan telinganya telah terbuka, terang menyala. Sedang mulut, rapat terbalut.
Setelah menutup pintu, Bunga berdiri kaku di situ. Kedua telapak tangan menggenggam erat kedua bungkusan itu. Hatinya bertanya-tanya, apa isinya? Ia sangat ingin membuka. Namun, ia tak berani, dan menyimpannya di tempat yang paling rahasia, sampai suaminya kembali, lebih kurang sebulan lagi.
***
BUNGA belum berpindah dari sajadah. Selepas salam, ia menggegas ingat kepada Allah. Ia tersepuk duduk tawaruk, kepalanya dalam tertunduk. Sedang mulut tak henti menyebut. Berbisik pada tanah, gaung membubung ke Arsy Allah. Membuat bulan dan bintang malu, sembunyikan diri dengan wajah bersemu.
Setelah itu, ia mengangkat kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar, menggigil ketakutan. Membuat air tumpah dan mengalir bak banjir, tak tertahankan. Dari kelopak mata, dari lipatan-lipatan hatinya. Saban malam ia begitu itu, saban kokok ayam belum bersahut membangunkan.
Ya, hari masih gelap. Matahari masih tertidur lelap. Tapi Bunga sudah sedia menghadap. Ia merendah menghinakan diri, membasuh meruntuh hati. Ia hendak tiada, dan lebur dalam Ilahi. Begitu itu ia selalu, hingga adzan Subuh berkumandang. Dan selepas Subuh, ia akan mengulangi lagi, hingga waktu Syuruq dan mentari datang, dan Dhuha perlahan-lahan mulai bertandang. Saban pagi ia begitu itu, saban kaki belum dilangkahkan.
Jam dinding di angka 08.00 WIB kurang sedikit. Setelah pulang dari pasar, Bunga membenamkan diri di dapur, dan mesin cuci. Pakaian anak-anak yang kotor hari itu banyak sekali. Bunga menjemputnya dua kali seminggu. Dan di kali kedua, anak-anak selalu ikut pulang bersamanya, menghabiskan waktu libur, seharian di rumah.
Ya, ketiga anak perempuannya mondok. Pondoknya pun tak jauh, hanya sekitar 700 meter saja dari rumah. Setiap hari, Bunga menjumpai mereka, kala ngantar makan ke sana. Siang dan petang. Ketiganya sememang tak (bayar) makan di pondok, sebab mereka tak punya kemampuan. Mereka izin nginap dan mengaji saja, dan tak dipungut biaya.
Biasanya, mereka makan bersama dalam satu nampan. Bunga selalu menemani dan melayani. Setelah itu, mereka selalu berdoa, agar Allah memilih mereka menjadi hamba yang diampuni dan diridhai, dan dimudahkan semua urusan dan keperluan. Hidup mereka sememang sempit, napas mereka selalu terjepit. Namun hati lapang, lebih dari langit yang terbentang.
“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum…”
“Siapa? Bapak ndak ada!”
Tak puas dengan jawaban sergah kasar itu, sebagai tambahan, Bunga memukul daun pintu dengan sanding buku tangan bagian dalam. Berdentum keras, membuat cemas. Sedang Taman dan Batang tersenyum senang di teras. Lalu, Batang langsung pulang, tak mau disuruh Taman mengucapkan salam lagi. Ia berjalan ke kendaraan sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala, setelah sebelumnya bersalam berpelukan dengan Taman.
“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum…”
“Ayah?”
“Hhmm… Hhmm…”
“Ayah! Masyaallah…”
Pintu terbuka perlahan, terkuak seukuran badan. Taman melangkah masuk, dan pintu kembali ditutup. Sedang Bunga menunggu agak ke belakang, menghala mata ke arah Taman datang. Mereka pun saling pandang. Cahaya penuh di mata, mengikuti tabuh gendang di dada, menerjemahkan rindu dan cinta. Dalam nama Allah, Tuhan Alam Semesta.
Dan siang itu juga, Bunga menceritakan semuanya. Lengkap, tak ditambah tak dikurang. Lalu mengambil dua buah bungkusan, dan menyerahkannya pada Taman. Taman menimang-nimang keduanya dengan rasa haru. Sebutir-dua airmata mengalir di pipi. Bunga juga, sambil menyandarkan diri ke pelukan suami.
“Malam nanti kita mohon, agar Allah mengembalikan isi kotak ini ke tempatnya semula. Kan ndak enak dilihat, jika dinding istana kita di sana kelak berlubang sekepalan tangan, tersebab berlian biru (hope diamond) yang menjadi batu dindingnya, di dunia ini telah kita gunakan, untuk keperluan hidup yang sementara.”
Taman dan Bunga meletak kembali kedua bungkusan itu ke tempat semula.
Malam hari, mereka menyerahkan diri, sebagaimana biasa. Dan keesokan pagi, selepas Dhuha, hanya bungkusan hadiah tamu dari Surabaya yang ada di sana. Sedang bungkusan kotak sudah tak ada. Dengan bismillah, mereka mengambil dan membukanya. Ternyata, isinya sejumlah uang. Jumlah yang sangat banyak buat mereka. Taman dan Bunga tak henti menyebut-nyebut, bersyukur tak surut-surut.
Sebelum itu, saat petang telah datang, beberapa jam setelah Taman kembali pulang, Bunga terlihat tersenyam tersenyum, ketika menemani melayani ketiga anaknya makan senampan. Wajah dan matanya bercahaya ranum.
“Mama kok senyam senyum gitu. Ada apa, Ma?”
“Mama udah ndak sendiri lagi di rumah. Udah ada yang nemani, sejak siang tadi. Sekarang ada di depan, di seberang jalan.”
“Ayah?”
Ketiga anak itu berhambur ke pintu utama pondok mereka. Dari lubang bertingkap di tengah pintu yang bisa ditutup-buka, mereka mencari Taman dengan pandangan mata. Setelah berjumpa, mereka serempak memanggil dan melambaikan jari tangan. Taman dan Bunga tertawa gembira melihatnya. Bahkan, pohoh dan dedaunan yang ada di sana juga ikut tergelak tertawa, padahal tak sebaris angin telah menghembus tubuh mereka.***
MBoro, Selesai 27 Juni 2019
0 Comments