Beberapa waktu belakangan kian marak dikotomi kelompok Islam. Jika sejak dahulu ada istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (yaitu mereka yang mengaku berpegang pada sunnah Rasulullah saw, para sahabat dan tidak keluar dari madzhab aimmah al-fuqoha serta para ulama salaf mu’tabaroh lainnya), maka sekarang marak kelompok yang menamakan dirinya (kelompok sunnah). Kelompok yang mengaku “sunnah” ini bahkan kerap menuding siapapun yang tak sepaham dengannya sebagai ahli bid’ah. Disinilah pentingnya bagi kita memahami apa itu “ahlussunnah” dan bagaimana hakikat mengikuti sunnah (ittiba’ as-sunnah).
Secara umum “Ahlussunnah” adalah orang yang berpedoman pada sunnah Rasulullah saw. Sampai di sini semua orang mestilah mengaku ahlussunnah (bahkan kelompok inkarussunnah sejatinya tetap mengikuti sunnah), tapi siapa yang benar-benar mengikuti sunnah?.
Mari kita perhatikan satu contoh kasus, terkait cara makannya Rasulullah saw, beliau makan dengan tangan kanan, makan tidak sampai kenyang, makan dari tepian wadah, menghabiskan makanan dan lainnya. Jika seseorang mengikuti berbagai tata cara dan adab makan ini diiringi niat mengikuti Rasul (ittiba’ar-Rasul), maka dia telah mengikuti dan mendapatkan pahala mengamalkan sunnah.
Tapi, apakah kita benar-benar mengikuti sepenuhnya cara makan Rasul saw? memakan persis apa yang Beliau makan? dan menggunakan alat apa yang beliau gunakan untuk makan? Jawabannya: tentu saja tidak! Misalnya saja, Rasulullah makan kambing paha bagian depan (HR. al-Bukhori no. 200), lalu kita bisa mengikuti hal tersebut. Tapi apakah hasil olahannya sama dengan olahan nabi saw? Memang mengkonsumsi daging kambing itu “sunnah”, tapi mengolahnya menjadi tongseng kambing atau menjadi sate kambing plus acar dan bumbu kecap sate kambing, tentu tidak termasuk sunnah. Karena tidak ada riwayat tentang Nabi membuat tongseng kambing atau acar dan bumbu kecap sate kambing. Artinya, sunnah kita dalam konteks makan kambing adalah sunnah KW. Yaitu sunnah secara formal tapi beda rincian dan detilnya.
Itu baru kasus makan paha kambing saja, belum sunnah tidurnya, sunnah berjalannya, sunnah pakaiannya (tidak ada satupun model pakaian yang murni sesuai model pakaian Nabi saw). mungkin kita pakai gamis, tapi gamis kita berbeda dengan model dan bahan gamis sebagaimana yang digunakan oleh Rasul saw. Mengikuti tapi jelas tidak sama. Kalau dalam masalah yang sepele saja kita tidak bisa menyamai Rasul saw, apalagi dalam masalah ibadah. Dengan kata lain, sunnah yang kita amalkan selama ini sebenarnya sunnah KW, ada yang KW 1, KW 2 dan seterusnya. Maka hendaknya kita merendah dan tidak mengklaim paling mengikuti sunnah apalagi mengklaim sama dengan Rasul saw!
Happy maulid Nabi saw 1439 H.
One Comment