Karomah Para Wali dan Sufi dalam Pandangan Buya Hamka dan Ibnu Bâz

Ketika seseorang sudah dekat dengan Allah (menjadi wali Allah), maka rasa takut dan gelisah dalam hati-pikirannya lambat laun akan hilang6 min


1
wali-dan-sufi
Ilustrasi Wali dan Sufi (Sumber: keramatsufimuda.blogspot.com)

Salah satu polemik keislaman yang mencuat dan menyita perhatian beberapa tokoh Muslim Nusantara tahun 90-an adalah masalah kewalian dan karomah para wali. Menurut salah satu tokoh kaum-muda, H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Buya Hamka), sebenarnya secara prinsip akidah kaum-muda dengan kaum-tua adalah sama, yaitu sama-sama mengakui enam rukun iman dan lima rukun Islam sebagai tiang agama.

Terdapat dua hal yang diyakini dan dipeliharan oleh kaum-tua, namun ditentang dan bahkan―meminjam istilah Buya Hamka―ditebas dan ditebang oleh kaum-muda. Dua hal tersebut adalah karomah sang wali dan taklid kepada ulama tertentu (Sebuah Polemik Agama: Teguran Suci & Jujur TerhadapMufti Johor, hlm. 41-43 & 59-65).

Oleh karena itu, kaum-muda mengingkari dan bahkan menolak secara keras beberapa kebiasaan masyarakat Muslim Nusantara yang didukung oleh kaum-tua; seperti mengadakan haul di makam seorang wali setiap tahun dan meminta syafaat (pertolongan) kepada wali tertentu, baik menziarahi makamnya secara langsung maupun hanya memanggil namanya, seperti memanggil nama Syekh Samman (Yâ Sammân) atau wali lain (seperti Yâ Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Yâ Gauś, dan sebagainya) agar selamat ketika sedang mengalami mara bahaya atau ingin mewujudkan hajat tertentu.

Baca Juga: Buya Hamka Berbicara tentang Al-Qur’an 

Menurut kaum-muda, beberapa praktik keislaman tersebut bukan bagian tiang agama dan bahkan termasuk perbuatan syirik yang harus ditebas, karena bertentangan dengan rukun iman dan ajaran Islam (hlm. 60-61).

Lebih lanjut, Buya Hamka mengkritik beberapa kalangan sufi yang dinilai telah mengubah makna wali Allah menjadi orang-orang istimewa, memiliki derajat yang sangat tinggi, berkuasa terhadap alam semesta, dan memiliki kemampuan luar biasa, seperti bisa menahan jalannya matahari dan aliran air sungai, bisa melaksanakan salat Jumaat dan bertawaf di Masjidil Haram meskipun tempat tinggalnya berada di Indonesia atau negara lain, dan lain sebagainya (Tafsir Al-Azhar, Jilid 5: 3337).

Makna semacam ini, menurut Buya Hamka, jelas menyimpang jauh dari makna wali Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan bertentangan dengan pendapat para sahabat dan ulama salaf. Sebab, al-Qur’an menyebutkan wali Allah adalah orang yang beriman dan senantiasa bertakwa (Yûnus (10): 62-63). Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa makna wali Allah dalam al-Qur’an yang dipegangi para sahabat dan ulama salaf adalah orang yang beriman, beramal saleh, dan bertakwa yang senantiasa melatih diri dalam beribadah kepada Allah.

Di sisi lain, Buya Hamka menolak tingkatan-tingkatan wali seperti, an-Nuqabâ’, an-Nujabâ’, Abdâl, al-Akhyâr, al-‘Umudu,al-Gauś atau Quṭub (pemimpin para wali). Beliau juga mengkritik dan bahkan menolak cerita-cerita karomah yang dimiliki oleh wali tertentu, sebagaimana banyak berkembang dalam tradisi sufisme, baik di Timur Tengah maupun di bumi Nusantara, seperti cerita beberapa karomah Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Songo, dan beberapa wali lain.

