Suatu ketika Senja sedang candu dengan sepi, aku datang menemuinya. Aku tak membawa apa-apa, hanya berbekal keresahan. Keresahan yang kuanggap menghancurkan tubuh keluarga yang dulunya bahagia, sekarang semua tinggal kenangan saja.
Senja sedang berada di belakang kafe, dia menghadap persawahan. Tatkala Senja kutemui, dia sangat anggun sekali. Aku bersalaman dengannya. Dia tersenyum dengan wajah keemas-emasan dan terasa sangat hangat saat dia lontarkan senyumnya padaku. Tanpa basa-basi, aku langsung saja cerita padanya.
Senja, di kedua mata Ibuku ada tanggungjawab masa lalu dan membuatnya trauma, hingga terlihat bimbang untuk menatap masa depannya. Sebab itu, Ibuku kerap berjaga setiap malam hingga membuat mata panda di wajahnya.
Sebenarnya, aku ingin mengganti kedua mata Ibuku dengan mataku. Namun, aku masih bimbang dan kepalaku membuat pikiranku melayang.
Bukan aku tak percaya dengan mata Ibuku atau semua yang dipandangnya. Namun, semua itu cenderung konservatif, memandang masa depan dengan tabu, pemikiran baru kerap dibantahnya, bahwa hal itu sangat menganggu dan ironinya– pemikiran baru–kerap dibandingkan dengan zamannya.
Bahwa zamannya muda dululah yang paling agung. 22 tahun pernikahan bersama Bapak, kandas begitu saja ketika Bapak mendeklarasikan untuk menjadi suaminya selamanya.
Deklarasi itu menuai perdebatan dalam keluarga kami, pasalnya Bapak sudah sakit-sakitan, Ibu menganggap bahwa bapak kala itu sedang mengigau, jelas-jelas Bapak dan Ibu pasti sudah saling mencintai dan mengasihi sampai akhir hayat sejak mereka ijab qabul, itu kata Ibu.
Tapi, Nasib berkata lain, Senja, Bapak meninggal saat hendak memasuki tahun ke-23 pernikahan Ibu dan Bapak.
Setelah itu, Ibu menikah lagi dengan duda dan juga mantan tentara veteran yang melawan penjajahan dulu. Dia salah seorang panglima, perawakannya gagah, tapi sayangnya dia terlalu keras kepada anggota keluarga kami, dia lebih sayang dengan keluarganya.
Senja menyela ceritaku, sebab kopinya sudah habis.“Sebentar, aku mau beli kopi dulu. Kamu mau kopi apa? Datang langsung cerita, sampe gak terasa kopiku habis.”
“Kopi susu aja, sama rokok Surya 16 ya” sahutku.
Tak lama kemudian Senja kembali, dan duduk dengan posisi baru dan paling nyamannya.
“Lanjut lagi ceritanya” ujar Senja.
“Oh, iya. Jadi, ketika Ibu mempunyai suami baru, suami barunya lebih sayang kepada anak-anaknya saja. Kami tidak diperbolehkan melakukan apapun selain minta izin dulu sama Bapak.”
Tapi, anak-anaknya bebas semaunya. Harta yang ibu miliki diambil bapak dan dibagikan ke anak-anaknya. Sedangkan kami hanya mendapat sisa. Semenjak itu, Ibu kerap menangis,matanya sembap sampai dikira buta karena saking sembapnya.”
“Apa kamu pernah memberontak bapak barumu?” Sahut senja.
“Pernah. Katanya nggak boleh begitu, kata bapak, itu durhaka. Ya, kami 32 tahun hidup dalam perlindungan keposesifan bapak. Tapi, selama itu, beban hidup keluarga kami mencari apapun mudah, keluarga kami pasti dapat harga murah. Katanya sih bapak jago nawar”, Kita tertawa. Lalu aku melanjutkan ceritaku.
Makanya itu, ekonomi keluarga kami terbilang aman. Tapi ironinya, ternyata, Bapak dengan anak-anaknya sekongkol, mereka mengamankan ekonomi keluarga demi mereka sendiri.
Setelah kami tau kalau Bapak sama anaknya sekongkol, kami izin sama Ibu untuk berontak sama Bapak. Awalnya ibu tidak mengizinkan, tapi akhirnya ibu luluh juga, hanya saja ibu mengisyaratkan untuk tetap hati-hati.
Selama kami berontak sama bapak, sejak itu pula bapak semakin licik. Semua harta dipegang bapak, surat tanah, perhiasan ibu, dan surat-surat penting lain.
Baca Juga: Hujan yang Turun di Sebuah Kisah |
Alasannya sih untuk kepentingan bersama. Bapak ingin buka lahan lagi untuk bikin sawah, biar keluarga bisa makan tanpa beli dari orang lain.
Tapi, di sisi lain, Bapak membuka lahan buat bangun gedung guna keperluan bisnis Bapak. Sementara semua harus setuju dengan kemauan bapak, kalau nggak, konsekuensinya nanti kami dipenjara di rumah.
Untungnya, tekad kami untuk memberontak Bapak terbayar tuntas. Bapak mengembalikan semua hak yang ibu punya, tapi Bapak tidak meminta maaf sepeserpun kepada kami.
Bukan kami merasa benar, tapi ya setidaknya minta maaf buat kesalahannya yang sudah diperbuat, biar kami pun lega atas kepergian Bapak karena kesewenang-wenangan bapak terhadap keluarga kami.” Aku sedikit mengeluarkan air mata.
Senja mengelusku agar aku tak menagis. Kemudian, salah satu pelayan membawakan pesanan kami. Dia melihatku meneteskan air mata, lalu menyodorkan beberapa tisu padaku.
Matanya sedikit mengangkat pada Senja sebagai pertanda tanya, Senja pun menjelaskan sedikit permasalahanku padanya.
“Udah mas, nggakpapa. Kalau butuh tisu nanti bilang aja ke depan”, ujarnya. Senja mengiyakan.
Aku mengangkat kepalaku, lalu melanjutkan cerita dengan mata yang lumayan sembap. Senja, setelah perceraian yang kedua kalinya, ibuku semakin tak karuan.
Keadaan ekonomi kami mengalami penurunan yang membuat keluarga kami susah. Untuk membeli nasi pun kami harus menjual sawah dahulu untuk membelinya, anehnya nasi yang kami beli harganya lebih mahal dari sekotak sawah yang kami jual.
Terus, Ibu pernah dekat dengan seorang profesor, sempat mau menikah, tapi nggak jadi. Ibu juga pernah deket sama salah satu kiyai, kami nyaman dengan beliau dan justru setuju jika Ibu menikah lagi dengan kiai itu, tapi nggak jadi lagi. Ibu terlalu terbawa omongan sahabatnya.
Ironinya lagi, Senja, sahabat Ibu malah berkhianat, dia menjual perusahaan Ibu tanpa sepengetahuan Ibu. Kami sudah berusaha untuk mengembalikan perusahaan Ibu, tapi semua sudah terlanjur, sahabat Ibu pergi entah ke mana”. Mataku mulai deras mengeluarkan air mata.
“Sabar, sabar” senja mengelus-elusku.
Aku kembali melanjutkan cerita dengan tersedu-sedu. “Senja, sekarang Ibuku sudah menikah lagi, aku tak tahu harus bagaimana. Setiap pernikahan yang Ibu jalani kerap menyimpan dendam dan luka meski Ibu terlihat bahagia.
Bapak tiriku sekarang aneh, senja. Di hadapan saudara-saudara kami, Bapak terlihat baik hati, tapi kepada kami justru sebaliknya. Selama Bapak memimpin keluarga pun, kami merasa tak dihargai.
Kami selalu memberi masukan sama Bapak, tapi bapak tak pernah mendengarkan kami, justru bapak lebih mendengarkan omongan tetangga, jelas-jelas kami satu keluarga, malah percaya orang lain.
Ibu sekarang lagi sakit, tapi Bapak tak peduli, Bapak lebih memilih bisnis tambang dan mebelnya. Aku tak tau yang Bapak pikirkan sekarang. Aku hanya ingin Bapak membawa Ibu ke dokter, bukan ke psikiater.
Ironinya lagi, Bapak lebih mementingkan ekonomi keluarga dari pada kesehatan keluarganya. Sekarang kami hanya merawat ibu dengan cara kami sendiri, sebisa kami sendiri, apapun yang ibu minta, kami laksanakan.
Kami nggak mau ibu meninggal begitu saja, kami ingin ibu sehat dan terus hidup.”
Mataku sembap. Aku bercerita sampai lupa waktu. Rokok dan kopi sudah habis, pertanda waktu harus pulang.
Baca Juga: Kampung Harga Diri |
Aku pulang ke rumah dengan mata memerah. Sesampainya di rumah, Ibu meninggal. Kata adekku Ibu meninggal karena terkejut, sebab bapak menjual sawah yang kami miliki untuk menghidupi keluarga, bapak jual dengan harga murah.
Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang cerpen di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment