Kala itu, tidak ada orang di rumah. Asya yang baru kembali dari Maloom, melangkahkan kakinya seorang diri dengan tangan menyeret koper berat. Ia langsung menuju kamarnya. Ia memasuki kamarnya dengan perasaan asing. Begitu sepi ukuran suasananya seperti biasa. Meja belajarnya tetap berada di tempat yang sama beserta hiasannya. Ranjang tidurnya juga posisinya masih tetap sama. Sekeliling sapuan matanya, semua berada pada tempatnya masing-masing.
Ia beranjak akan keluar dari kamarnya. Tiba-tiba ada seseorang yang memperhatikannya dari arah jendela. Ia membalikkan badan dan seseorang itu telah hilang disapu waktu. Bulu kuduknya merinding. Dan saat ia membalikkan badannya untuk kembali, di depan matanya ada seorang lelaki Belanda yang usianya berkisar 30 tahun lengkap dengan pakaian adat Belanda berdiri berhadapan dengannya sejarak satu meter.
“Jangan kaget! Aku datang dengan maksud baik. Aku tidak akan mengganggumu atau bahkan menyakitimu. Jikalau kamu memintaku untuk senantiasa menemanimu, akan aku lakukan.” Ujar lelaki Belanda itu dengan hasutan langkah secenti demi secenti mendekati Asya.
Asya hanya diam. Tidak ada perubahan ekspresi pada wajahnya setelah kekagetan terpendam tadi. Tidak pula ia melangkah menjauh melihat lelaki Belanda itu mendekatkan dirinya. Lalu, alis kiri Asya melentik, “Untuk apa kalau begitu kamu disini?”
Lelaki Belanda itu terdiam beberapa saat sebelum melangkahkan kakinya ke arah jendela kamar Asya. Sepasang suami istri Belanda seperti menembus dinding kamar Asya. Kemudian lelaki Belanda tersenyum kepada Asya sebagai isyarat bahwa sepasang suami istri itu adalah kedua orangtuanya. Dalam otak Asya telah terjadi bencana dengan kenyataan aneh yang dihadapinya itu. Otaknya tak mampu melogikakan yang ada dihadapan matanya. Meskipun begitu, Asya tetap tampak tenang.
Karena dirasa sepi, lelaki Belanda yang didampingi kedua orangtuanya yang saling melempar senyum untuk Asya langsung mengabrukkan badannya dengan lutut kanan sebagai tumpuannya seraya tangan kanannya menyodorkan untuk menggenggam tangan Asya. Asya tak bergerak. Hanya bola matanya saja yang siap siaga melihat semua perubahan sekitar.
“Bolehkah aku menemanimu selama aku mampu hidup? Aku ingin menjadi kekasihmu yang selalu menjagamu dari setiap godaan ghaib yang ditujukan kepadamu. Rasakan aura di pojok gerbang depan, disana ada sosok kemerahan yang menunggumu. Di bagian dapur dan ruang makan rumah ini, ada yang siap merusak kerapian tata-anmu. Oh, aku tau pula kalau kamu sering mengkhawatirkan restu kedua orangtua sebagai pemersatu cinta. Kini telah aku bawakan kedua orangtuaku untuk merestui hubungan kita. Nampaknya restu telah aku dapatkan. Bukankah begitu, Pah, Mah?” Matanya mengarah kepada kedua orangtua yang berada di belakangnya.
Sepasang suami-istri itu hanya tersenyum renyah. Hati Asya otomatis bertanya diantara kakunya raga, “Bagaimana bisa ia berpakaian adat Belanda tapi dalam percakapannya tidak ada dialek Belanda sama sekali? Bagaimana bisa ia menyatakan kesanggupannya sedangkan aku belum mengenalnya. Bagaimana ia bisa mengetahui kalau memang dalam rumah ini ada banyak mata ghaib yang melihat segala aktifitas?”
Seperti Mamah dari lelaki itu merasakan pertanyaan dalam hati Asya.
“Pertanyaanmu itu tidak salah. Anak kami tumbuh besar di lingkungan dimana kamu tumbuh. Ia selalu menolak untuk belajar adat-istiadat Belanda. Setiap kami tanya apa alasannya, jawabannya selalu saja sama. Untuk apa ia belajar adat-istiadat yang tidak dipelajari oleh orang yang dicintanya. Apakah kamu tidak merasakan kehadirannya selalu di dekatmu selama ini? Di abdikan hidupnya hanya untuk menjagamu dar kejauhan sedari kamu lahir sampai berusia menjelang dewasa seperti sekarang ini. Fisikmu telah banyak berubah. Hatinya mungkin memutuskan baru mengungkapkan perasaannya sekarang dengan harapan diterima olehmu.”
“Kamu mengenal bangsa kami dengan baik. Kami tidak perlu menjelaskan dengan detail siapakah kami yang sebenarnya. Setidaknya, terimalah anak kami sebagai kekasihmu agar ia bisa menjagamu.” Tambah Papahnya.
Kaki Asya melangkah menjauh ke pojok kamarnya. Ia berfikir tidak akan bisa kabur bila ia tidak menjauh terlebih dulu. Dan benar, lelaki Belanda beserta orangtuanya mendekati Asya sampai ke pojok. Lelaki Belanda itu sepertinya ingin menggenggam tangan Asya. Namun sering kali ia mencoba, percobaannya gagal. Wajah lelaki tersebut menunduk melihat ketidak-berdayaannya untuk merealisasikan wujudnya menyentuh Asya, orang yang dicintainya. Asya sedikit iba melihat peristiwa itu. Ia hampir goyah.
Kedua orangtua lelaki itu saling berpandangan dengan iba pula. Hati keduanya mungkin beranggapan cinta anaknya akan ditolak oleh Asya.
“Sudah, jangan dicoba lagi. Jangan habiskan energimu untuk hal yang sia-sia. Terima kasih telah hadir dalam kamarku ini beserta kedua orangtuamu.” Asya terdiam sejenak untuk melempar senyum kepada sepasang suami-istri Belanda itu. “Aku rasa ada banyak hal yang telah kamu ketahui tentangku dan aku sama sekali tidak mengetahui tentangmu. Bagaimana aku akan menjawab semua ini?” Kali ini Asya tidak berniat untuk melanjutkan penjelasannya. Dikhawatirkan pihak keluarga Belanda nanti tidak bisa mencerna dengan baik kalimat-kalimat yang dilontarkan Asya.
Tundukan keluarga Belanda semakin dalam. Asya mengira kalimatnya telah menghujam area yang salah. Bibir Asya tergerak, “Aku sangat menyukai keterpaduan. Bertemunya dua unsur yang berbeda menjadi satu. Apabila dua unsur itu tidak bisa lagi dipaksa untuk menyatu, maka aku akan tetap memilih untuk mengikuti hukum yang berlaku. Aku sangat menghormati peristiwa ini yang kamu lakukan untukku. Sudah tau kan apa yang tersirat dari apa yang aku katakan? Aku izin pamit.” Asya melempar senyum sekali lagi sebagai senyum perpisahan.
Tidak ada gerakan perlawanan dari keluarga Belanda itu. Asya mulai mengambil langkah ditemani hati yang tetap was-was mengingat dengan siapa ia berhadapan. Saat kaki kanan Asya hendak melangkah keluar melampaui batas kamar dan ruang keluarga, badan Asya tertarik kebelakang. Berdiri tegak berhadapan dengan keluarga Belanda seperti sebelum Asya meninggalkan tempatnya. Asya pasrah.
“Cinta yang selama ini aku nanti, tidak lagi menjadi milikku kini. Cinta yang awalnya aku rasa akan menjadi acuan bahagia sepanjang hayatku, pupus sudah jatuh diterpa angin sepoi. Salahkah cinta yang aku rasakan padamu, duhai perempuan manis?” Terdiam disusul dengan ludah tertelan. “Aku juga hidup. Aku bisa melihatmu di hadapan mataku. Aku bisa menarik tubuhmu mendekatiku. Aku bisa hadirkan kedua orangtuaku dari Belanda untuk merestui cintaku padamu. Jikalau aku memahami cinta akan berakhir seperti ini sebelumnya, aku tidak akan lagi menggantungkan hati dan cintaku kepada seorang perempuan saja. Aku seharusnya merusak semua kehidupan manusia. Tanpa cinta dan tersisa hanya derita.” Tangisnya pecah. Mamahnya hanya mampu mengelus-elus kedua pundak anaknya. Papahnya menatap Asya dengan tatapan sangat iba.
Asya mengalami konflik batin. Asya telah mengetahui dengan siapa ia berhadapan. Apa yang bisa dilakukan Asya? Ia memutar otaknya lebih cepat dari memikirkan persoalan matematika. Hatinya berkukuh agar tidak goyah. Memang lelaki Belanda dihadapannya sangat rupawan. Tak bisa dipungkiri itu. Lagi-lagi Asya tersadar, itu hanyalah wujud yang mereka tampakkan ketika berhadapan dengan manusia. Wujud aslinya akan lebih menggigilkan hati.
Asya memandangi sekitar. Berharap ada bantuan yang datang menyelamatkannya. Namun hanya kesenyapan yang dirasa. Matanya perlahan menutup. Tubuhnya seakan segar menembus angin-angin langit. Membiarkan hati yang dikuncinya tercerai berai. Cinta sesaat yang ia rasakan, tak tau mengarah kemana.
Seandainya kekasih telah dideklarasikan Tuhan kepada setiap insan, tentu setiap insan tidak akan bingung perihalnya. Bukankah sengaja dirancang seperti itu agar setiap insan mencari apa yang belum pasti dan mengembara sejauh ketidakpastian yang akan didapatkan?~
Malang, 19 April 2017
0 Comments