Menurutnya, beberapa cerita karomah wali dan pembagian tingkatan wali tersebut adalah dongeng semata yang tidak memiliki pijakan dari sumber Islam, baik al-Qur’an maupun hadis. Dongeng tersebut lahir dari khayalan beberapa sufi yang iktikadnya sudah bercampur dengan paham wihdatul wujud (panteisme). Apalagi beberapa cerita karomah para wali tersebut bertentangan dengan surat Yûnus (10): 49 yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. saja tidak memiliki kekuatan untuk menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat.

Baca Juga: Kehadiran Binatang dalam Kisah para Sufi

Oleh karena itu, Buya Hamka mengkritik dan menolak praktik keislaman beberapa Muslim yang berziarah ke makam wali tertentu dalam rangka meminta pertolongan (syafaat) dan berkah kepada wali tersebut. Menurutnya, perbuatan semacam ini adalah syirik, karena sudah menyimpang jauh dari ajaran pokok dan tauhid Islam.

Sebaliknya, Buya Hamka menekankan agar umat Islam senantiasa berhati-hati dan tidak tertipu oleh hal-hal aneh yang dilakukan oleh seseorang atas nama karomah. Artinya, apabila seorang Muslim hanya menjadikan hal-hal aneh sebagai tolak ukur karomah dan kewalian seseorang, maka dia akan tertipu. Sebab, banyak non Muslim, pawang pertunjukan, dan bahkan penipu yang bisa melakukan hal-hal aneh di luar kebiasaan umum, seperti berjalan di atas api atau di atas kaca, kebal senjata, bisa memakan kaca dan dedak, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, beliau juga mengutip pendapat Imam Junaid al-Baghdadi agar seorang Muslim tidak serta-merta percaya dan menganggap seseorang wali dan memiliki karomah hanya karena bisa melakukan hal-hal aneh di luar kebiasaan umum sebelum betul-betul mengetahui jalan hidup seseorang tersebut: apakah dia berjalan sesuai tuntutan al-Qur’an dan hadis atau tidak.

Selain itu, beliau juga menolak istilah kasyaf  (pembukaan rahasia yang tersembunyi atau gaib) yang berkembang dalam tradisi tasawuf. Menurutnya, istilah kasyaf ini merupakan salah satu perkara yang merusak Islam. Sebab, atas dasar kasyaf seseorang yang dianggap wali terkadang mengubah ketentuan hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.

Dia (orang yang dianggap wali) juga menyuruh seseorang melakukan beberapa hal tertentu tidak berdasarkan al-Qur’an dan hadis, tetapi hanya berdasarkan kasyaf (baik melalui mimpi maupun ilham). Dalam hal ini, Buya Hamka mengutip pendapat Imam al-Gazâlî bahwa banyak orang yang tertipu terhadap masalah kasyaf atau bahkan menipu orang lain atas dasar kasyaf.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Syekh Ibn Bâz (salah satu tokoh Wahhabi) ketika ditanya apakah benar para wali memiliki karomah atau tidak. Dalam hal ini, beliau mengakui secara jelas bahwa para wali yang istikamah taat kepada Allah dan Rasulullah saw. memiliki karomah di luar kebiasaan umum. Karomah ini terkadang tampak ketika mereka memiliki kebutuhan tertentu, atau ketika dalam keadaan terdesak, atau sebagai hujjah agama kepada orang-orang lain.

Baca Juga: Jalan Menjadi Wali

Syekh Ibn Bâz mendasarkan pendapatnya ini kepada hadis dan beberapa karomah yang dimiliki oleh para sahabat Nabi saw. Dalam hal ini, sebuah hadis menyebutkan kisah Juraij yang memiliki karomah bisa mengajak bicara seorang bayi.

Juraij adalah ahli ibadah yang dituduh berzina dan menghamili seorang perempuan. Ketika perempuan tersebut melahirkan, maka Juraij (yang sedang dalam keadaan terdesak) menanyakan kepada bayi itu siapa bapaknya. Bayi tersebut akhirnya menjawab bahwa bapaknya adalah tukang penggembala yang berzina dengan perempuan itu, bukan Juraij.

