Sanad Hadis Dulu dan Kini

"Sanad merupakan bagian dari agama, karena kalau tanpa sanad tersebut, niscaya seseorang akan berkata sesuai dengan apa yang diinginkan"2 min


2
2 points
inpasonline.com

Tradisi keilmuan yang sangat unik dan menarik hingga saat ini adalah sanad hadis. Tradisi ini terus berkembang dalm pengkajian keilmuan Islam baik dalam hadis maupun Al-Qur’an dan lainnya. Namun jika dilihat dari asal usulnya, kelahiran sanad bermula dari maraknya hadis palsu yang kemudian memunculkan adanya tradisi kritik hadis. Dengan demikian, sanad hadis menginspirasi tradisi dalam transmisi perkembangan keilmuan lain.

Sanad merupakan rentetan dari periwayat hadis merupakan sesuatu yang penting dalam tradisi transmisi sebuah hadis. Dalam setiap hadis setidaknya terdapat beberapa generasi dimulai dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan ulama hadis serta mukharrij al-hadis yang kesemuanya membentuk sebuah mata rantai. Mereka satu dengan lainnya memiliki kualitas pribadi dan kecakapan dalam melakukan kegiatan transmisi hadis. Kenyataan inilah yang menyibukkan ulama hadis dalam menilai kapasitas orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, mereka yang terlibat dalam proses kegiatan periwayatan hadis harus lolos dari kritik dan cela.

Kegiatan di atas dalam dunia studi hadis dikenal dengan jarh wa ta’dil. Sebuah keilmuan yang berkembang dalam rangka menilai pribadi-pribadi yang terlibat di dalam sebuah hadis, yang jumlahnya jutaan orang berdasarkan keterangan seorang orientalis dari Jerman, Sprenger, ketika mengomentari Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah. Setidaknya terdapat tiga hal yang dilihat dalam sebuah sanad yakni ketersambungannya, kualitas person dan hafalannya (dhabit). Dengan demikian, sanad hadis harus melewati uji verifikasi tersebut dengan baik.

Kehadiran ilmu di atas merupakan ijtihad ulama hadis dalam menjaga hadis dari penyelewengan. Kenyataan tersebut dapat dinilai dari siapa yang membawa hadis sebagaimana dikatakan Ibn Sirrin. Seleksi ketat tersebut merupakan konsekuensi logis dari  hadirnya hadis buatan atau palsu yang marak sejak fitnah kubra di kalangan umat Islam yang memunculkan beragam kelompok di dalamnya. Dengan demikian, kelahiran kritik hadis bermula dari situasi eksternal yang menjadikan lahirnya hadis-hadis yang bukan berasal dari Rasulullah saw.

Tradisi sanad hadis berhenti sejak masa pembukuan kitab-kitab hadis mu’tabarah. Hal tersebut diinisiasi ulama mutaqaddimin yang melakukan rihlah ilmiah dalam mencari hadis terutama abad ketiga hijriah yang melahirkan kutub al-sittah. Tradisi lain di Syiah mulai berhenti sampai abad kelima hijriah sejak sampai imam yang ke-12. Mereka ini memiliki tradisi kritik hadis dan sekaligus membukukan hadis dalam sebuah kitab yang menjadi rujukan hingga sekarang. Dengan demikian, sanad hadis nyaris berhenti sejak pembukuan hadis pada masa tersebut.

Fenomana sanad walaupun sudah berhenti, namun masih berjalan sampai sekarang di beberapa negara tertentu seperti di Timur Tengah. Di Indonesia dikembangkan oleh mereka yang mendapatkan atau belajar dari  beberapa ulama yang merupakan murid dari Syeh Yasin Fadangi misalnya, Ustadz Abdul Jalil, yang mentradisikan hal tersebut setiap selesai mengaji membaca kitab hadis. Beliau mendapat sanad dari Syekh Tamrin lewat Syekh Yasin al-Fadangi atau Syekh Amin al-Kurdi dari Lebanon yang mengijazahkan sanad hadis dari Kitab al-Syamail Muhamamdiyah.

Sanad hadis yang sampai ke generasi sekarang sebagaimana di atas menimbulkan beragam pertanyaan. Setidaknya adalah dengan masuknya generasi sekarang dalam rentetan sanad tersebut tidak memengaruhi kualitas hadis yang ada. Atas dasar inilah perlu dijelaskan bahwa fungsi sanad sekarang tidak seperti pada awal pembukuan hadis yang sangat penting karena belum ada data-data terkait erat rawi dan sanadnya sehingga menyibukkan ulama dalam mencarinya dan bahkan menilainya.

Sekarang penilaian atau penelaahan terhadap sanad dalam hadis atau keilmuan lain tidak lagi dilakukan. Apa yang berlanjut setelah pembukuan adalah usaha tabarrukan saja agar antara guru murid bersambung dalam ikatan sehingga pembelajarannya dapat menjadi bermakna seiring dengan banyaknya bimbingan guru-guru ke atas sampai Rasulullah saw. Jangan berpikir mereka yang sudah meninggalkan kita tidak bermakna dalam kehidupan manusia sekarang. Dengan demikian, walaupun sanad telah berakhir dan tuntas, namun tradisi terus berjalan dengan fungsi yang berbeda.

Kenyataan di atas menunjukkan perubahan fungsi dan pemaknaan dalam perjalanan sanad hadis di era kekinian. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari dalam kitab Asanid al-Mushriyyin. Setidaknya dalam kitab tersebut diungkapkan tiga bentuk pemaknaan yaitu riwayah, dirayah dan tazkiyah. Ketiga fungsi tersebut terkait erat dengan adanya perubahan baik dalam sanad maupun matan. Selain itu, untuk menghindari pemahaman atas matan dari hal-hal yang tidak baik, sudah barang tentu mereka yang memiliki sanad harus memiliki kualitas pribadi yang baik seperti dalam hal ketakwaan, keislaman, dan akhlak (muruah). Dengan demikian, melalui cara tersebut, kualitas dan kepribadian rangkaian sanad yang baru dan berkembang sampai hari ini tetap terjaga dengan baik dan spekulasi akan penyelewengan sanad tidak akan terjadi. (MAS)

 


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
7
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
7
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. (alm.)
Almarhum Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan Jawa Timur. Karya tulisan bisa dilihat https://scholar.google.co.id/citations?user=JZMT7NkAAAAJ&hl=id.

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals