…yang patut dicerna ulang, dilakukan repurifikasi, dibikin landscape-potrait pemahaman baru, dikuliti bingkisan maksudnya dan kemasan muatannya, juga termasuk diskemakan kembali desain ruang-perenungannya, bilik-penalarannya, dan lain sejenis itu, sehingga di dada dan batin manusia bisa terbenahi pensaripatiannya dalam ber-Islam, adalah mengenai justifikasi bahwa Rahmatan Lil ‘Alamin ialah benda mati. Konsonan. Statis. Road to death. Dan faktual kendatinya begitu: peran dan fungsinya sudah “menopause”. Kedudukannya pada “ber-Islam” tidak bekerja secara totalitas, maksimal dan paripurna. Kandungan Rahmatan Lil ‘Alamin dilesukan yang bahkan pada fase “religiusitas normal”nya, Rahmatan Lil ‘Alamin di-delete dalam egoisme beragama.
Manusia gagal otaknya dalam memindai Rahmatan Lil ‘Alamin dalam ber-Islam dan beragamanya sehingga kadangkala hanya macet pada level “mengkata-katakannya”. Andaipun lolos pada level selanjutnya, akan dipenuhi “modus operandi” dalam memanifestasikannya.
Bukan Rahmatan Lil ‘Alamin jika yang kita sebut-sebut selama ribuan dekade─sedangkan seolah-olah di segala deretan perjalanan sejarah ini nyatanya dianggap hanya diisi, dikontrol dan di-handle saja oleh manusia. Juga selalu seluruh bentuk persoalan kehidupan, periodisasi kepemilikan semua hal, sengketa tanah, harta dan sejumlah rezeki, nyawa, nasib, jodoh dan masa depan, rahmat, cinta dan kasih sayang, diwilayahkan hanya pada kita-kita saja─ternyata tidak mampu untuk meluaskan Rahmatan Lil ‘Alamin lebih daripada sekadar hanya batasan-batasan perihal teks: tatanan konstelasi alphabet agamis yang seksi untuk didengungkan, jejalan aksara nan melempem, dan goresan khat yang pasif.
Rahmatan Lil ‘Alamin seyogiyanya bukan itu. Bukan soal sekadar skrip ataupun manuskrip dari artefak sejarah Muhammad. Bukan susunan naskah berangkum. Bukan sederet slogan, pekikan yel-yel, jargon dan kibaran panji-panji yang terkesan murahan dan cepat basi. Bukan pula wilayah platform baca-bacaan, layout tajwid, teks-teks Arabiyah klasik. Bukan bagaimana soal Rahmatan diperbolehkan dibaca dengan lafal rahmatan atau ‘Alamin terselamatkan tidak dilafalkan ‘amalin.
Rahmatan Lil ‘Alamin bukan sekadar sabda komat-kamit dan gugusan lafadz-lafadz beku. Rahmatan Lil ‘Alamin adalah, melainkan, sebuah puncak konsep dan sistematika tindakan-tindakan luhur multiversal, di mana orang tidak ada batasan untuk mencintai, mengkasihi, menyayangi. Rahmatan Lil ‘Alamin adalah capil petani yang luruh dari kepalanya, kau sabet dan kau kembalikan pada posisinya dengan tanpa ia merasa capilnya pernah terjatuh. Sehingga “jatuh” gagal membuat si petani terkena terik.
Islam dengan seluruh kompleksitas pemahaman mengenai keindahan tatanan sebuah pandangan tentang sketsa-sketsa kemuliaan hidup, telah diseleksi Allah Azza wa Jalla untuk pertama kali memasarkan konsep kehidupan itu sendiri dengan sangat sempurna. Dengan sangat matang dan sistematis sehingga mampu mengalahkan “pasar-pasar dakwah berkonsep kasih-sayang” pada zamannya atau zaman-zaman sebelumnya. Konsep maha luhur itu “di-marketing-kan” sekaligus “didistribusikan” oleh “Manusia Cinta” bernama Muhammad. Beliau adalah sejenis manusia yang membawa dan menebarkan mandat konsep berkehidupan yang dititikberatkan pada perbaikan hidup di segala wilayah termasuk fokus moral dan strata spiritualitas, monotheisasi konsep bertuhan, dan persoalan kehidupan yang mengurus perihal berdampingan secara sosial dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya, di mana jika kita mau bedah muatannya maka akan kita temui sebuah visi kehidupan yang bukan hanya bagus sekali, perfect, kamil, sempurna, melainkan sangat transenden, sehingga orang wajar meragukan apa yang diajarkan oleh beliau “as human being”: bernama Rahmatan Lil’ Alamin.
Beliau merahmatanlilalamin sejak dari embrio lingkungan kehidupannya. Sejak dari perilaku kordialnya, konsep moral dan attitude-nya. Sejak dari tata cara berhidupnya secara sosial maupun agamaisnya. Bahkan sejak dari segala apapun yang ada dan muncul dari dirinya. Wajahnya yang rindang. Bibirnya yang sejuk. Perkataannya yang lembut nan merdu. Matanya yang cemerlang. Pemikirannya yang luas. Elusan tangannya yang halus. Langkah-langkah kakinya yang pasir gersang dan rumput yang kering di setiap kali tumit kaki beliau menempel padanya maka tidak ada yang tersisa kecuali air dan kehidupan yang baru. Sehingga konyol bagi siapapun yang menyatakan bahwa Muhammad gagal membawa Rahmatan Lil’ Alamin bagi semuanya, sedangkan diri beliau sendiri saja sudah sangat Rahmatan Lil ‘Alamin.
Dari sirrah Manusia Cinta, maka sudah sejatinya Rahmatan Lil ‘Alamin sudah berhasil dilihat sekaligus disimpulkan sebagai visi kehidupan pada puncak teragung, terluhur, terkudus, terjernih, terluas dan termenggema dari sejumlah rentetan pemikiran yang pernah divisikan oleh manusia sepanjang peradaban. Rahmatan Lil ‘Alamin sudah inti dari mandat kita berhidup. Sudah terlalu luas pula untuk hanya distempelkan menjadi “Motto Religius”, “Pimeo Agamis”, maupun “Semboyan Formalitas Islam”.
Rahmatan Lil ‘Alamin paling ringan ibarat sebuah atmosfer imajiner, yang jikalau engkau dianugerahi sejenis kemampuan tertentu untuk berpeka, atau berdaya nalar, menjangkau terhadap sekelebatan maknanya, maka hatimu akan takjub, jiwamu lumpuh, dan daya egomu musnah, digdaya birahimu terhadap dunia runtuh, serta logikamu tidak kuasa, menyerah dalam merumuskan kata-kata.
Sejauh aku menggali, menemukan, menelaah lalu menghimpun sejumlah pecahan, kepingan dan mozaik-mozaik Rahmatan Lil ’Alamin yang berserakan bersama rimba pemikiranku: aku dibikin takjub. Betul-betul takjub. Aku ketika sangat menyelam mendadak menggigil nun gemetar. Aku mendadak dibuat oleh Rahmatan Lil ‘Alamin menjadi sub-atom dalam material hambaku. Aku menjadi ultra-mikroskopis dan kehilangan manuver-manuver takabburku. Aku mengkerdil terhadap daya tampung rahmatku, yang bahkan rahmat kepada diriku sendiri. Aku seolah digotong dan disekap, terjeruji ke dalam “wujuduhu kaadamihi”, semembelantara apapun diriku “khairun naas, anfa’uhum lin naas”.
Rahmatan Lil ‘Alamin sudah sangat bunga. Dia sungguh harum. Rahmatan Lil ‘Alamin adalah keharuman bunga yang paling harum dan merona. Butuh lebih sekadar mencium, menghirup, mengendus, atau sejenis standar kemampuan biologis lain agar dipastikan bisa benar-benar mengakses seluruh jenis-jenis, rupa dan warna, model harumnya. Karena bius harumnya sendiri bukan sebuah produk materiil, dia bentuk spiritual, esensi, dan sangat dalam. Hmmm. Andai jikalau puncak keindahan pada stara artistik dunia adalah bunga: maka tidak ada apapun yang memenuhi penjuru “Taman Rahmatan Lil ‘Alamin” itu kecuali kuntum-kuntum bunga yang tumpah, semerbak bermekaran.
Rahmatan Lil ‘Alamin sudah semerbak menembus, menyebar ke segala arah. Rahmatan Lil’ Alamin harus sudah “plague”. Sudah menjangkit di-ke semua komponen kehidupan dan ribuan dimensi yang ada. Di badanmu. Di pembuluhmu. Di nafasmu. Di hidupmu. Di rumah dan lingkunganmu. Di gunung. Di jagat samudera. Di belantara langit. Di Perut Bumi. Mars. Bima Sakti. Andromeda. Wormhole. Dunia-akhirat. Serta segala kasta dimensi-dimensi yang jauh sekali dari pikiran kita dapat mengaksesnya.
Karena sangat besar sekali daya tampung arti dan makna dari Rahmatan Lil ‘Alamin itu sendiri sehingga bahkan cinta, kasih, kasih-sayang, sayang, belas kasih, tresna, dan racikan kata dari jagat sabda filantropis manapun tidak mampu mendeskripsikan apa itu: Rahmat. Satu-satunya jalan untuk mendeskripsikan rahmat dalam sudut pandang esensi kata adalah mendefinisikan kata Rahmat itu sendiri dengan kata Rahmat.
Sama dengan habitat Rahman, Rahim, dan Rahmat. Rahman hanya bisa diartikan Rahman. Rahim hanya bisa dimaknai Rahim. Maha Pengasih-Penyayang hanya mesin pelumas saja bagi hamba supaya lebih mudah sejengkal rodanya bergerak pada-Nya dan mampu mengakses sifat-sifat-Nya. Di mana kesinambungannya Rahman-Rahim adalah cara kerja “Rahmatan Lil ‘Alamin” Tuhan bagi selain diri-Nya dan Rahmatan Lil ‘Alamin adalah mandat “Rahman-Rahim” dari Tuhan untuk hamba sebarkan pada segalanya.
Pertanyaannya: berapa presentase Rahmatan Lil’ Alamin pada diri kita yang sudah kita bagikan kepada segalanya?
0 Comments