Selain itu, Syekh Ibn Bâz menyebutkan karomah beberapa sahabat Rasulullah saw., seperti Sayyidina ‘Abbâd bin Bisyr ra., Sayyidina Usaid bin Khudhair ra., dan Sayyidina Thufail ad-Dausî ra. Disebutkan bahwa Sayyidina ‘Abbâd bin Bisyr ra. dan Sayyidina Usaid bin Khudhair ra. pernah mengunjungi Rasulullah saw. di waktu malam yang gelap gulita. Ketika kedua sahabat itu pulang, maka cambuk mereka mengeluarkan cahaya seperti pelita untuk menerangi perjalanan mereka menuju rumah masing-masing.

Karomah serupa juga dimiliki Sayyidina Thufail ad-Dausî ra. (pemimpin suku Daus). Dalam hal ini, ketika beliau memeluk agama Islam, maka beliau meminta sebuah keistimewaan kepada Rasulullah saw. agar suku Daus memercayainya. Setelah Rasulullah saw. memintakan keistimewaan kepada Allah, maka wajah Sayyidina Thufail ad-Dausî ra. bisa mengeluarkan cahaya layaknya lentera ketika menemui sukunya.

Dalam kesempatan ini, Sayyidina Thufail ad-Dausî ra. juga meminta kepada Allah agar memindahkan cahaya itu kepada tempat lain. Allah kemudian memindahkan cahaya itu kepada cambuk yang dipegangnya. Ketika beliau mengangkat cambuk itu, maka ia langsung mengeluarkan cahaya seperti lentera. Akhirnya, Allah memberikan hidayah kepada suku Daus dengan perantara karomah Sayyidina Thufail ad-Dausî ra. Sehingga mereka masuk Islam setelah menyaksikan karomah tersebut.

Setiap Muslim Harus Berusaha Menjadi Wali Allah

Meskipun Buya Hamka menolak cerita-cerita karomah para wali, bukan berarti beliau menolak kewalian dalam Islam. Menurutnya, Allah menganjurkan setiap Muslim menjadi wali Allah, yaitu mendekati Allah dan makrifat kepada-Nya. Sebab, setiap orang bisa menjadi wali asal beriman, beramal saleh, dan senantiasa bertakwa kepada Allah. Oleh karena itu, beliau menekankan setiap Muslim mencapai tingkat wali dengan cara melatih diri mengikuti aturan sunah Rasulullah saw.

Seorang Muslim yang belum sampai ke maqâm (derajat) wali tidak boleh meminta sesuatu (baik kewalian maupun perkara lain) kepada wali tertentu dan memujanya menjadi setengah Tuhan. Sebab, perbuatan ini sama saja dengan menukar agama, karena telah menukar Allah dengan para wali-Nya. Bagaimanapun keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh wali tertentu adalah pemberian Allah. Sehingga dia harus meminta langsung kepada Allah yang memang Memiliki segalanya tanpa perantara (wasilah) siapapun, sebagaimana dipahami dari al-Fâtiḥah (1): 5 dan Gâfir (40): 60.

Oleh karena itu, Buya Hamka menolak istilah wasilah yang dimaknai sebagai meminta sesuatu kepada Allah melalui perantara (wasilah) wali tertentu, baik masih hidup maupun sudah meninggal.

Dalam hal ini, beliau mengutip pendapat Imam Ibn Taymiyyah bahwa meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati (baik nabi, wali, maupun ulama besar) agar dia mendoakan kepada Allah (untuk memperoleh kebaikan dan rezeki atau agar terhindar dari bahaya dan kemudaratan) bukan wasilah atau tawasul, tetapi perbuatan syirik. Sebab, perbuatan ini (tawasulan) tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik ketika Rasulullah saw. masih hidup maupun ketika beliau sudah wafat

Buya Hamka menyebut tawasulan dengan orang yang sudah meninggal sebagai pemujaan kubur atas nama wasilah atau tawasul yang sangat bertentangan dengan ajaran tauhid Islam. Menurutnya, banyak masyarakat Muslim yang mempertahankan pemujaan kubur atas nama wasilah atau tawasul

Praktik pemujaan kubur ini ditentang secara keras oleh Imam Ibn Taymiyyah yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahhabi) dan para pengikutnya (kalangan Wahhabi). Namun, pendapat Imam Ibn Taymiyyah dan ajaran Wahhabi ini mendapatkan perlawanan dari masyarakat Muslim yang memuja kuburan seseorang yang dianggap keramat, baik di kalangan Sunni maupun Syiah, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Adapun makna wasilah sendiri yang disebutkan dalam al-Mâ’idah (5): 35, menurut Buya Hamka, adalah beberapa jalan dan cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, seperti memperbanyak ibadah, berdoa, berbuat baik, menegakkan budi pekerti yang tinggi, dan berkasih-sayang kepada sesama manusia. Oleh karena itu, wasilah merupakan usaha dari masing-masing orang. Sehingga semakin banyak dia beribadah, berdoa, dan berbuat baik, maka semakin dekat dan semakin sampai kepada tempat yang diridai oleh Allah (hlm. 1723).

Baca Juga: Karomah Wali Milenial

Ketika seseorang sudah dekat dengan Allah (menjadi wali Allah), maka rasa takut dan gelisah dalam hati-pikirannya lambat laun akan hilang. Dalam hal ini, Allah akan mengganti rasa takut dan gelisah tersebut dengan kabar gembira, bahagia, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam Yûnus (10): 62-63.

Selain itu, Allah terkadang memberikan beberapa hal istimewa kepada seseorang yang sudah dekat dengan-Nya (wali Allah). Beberapa hal istimewa tersebut terkadang berupa jalan keluar dari kesulitan, atau rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, sebagaimana disebutkan dalam aṭ-Ṭalâq (65): 3, atau berupa kabar gembira dari malaikat agar tidak takut dan gelisah, karena Allah dan para malaikat telah menjadi pelindungnya, sebagaimana disebutkan dalam Fuṣṣilat (41): 30. Kabar gembira tersebut terkadang disebut kasyaf atau hatif, yaitu suara dari langit (gaib).

Buya Hamka sendiri sering mendapatkan keajaiban (baca: karomah) dalam hidupnya ketika sedang terdesak, seperti bisa membuka pintu yang sedang terkunci; diselamatkan dari mara bahaya, baik lipan ketika sedang tidur maupun setruman listrik polisi agar mengaku salah ketika dipenjara; dan mendapatkan kabar langit (hatif) bahwa beliau akan bebas dari penjara.

Dalam hal ini, beliau termasuk orang yang istikamah beribadah kepada Allah, baik berupa doa, membaca al-Qur’an, maupun salat tahajud. Sehingga tidak heran apabila beliau mendapatkan karomah dari Allah.

Menurut beliau, banyak tokoh Muslim mendapatkan keajaiban dari Allah (baca: karomah) yang memang istikamah dalam latihan rohani (baca: riyâḍah), tetapi mereka merahasiakannya. Meskipun terkadang mereka juga menceritakan beberapa keajaiban yang diberikan Allah tersebut untuk memotivasi orang lain agar giat beribadah.

Salah satu riyâḍah yang pernah dianjurkan oleh seorang ulama adalah melaksanakan salat tahajud secara berturut-turut selama 40 malam. Dalam hal ini, apabila seorang Muslim berhasil melakukan riyâḍah tersebut, maka dia akan mendapatkan keajaiban dari Allah. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Editor: Ainu Rizqi
 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Nasrullah Ainul Yaqin
Alumni Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

    1. Kok seperti tidak konsisten, diawal dikatakan buya HAMKA tidak percaya karomah para wali. Tapi diakhir tulisan mengakui Ada orang orang Yang sudah dekat dengan Allah (waliullah) suka diberi keistinewaan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals