RUU P-KS dalam Pandangan Golongan Kanan dan Kiri

Berbeda dengan golongan kiri, golongan kanan yang berangkat dari perspektif keagamaan justru mendukung penuh RUU PKS dibatalkan.5 min


Akhir-akhir ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kembali diperbincangkan. Pasalnya, RUU ini dikabarkan hengkang dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Tentu saja hal ini mengundang berbagai reaksi publik. Kelompok pro dan kontra aktif menyuarakan aspirasinya terhadap RUU ini. Kedua kubu sibuk berargumentasi dan saling menafikan satu sama lain.

Perdebatan RUU P-KS ditemukan di kedai kopi, ruang kelas, ruang pertemuan, lapak baca, selasar masjid dan berbagai tempat lainnya. Namun, karena pandemi yang sedang melanda dunia mengakibatkan terbatasnya ruang-ruang publik semacam itu.

Jangan bersedih, perdebatan itu sangat mudah diamati di media virtual. Sebagai realitas kedua, media virtual saat ini (baca: di masa pandemi) menjadi arus utama yang menampilkan perdebatan tersebut.

Netizen (baca: sebutan untuk masyarakat media virtual) terbagi menjadi dua kubu yang saling menegasikan satu sama lain. Hal-hal yang didukung atau ditolak menjadi identitas netizen. Ini menjadi tolok ukur yang cukup masif untuk mengotak-kotakkan satu sama lain.

Baca juga : Semangat Kartini dan Wacana Gerakan Perempuan di Media Sosial

Nah, dalam tulisan ini penulis mengajak para pembaca budiman yang cantik, ganteng dan tentunya sebagai orang yang bijak untuk membicarakan sedikit mengenai perspektif yang berseberangan dalam menyikapi RUU P-KS di media virtual.

Mari kita menelaah seperti apa sih RUU P-KS di mata golongan kiri, yang kemudian menjadi kontroversial di mata golongan kanan?

Keputusan DPR terhadap RUU itu dikecam oleh kalangan yang mendukung pengesahannya sejak awal. Sebut saja mereka sebagai golongan kiri. Mereka yang ada di golongan kiri adalah para aktor yang aktif dalam gerakan feminis.

Gerakan ini menentang keras rencana DPR tersebut. DPR dianggap tidak peka kebutuhan rakyat dan cenderung sangat pragmatis dalam menilai RUU.

Anggapan-anggapan tersebut bukan tidak beralasan. DPR dipandang berkali-kali mengesahkan RUU yang masih problematis.

RUU yang masih problematis itu salah satunya adalah UU Minerba. UU tersebut dianggap tidak menguntungkan rakyat. Namun, layaknya orang tuli, DPR seolah menutup mata dari anggapan-anggapan tersebut.

Di sisi lain, tidak sedikit yang mengamini dan mensyukuri dicabutnya RUU P-KS dari Prolegnas 2020. Mereka ini adalah orang-orang yang sejak awal memang tidak setuju dan hendak menggagalkannya.

Kalangan ini tentu saja berhak tidak setuju dengan apapun alasannya. Toh, mereka juga memiliki hak kebebasan berpendapat dan bersuara di ruang publik.

Sebenarnya penulis juga bingung untuk menyebutkan mereka sebagai golongan apa. Jika kita sebut mereka sebagai gerakan muslimah karena sebagian besar merupakan komunitas muslimah, justru muslimah di golongan kiri juga tidak dapat dikatakan sedikit juga.

Narasi yang digunakan oleh golongan kanan ini tidak pernah terlepas dari teks salah satu agama (baca: Islam). Selain itu identitas yang lekat pada diri mereka juga menunjukkan bahwa mereka adalah muslim (baca: pemeluk agama Islam).

Dari kenyataan ini, penulis bingung sendiri harus menyebut mereka sebagai apa. Namun, untuk memudahkan pembahasan, izinkan penulis menyebut mereka cukup sebagai golongan kanan saja, ya?

Dalam pro dan kontra RUU P-KS ini, adanya dua pihak yang memiliki perspektif berbeda tidak terlepas dari wajah Indonesia yang merupakan negara demokrasi dan berasas agama.

Sebagai negara demokrasi yang dituntut dapat hadir melindungi kebebasan berpendapat warganya, serta menjamin kebebasan beragama seperti yang tercantum dalam Pancasila sila pertama.

