Realisasi perdamaian dunia mustahil tercapai tanpa saling pengertian di tengah perbedaan dan keberagaman. Berusaha saling pengertian justru akan memperkaya kita dalam mencari bekal perjuangan menegakkan perdamaian dunia. Demikian buah pikir Gur Dur dalam salah satu artikelnya.
Hal itu senada dengan refleksi sikap Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiah yang menjadi patron fenomenal dalam upaya merealisasikan perdamaian. Saat Suhail bin Amr, delegasi kaum Quraisy Mekkah, menegosiasikan surat perjanjian damai antara kaumnya dengan kaum muslimin di Madinah.
Suhail tidak sepakat jika pada surat itu tercantum ungkapan dengan nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang dan Muhammad utusan Allah. Sebab, kaumnya tidak mempertuhan Allah dan tidak mengakui sosok Muhammad sebagai utusan Tuhan. Suhail mendesak Rasulullah saw menghapus dan mengganti keduanya dengan ungkapan lain yang lebih lumrah dan direkognisi oleh kaumnya.
Namun, Ali bin Abu Thalib selaku juru tulis enggan mengabulkan sepenuhnya permintaan Suhail. Sayidina Ali tetap bersikukuh menuliskan Muhammad utusan Allah sebagaimana dikte semula dari Rasulullah saw.
Sayidina Ali pun kemudian ditegur Rasulullah saw agar menghapus dan menggantinya sesuai dengan apa yang diminta Suhail. Tetapi, sayidina Ali tetap segan untuk menghapus kalimat agung tersebut. Sampai akhirnya Rasulullah saw sendiri yang menghapusnya, lantas menyuruh Ali bin Abu Thalib menuliskan ulang dengan Muhammad putra Abdullah. Persis sebagaimana yang diharapkan oleh Suhail.
Begitulah Rasulullah saw tidak keberatan menghapus predikat agungnya sebagai Sang Utusan Tuhan demi tercapainya kesepakatan damai dengan kaum Quraisy Mekkah.
Adapun dalam Alquran, resep awal yang dapat diketengahkan untuk mengupayakan kedamaian dunia adalah ajaran di dalamnya tentang kesabaran. Itu terdapat antara lain pada surah al-‘Ashr; “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”
Berangkat dari aksentuasi kesabaran tersebut, maka umat Islam tidak dibenarkan memakai cara-cara kekerasan dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebaliknya, kesabaranlah yang sepatutnya dikedepankan. Sebagaimana teladan Rasulullah saw yang telah disinggung pada bagian sebelumnya.
Di samping bersabar, pada bagian lain Alquran menyebutkan resep lainnya. “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (surah al-Syuura ayat 38). Ini menunjukkan bahwa musyawarah memiliki arti penting bagi manusia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Selain, itu juga berarti Allah swt lebih menghendaki penyelesaian berbagai persoalan diusahakan melalui jalur musyawarah.
Implementasi ajaran musyawarah ini dalam konteks perdamaian dunia akan jauh lebih bermanfaat daripada penggunaan kekerasan yang begitu menyengsarakan. Dari itu, penyelesaian konflik dunia melalui jalur musyawarah perlu didorong dan diperjuangkan bersama.
Apalagi ajaran-ajaran non-kekerasan semacam musyawarah sebetulnya diperjuangkan pula dalam agama-agama di luar Islam. Misalnya, Mahatma Gandhi yang beragama Hindu dengan gerakan Satyagraha dalam memperjuangkan kemerdekaan India; atau seperti aktivisme Martin Luther King Jr, seorang pemuka agama Protestan, dalam memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam Amerika Serikat.
Lalu, Alquran pun mengingatkan bahwa pada dasarnya setiap golongan memiliki kebanggaannya sendiri-sendiri (al-Mukminun ayat 53 dan al-Rum ayat 32). Dalam pada itu, resep berikutnya yang ditawarkan Alquran untuk mencegah konflik dunia, yakni harus ada penghormatan terhadap setiap keberagaman antar kelompok manusia.
Seyogianya budaya sendiri kita junjung tinggi tanpa merendahkan budaya orang lain, serta menghindari sikap eksklusif yang berpotensi mereduksi penghormatan kepada kelompok lain. Sejarah panjang manusia telah membuktikan eksklusifisme kelompok menjadi pangkal sengketa dan bencana manusia di berbagai belahan dunia.
Di sini kemudian dibutuhkan kemampuan dari setiap golongan untuk memelihara dan mengakomodasi keanekaragaman budaya yang dimiliki. Tentu itu dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai terdalam dari ajaran agama masing-masing.
Nilai terdalam ajaran Islam sendiri mencakup tiga hal—sebagaimana dipaparkan Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya Fiqh Tata Negara, yaitu tawassuth (jalan tengah), ta’adul (keadilan), dan tawazun (keseimbangan). Ketiga nilai khas ajaran Islam ini berpadu dalam suatu watak wasathiyyah (moderat).
Tentang moderasi Islam ini Allah swt tegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 143; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Contoh terdekat daripada keberislaman yang berwatak wasathiyyah ini terlihat salah satunya dari pola keberislaman mayoritas masyarakat muslim di Indonesia yang berhasil memadupadankan aspek ketuhanan dan kebudayaan.
Jelas bahwa Islam memang bukan produk budaya karena Islam berdimensi ketuhanan, sedangkan budaya berdimensi kemanusiaan. Akan tetapi, lantaran ajarannya menjadi pedoman hidup yang mesti dijalankan umat manusia, maka agama Islam memiliki dimensi ketuhanan di satu sisi dan kemanusiaan di sisi yang lain. Dari itu, teranglah bahwa Islam sama sekali tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
’Ala kulli hal, alih-alih mengaku sebagai pemeluk Islam paling islami, ajaran Islam yang termaktub dalam Alquran belum tentu sepenuhnya telah ditadaburi. Termasuk spiritnya tadi menyangkut realisasi kedamaian antar umat manusia.
Wallahu-a’lam.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
3 Comments