Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) merupakan kegiatan untuk melombakan al-Qur’an dalam bentuk lagu (bacaan/lantunan), tafsir, tulisan juga ilmu. Kegiatan yang diperkenalkan pada tahun 1940 ini bermula dari berdirinya Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz, sebuah institusi yang didirikan oleh Nahdhatul Ulama. Beberapa tahun berselang, ketika Menteri Agama dijabat oleh KH. Muhammad Dahlan (1967-1971) bersama Prof. KH. Ibrahim, MTQ mulai dilembagakan secara nasional. Beliau berdua juga yang kemudian memprakarsai penyelenggaraan Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional pertama.
MTQ juga meliputi tingkat daerah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Ternate, salah satu daerah di Provinsi Maluku Utara. Daerah tersebut merupakan salah satu tempat berkembangnya Islam di Indonesia Timur lewat keberadaan salah satu Kesultanan terbesar yakni Kesultanan Ternate. Masyarakat Ternate juga dikenal sebagai masyarakat yang religius, terlihat dari antusiasme mereka dalam melaksanakan kegiatan keagamaan, seperti halnya MTQ tingkat kota di Ternate, dengan melibatkan banyak unsur masyarakat biasa sampai pemerintah.
Kegiatan ini meliputi banyak cabang lomba, mulai dari Tilawah al-Qur’an, Hifdzil Qur’an, Fahmil Qur’an, Syarhil Qur’an hingga Khattil Qur’an. MTQ di Ternate dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, dan saat ini telah digelar sebanyak 27 kali pada tahun 2020. Beberapa cabang lomba dalam MTQ di Ternate memiliki sisi keindahan tersendiri bagi penulis, dikarenakan adanya pertautan antara teks al-Qur’an, seni, dan juga budaya di daerah Ternate. Cabang lomba tersebut juga menjadi klasifikasi penting dalam hajatan MTQ dengan tujuan syiar Islam atau ibadah melalui kreativitas dalam taraf bacaan, tulisan, pemahaman pada ayat al-Qur’an sebagaimana tujuan dari MTQ sendiri yang merupakan ibadah yang divisualisasikan lewat seni.
Dari segi ini dapat disinggungkan dengan kajian resepsi, dalam bahasa latin yaitu recipere yang berarti “penerimaan atau penyambutan pembaca”. Secara terminologis adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada respon pembaca terhadap sebuah karya sastra. Dari dua artian itulah kemudian resepsi seringkali didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mengkaji peran pembaca dalam merespon, menyambut, memberikan reaksi, ataupun makna terhadap sebuah karya sastra. Lalu, apakah al-Qur’an adalah karya sastra?
Yusuf Rahman dalam buku “Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an” menyebut bahwa, suatu karya dapat digolongkan sebagai karya sastra, apabila mempunyai tiga elemen literariness (aspek sastra), yakni;
- Estetika rima dan irama.
- Defamiliarisasi, yaitu kondisi psikologi pembaca yang mengalami ketakjuban setelah mengkonsumsi karya tersebut.
- Reinterpretasi, yaitu kuriositas pembaca karya sastra untuk melakukan reinterpretasi terhadap karya sastra yang telah dinikmatinya.
Al-Qur’an dengan media bahasa Arab, juga kaya dengan ketiga elemen tersebut, semisalnya, pada elemen pertama tentang adanya rima dan irama. Demikian pula, pada elemen defamiliarisasi di dalam diri pembaca yang akan menimbulkan ketakjuban pada al-Qur’an ketika dibaca. Sayyid Qutb menyebutnya dengan istilah mashurun bi al Quran (tersihir oleh al-Qur’an).
Resepsi juga memiliki tiga tipologi, yakni Pertama, resepsi eksegesis, menafsirkan atas teks untuk menyampaikan makna tekstual yang diungkapkan dengan melalui tindakan penafsiran pada karya-karya tafsir. Kedua, resepsi estetis, yang mana al-Qur’an diposisikan sebagai teks yang bernilai estetis (keindahan) yang akan diulas pada tulisan ini, dan Ketiga resepsi fungsional, bentuk penerimaan yang memposisikan al-Qur’an sebagai kitab yang ditujukan kepada khitāb (manusia) untuk digunakan demi tujuan tertentu. Tujuan di sini dapat berupa tujuan normatif ataupun praktis, mengarah pada sikap atau perilaku tertentu dari suatu kejadian.