Dalam perdebatannya, RUU P-KS berada dalam ruang-ruang itu; ia diperdebatkan di ruang publik dan tidak jarang ditilik dari sudut keagamaan.

Untuk isi dan pembahasan RUU P-KS sendiri, sebenarnya sudah banyak sekali ditemukan di berbagai media. Draft-nya juga sudah banyak disebarluaskan, sehingga ia dapat dibaca oleh semua kalangan dan mudah saja memahami substansinya.

Meski demikian, tetap saja ia barang mentah yang bebas diinterpretasikan oleh pembacanya. Proses interpretasi tersebut sudah barang tentu bersifat subjektif yang melibatkan varinitas latar belakang.

Golongan kiri yang merupakan feminis diidentikkan sebagai pemikiran produk Barat. Hal ini menjadi penyebab utama terma feminis hingga saat ini masih diperdebatkan.

Bahkan di Indonesia sendiri, meskipun ada organisasi atau komunitas yang sebenarnya sudah mengusung “kefeminisan”, tetap enggan menyebut diri mereka sebagai feminis (Blackburn, 2010: 22).

Feminis secara sederhana dapat dimaknai sebagai mereka yang “melek” dengan isu-isu kemanusiaan, khususnya dalam kesetaraan.

Jadi, feminis tidak melulu soal membela hak perempuan, tetapi berusaha memihak mereka yang dikucilkan dan menghapuskan ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur dalam suatu masyarakat.

Feminis sering juga disebut sebagai orang-orang yang berusaha melawan “kenormalan” di dalam masyarakat. Dengan kata lain, feminis merupakan kalangan yang berusaha mengubah tatanan yang sudah mapan.

Baca juga : Pemahaman Sinis Terhadap Feminis

Gerakan feminis di Indonesia mendukung penuh pengesahan RUU P-KS karena dianggap sebagai sebuah upaya terbaik untuk menghapuskan kekerasan seksual.

Gerakan feminis melihat bahwa belum ada hukum positif sebelumnya yang benar-benar memihak korban selain RUU P-KS ini. Akan tetapi, pembahasannya sudah cukup lama dilakukan, namun pengesahannya malah terancam gagal .

Berbeda dengan golongan kiri, golongan kanan yang berangkat dari perspektif keagamaan justru mendukung penuh RUU itu dibatalkan.

Golongan kanan menilai RUU P-KS mendukung komunitas LGBT dan perzinaan. Padahal isi RUU P-KS tidak satupun menyiratkan hal tersebut.

RUU P-KS mengurusi segala hal terkait kekerasan seksual. Ia mengatur penanganan korban dan pelaku secara spesifik dan lengkap yang belum diatur oleh UU yang sudah ada. Sehingga kesimpulan golongan kanan terhadap RUU P-KS tidak lebih dari asumsi liar yang tidak memiliki dasar yang jelas.

Penulis menduga golongan kanan sejak awal tidak ingin memahami substansi RUU ini secara utuh karena terjebak dalam praduga dan kecurigaan sehingga tidak memungkinkan terjadinya dialog dan saling bertukar gagasan.

Akibatnya, RUU P-KS ditanggapi sebagai produk feminis yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. RUU P-KS dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan Pancasila sehingga menggagalkannya adalah langkah bijak yang harus dilakukan.

Menurut penulis, feminis dan Islam sebelum gencarnya RUU P-KS juga sering digambarkan seolah keduanya benar-benar berbeda dan tidak dapat didialogkan.

Akibatnya, narasi yang dibangun oleh golongan kanan dan kiri ini tampak berlawanan, padahal tidak sama sekali.

Tentu saja dengan perspektif yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang lahir dari sudut pandang feminis akan sangat berbeda dengan pandangan Islam nantinya.

Sebenarnya perbedaan bukanlah hal yang mengejutkan, terutama berbeda pendapat itu adalah hal yang lazim terjadi dan menjadi sunnatullah.

Perbedaan pendapat berangkat dari referensi, pola pikir dan proses belajar yang berbeda-beda, sehingga berbeda pendapat sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang negatif dan harus disikapi secara bijak dan positif.

Pemikiran feminis yang sering dibenturkan dengan nilai Islam adalah konsep kesetaraan gender dan pembongkaran segala bentuk dominasi patriarki. Kata “setara” selalu dipandang menyalahi kodrat manusia yang diciptakan berbeda. 

Bagaimanapun laki-laki yang melulu dipandang sebagai pemimpin bagi perempuan menjadi legitimasi kuat atas negasi dari “kesetaraan”. Dan itu sudah mengerak akut di setiap kepala.

Padahal, penting diketahui bahwa esensi agama adalah kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Agama harusnya menjadi sumber mendasar bagaimana memperlakukan sesama manusia secara setara.

Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamiin adalah esensi pokok yang tidak dapat ditawar lagi dari kehadiran agama Islam.

Jika dilihat dari isi dan substansi, RUU P-KS sesungguhnya memiliki kesamaan semangat dengan nilai-nilai Islam; menciptakan kemaslahatan umat sebagai tujuan. Di mana korban kekerasan seksual sangat memerlukan payung perlindungan hukum yang jelas agar tidak ditemukan lagi korban-korban selanjutnya.

Meski kesamaan semangat tersebut tidak eskplisit muncul ke permukaan namun bukan berarti nilai-nilai agama tidak dibutuhkan, melainkan tidak dapat diberlakukan sebagai hukum formal.

Artinya, agama tidak bisa menentukan sanksi secara resmi untuk menangani pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Maka, RUU P-KS menjadi penting karena esensinya untuk mencapai kemaslahatan korban kekerasan seksual.

Jadi, upaya menjembatani kedua golongan (kiri dan kanan) sangat mungkin dilakukan, sebab keduanya memiliki banyak kesamaan. Kesamaan tersebut terletak pada cara memandang eksistensi perempuan. Eksistensi perempuan baik dalam perspektif golongan kanan dan kiri hakikatnya memiliki posisi yang sangat mulia.

Dalam pandangan agama dan feminisme, perempuan adalah makhluk Allah yang sama dengan laki-laki. Sama dalam artian makhluk yang diciptakan secara sempurna dan memiliki hak-hak yang sama.

Melalui kesamaan ini, keduanya tidak berseberangan dan berbenturan meskipun kemudian pandangan mendasar ini bebas ditafsirkan lagi secara berbeda-beda.

Bertumbuhnya feminis dalam tubuh Islam merupakan bukti rill adanya upaya-upaya mendialogkan dua sudut pandang (kanan dan kiri) itu sangat giat dilakukan.

Keberadaan Kyai Husein Muhammad yang dikenal sebagai kyai feminis berusaha menerjemahkan ulang tafsir fiqh terhadap perempuan.

Baca juga : Kyai Feminis : Mengenal Sekelumit Pemikiran Husein Muhammad

Sementara Bu Nyai Nur Rofiah dan Kalis Mardiasih sebagai tokoh perempuan Islam yang berkonsentrasi dalam kajian gender hanya segelintir bukti atas adanya semangat mendialogkan perspektif tersebut. [RR]


_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Sukma Wahyuni

Master

Tim Redaksi Artikula.id

3 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Hai Sukma, saya ingin tanya, lantas penamaan golongan kiri dan kanan ini datangnya dari mana? Coba dijabarkan dulu. Lalu feminis itu banyak turunannya, lantas dalam tulisan ini, feminis mana yang dimaksud? Izin menambahkan, RUU PKS ini tdk hanya fokus pd korban perempuan, justru menormalisasi bhw siapapun (termasuk laki-laki) bisa juga jadi korban; dan pelaku juga bisa siapa saja, termasuk perempuan manipulatif yang patriarkis. Salam.

    1. Hai Kak Aprianti, sebelumnya terimakasih sudah bersedia membaca artikel saya ini :). Penamaan golongan kiri dan kanan dalam tulisan ini murni dari pendapat saya sendiri berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, hanya sebagai gambaran bahwa keduanya berseberangan pendapat. Padahal keduanya memiliki semangat yang sama: perempuan harus dilindungi. Feminis dalam tulisan ini tidak spesifik merujuk terhadap salah satu turunan feminis, karena menurut saya semangat semua turunan tersebut sama-sama membela ketertindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat… Lagi-lagi ini hanya resepsi saya dengan proses belajar saya selama ini, oleh karena itu terimakasih penambahan dari Kakak, saya akan terus belajar lagi untuk memperbaiki pemahaman saya yang belum tepat. Salam Kak Aprianti :).

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals