Dalam beberapa hari ini sedang viral tentang aturan terbaru dalam penerimaan CPNS. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Kepres 17 tahun 2019. Dalam peraturan tersebut disebut secara eksplisit usia maksimal pendaftar. Bahwa usia minimal CPNS adalah 40 tahun. Aturan ini lebih tua dari sebelumnya yaitu usia 35 tahun. Hal ini merupakan angin segar bagi mereka yang sudah berusia 35 tahun dapat ikut serta dalam kompetisi penerimaan CPNS dalam lima tahun lagi.
Selain angin segar di atas terdapat aturan lain yang memberatkan adalah syarat pendidikan minimal bagi dosen adalah S3 atau bergelar doktor. Untuk kualifikasi tersebut dalam penerimaan CPNS 2018 banyak formasi yang tidak terpenuhi. Hal tersebut terkait klausul pertama usia seseorang. Rata-rata doktor adalah mereka yang sudah menjadi dosen atau memiliki NIDN. Sehingga sangat jarang sekali anak muda yang sudah lulusan S3 yang belum memiliki afiliasi tempat kerja.
Sejarah panjang penerimaan CPNS dosen memang hanya lulusan S1. Bahkan kenyataan tersebut masih berlangsung sampai tahun 1998. Peralihan persyaratan menuju S2 atau magister didahului beragam variasi penerimaan dari tenaga dosen seperti mereka yang kuliah S2 dalam negeri dan pembibitan dosen. Untuk S2 dalam negeri pada waktu itu belum banyak juga penyelenggara S2 di PT. Khusus PTKIN saja hanya bisa dihitung dengan jari baik dari penyelenggaranya maupun mahasiswanya. Mereka hanya menggunakan ijazah s1. Setelah lulus baru mendapatlan penempatan ke PTKI se-Indonesia.
Pola yang sama di atas juga berlaku dalam pembibitan dosen yang kuliah ke Luar Negeri. Mereka menjadi PNS dan kemudian beberapa tahun kemudian berangkat kuliah S2. Pola tersebut masih memakai jalur S1 berasal dari PT. Sehingga dalam sebuah PT ada tiga jalur penerimaan dosen yaitu S1 murni, S2 Dalam Negeri, dan S2 luar negeri.
Kenyataan di atas sampailah masa di mana PT banyak yang menyelenggarakan pendidikan S2. Akhirnya, seluruh dosen diharuskan memiliki gelar magister dan strata S1 tidak diterima lagi.
Jarak tahun 2000 sampai sekarang sudah 19 tahun lamanya. Waktu yang panjang tersebut tidak dibarengi usaha membuka prodi S3 di beberapa PT. Sehingga, pendidikan doktor belum berlimpah dan menjamur seperti pendidikan magister. Apalagi biaya pendidikan di tingkat paling akhir stara ini tidak murah lagi. Biaya yang paling murah adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang hanya 7 juta persemester di tahun ajaran 2018/2019. PT yang lain sudah di atas 12 juta persemester.
Kelahiran LPDP menjadi salah satu hal yang menyenangkan. Seluruh anak bangsa berkesempatan melanjutkan studinya di S2 dan S3 di dalam dan luar negeri. Hal tersebut juga diikuti oleh beragam kementerian yang ada baik Kemenang yang memiliki program PMD yaitu Pendidikan Magister lanjut Doktor maupun yang lainnya. Upaya tersebut adalah sudah sangat baik namun dari sisi pesertanya kebanyakan mereka yang sudah memiliki NIDN atau mereka yang dosen seperti program 5000 doktor. Data menunjukkan masih banyak juga dosen yang masih begelar magister. Selain itu masih juga ditemukan ribuan dosen yang masih berpendidikan S1.
Selain fakta di atas, atas dasar data yang ada dan dengan peraturan yang ada melalui Kepres pengangkatan dosen, maka alangkah baiknya jika syarat lulusan pendidikan doktor atau S3 diubah menjadi sedang berpendidikan S3 sebagaimana lazimnya peralihan sebelum dosen wajib s2 atau magister.
Hal tersebut sambil memperbaiki kualitas dan kuantitas pendidilan S3 yang masih terbatas hanya ditemukan di kota-kota besar. Selain itu juga memperbanyak beasiswa yang dapat diakses masyarakat luas. Ragam kegiatan tersebut akan dapat menyaring calon ASN yang berkualitas dan banyak pilihan. Dengan hanya terjebak lulusan S3 dengan pendaftar yang terbatas akan mengakibatkan kekosongan formasi yang diusulkan akibat kurangnya doktor yang lulus TKD (Test Kemampuan Dasar atau tidak adanya yang mendaftar. (MAS)
0 Comments