Dalam hal estetis, pada MTQ di Ternate ini sendiri dapat dilihat dari dua aspek, yakni dari segi internal seperti dalam lomba seninya itu sendiri, seperti baca al-Qur’an dengan mujawwad, seni tulis al-Qur’an (kaligrafi), seni rebana, ataupun dalam penyampaian pesan al-Qur’an dalam Musabaqah Syarh al-Qur’an (MSQ) dalam performance masing-masing. Sedangkan dari aspek eksternal, bisa kita lihat dari adanya parade-parade, pawai ta’aruf, performance, paduan suara, dan juga pembuatan mimbar dan panggung.
Dari segi mimbar dan panggung, bisa dilihat sisi kreativitas serta ungkapan ekspresi yang mencerminkan seni, baik itu ornamen-ornamennya, maupun juga hiasan kaligrafi di sekeliling tempat kegiatan maupun hasil karya dari para peserta Khattil Qur’an. Bahkan terkadang ornamen ataupun warna juga disesuaikan dengan maskot, simbol, atau warna khas dari masyarakat Ternate. Penyelenggaraan MTQ di Ternate juga diselingi agenda-agenda lain di luar agenda pokok pelaksanaan MTQ ini. Agenda lain terdapat pada acara pembukaan serta penutupan yang diisi dengan penampilan ataupun berbagai macam atraksi yang biasanya ditampilkan oleh masyarakat sesuai dengan kebudayaan dan kesenian khas Ternate, seperti tarian Togal dan lain sebagainya.
Dua komponen ini, nyatanya tercermin dalam penyelenggaraan Musabaqah Tilawah al-Qur’an (MTQ) di Ternate. Pekan perlombaan ini dirasa kurang kalau tidak disertai dengan adanya sisipan aspek kesenian yang melambangkan keindahan, dan dari situlah dapat menimbulkan daya tarik tersendiri oleh masyarakat Ternate untuk mengikuti kegiatan ini. Jika dikaji dalam ilmu Psikologi, tidak bisa dipungkiri, nilai religi yang dibutuhkan untuk ibadah telah mengakar sebagai perilaku yang universal pada masyarakat Ternate, baik secara individu atau kelompok, mereka dapat merefleksikan berbagai hal yang bersifat spiritual. Selain itu, adanya sensitivitas estetik dalam praktik kegiatan tersebut selalu tampak melalui perhatian terhadap keindahan, yang dalam hal ini keindahan al-Qur’an.
Mukti Ali juga menjelaskan bahwa, al-Qur’an mempunyai dimensi yang sangat luas dan dapat menimbulkan tiga hal sekaligus, yaitu seni, ilmu dan agama. Ketiga hal ini saling berkaitan. Dengan ilmu dan seni, kehidupan beragama menjadi lebih sempurna. Dengan seni hidup menjadi maju dan indah, dengan agama hidup menjadi bermakna dan bahagia. Tanpa seni hidup menjadi kasar, tanpa ilmu hidup menjadi sulit, dan tanpa agama hidup menjadi tidak bermakna. Seni tanpa agama juga akan menjadi tidak terarah. Sehingga dari tiga hal inilah menjadi nilai-nilai religius sekaligus semangat yang ada pada masyarakat Ternate ketika mereka hadir, mengikuti dan meramaikan kegiatan ini.
Resepsi atau penerimaan masyarakat Ternate terhadap al-Qur’an dikarenakan adanya persinggungan antara tradisi seni dengan tradisi keagamaan. Dalam menghubungkan antara pengalaman estetik dengan pengalaman keagamaan erat kaitannya dengan estetika dan spiritualitas dalam Islam, selain itu karena al-Qur’an merupakan sebuah keindahan yang metafisik, serta proses kebergaulan masyarakat terhadap kitab suci mereka, dan salah satunya adalah ajang kompetisi al-Qur’an ini. Paling tidak, dengan adanya kegiatan MTQ yang dibalut dengan seni ini, dapat mendorong dan memicu masyarakat Ternate untuk lebih mencintai kitab suci mereka yakni al-Qur’anul Karim.
Salam.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments