KESUKARELAAN relawan demokrasi dan para tokoh bangsa yang berkorban pada masa kemerdekaan sampai reformasi dapat membuka pintu gerbang demokrasi di tanah air, sehingga kita bisa hidup di ruang-ruang kebebasan yang amat terbuka untuk menyerukan berbagai aspirasi kepada pemerintah. Semangat berdemokrasi di suatu titik merembet ke titik lain. Perlahan tapi pasti kita akan menuju pada titik demokrasi permusyawaratan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semangat berdemokrasi kita mesti diiringi dengan penuh idealisme dan dengan menepikan segala kepentingan diri sendiri maupun golongan tertentu. Sebab, perjalanan demokrasi kita akan menempuh jalan rumit dan berdarah bila kepentingan pribadi dan golongan diletakkan di atas kepentingan bangsa. Apapun yang terjadi republik harus tetap berdiri di atas pondasi demokrasi permusyawaratan yang merangkul semua kepentingan.
Mulai dari kepentingan akan keadilan sosial, kesejahteraan, perlindungan hukum, hingga kepentingan politik lainnya mesti diakomodir oleh pemerintah. Sebab hari-hari ini, rakyat sudah semakin kritis dan berani untuk membantah kebijakan pemerintah melalui jalur demonstrasi bila kepentingan mereka terabaikan.
Bila dianalogikan, demokrasi layaknya ibu yang melahirkan anak demonstrasi. Dalam perjalanan kehidupan segala keluh-kesah yang dilontarkan sang anak kepada ibu wajib didengar, dipertimbangkan, dan dipenuhi (bila baik) demi masa depan anak. Wajar proses berdemokrasi kita yang memberi ruang kebebasan pada rakyat untuk menggelar demonstrasi, berteriak di jalanan. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 adalah garansi bagi rakyat untuk memberi kritik-saran bagi pemerintah, itu artinya alam demokrasi kita mengizinkan aksi demonstrasi demi perbaikan negara ke depan.
Najwa (2016) menempatkan kalimat bagus bahwa “zaman sudah berubah, pemerintah tidak bisa lagi tuli, melainkan harus mau mendengar langsung keluh-kesah rakyat, apa pun keluhannya”. Dalam suatu agenda kenegaraan, Presiden Jokowi pernah berujar, “yang cerdas itu rakyat, pemerintah mesti memenej agar ide-ide mereka selalu muncul dan pemerintah adalah eksekutornya”.
Melalui demonstrasi, kritik sekaligus saran bisa keluar dari bibir rakyat, pemerintah patut mendengar, mempertimbangan, dan menjawab apa yang disuarakan oleh rakyat, karena kepada pemerintah segala amanah rakyat diserahkan. Dari kacamata penulis, penting bagi rakyat untuk melakukan demonstrasi, namun jauh lebih penting untuk menahan diri agar tidak mencaci, menebarkan fitnah, membakar simbol-simbol negara, merusak fasilitas umum apalagi melakukan makar.
Kisruh politik yang kental dengan kepentingan elit parpol tak boleh lagi mengorbankan kepentingan rakyat apalagi nyawa. Kalau ingin menjadi pemimpin, jadilah dari hasil demokrasi bukan dari hasil demonstrasi. Sebab rakyat telah mengorbankan nyawa hanya ingin menegakkan demokrasi. Contoh nyata demonstrasi pada bulan Mei 1998 saat rakyat menuntut reformasi maupun Mei 2019 saat pihak yang kalah memprotes hasil pemilu. Belum lagi, demonstrasi anarkis yang merembet dari satu daerah ke daerah lain dalam satu dekade terakhir.
Fenomena demonstrasi anarkis di tanah air seperti yang dilakukan oleh mahasiswa saat menuntut penuntasan skandal Bank Century di Makassar dengan merusak fasilitas publik di sekitar Jalan Sultan Alauddin pada Maret 2010. Demonstrasi dari kalangan sopir taksi konvensional yang menentang taksi online, Uber dan Grab Maret 2016 di Jakarta berlangsung anarkis. Para demonstran merusak beberapa taksi yang sempat melintas di area tersebut.
Penentang reklamasi Teluk Benoa, yang dimotori ForBali dan beberapa Desa Adat di depan Gedung DPRD Bali dan melanjutkan aksinya dengan membakar ban di jalan, beberapa lokasi di Denpasar, bahkan jantung pariwisata Bali pada Agustus 2016. Polres Mimika yang menetapkan 11 tersangka kasus demonstrasi anarkis eks karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya karena terlibat aksi perusakan, pembakaran fasilitas milik perusahaan di Check Point 28, Terminal Bus Gorong-gorong dan perkantoran PT Petrosea pada September 2017.
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menetapkan tiga orang tersangka terkait demo anarkis dan pembakaran pos polisi di dekat kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta saat melakukan demonstrasi pada peringatan hari buruh dengan juga membawa isu penolakan Bandara New Yogyakarta International Airport pada Mei 2018. Bahkan beberapa demonstrasi di tanah air dibaca oleh pemerintah sebagai tindakan makar.
Deretan fakta buruk demonstrasi anarkis di atas tentu sudah mencabik-cabik demokrasi kita. Jangan sampai kita biarkan berlarut-larut. Dibutuhkan kerasadaran kolektif untuk mengubah peluang demonstrasi menjadi keuntungan berdemokrasi. Memang, penjahat demonstrasi ada di mana-mana, tapi pejuang demokrasi tak pernah habis di tanah air kita. Negara telah memberi izin pada kita untuk berdemonstrasi, mari kita jaga, jangan sampai penjahat demokrasi memanfaatkan demonstrasi untuk mewujudkan kepentingan mereka dan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Hati-hatilah, sebab dalam pandangan Affandi (2013,) demokrasi yang salah arah akan menggerogoti semua sendi kehidupan, sehingga merapuhkan bangunan bangsa dan negara. Kalau tidak segera dibangun kesadaran kolektif untuk meluruskan demokrasi kita, niscaya kerusakan bangsa dan negara semakin parah. Ini PR bersama yang mesti kita tuntaskan, sekarang dan nanti.
Ingat pesan Bung Karno, “ketahuilah, tidak seorang pun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri”. Dibutuhkan peran segenap rakyat untuk perbaikan nasib dan masa depan demokrasi yang lebih baik.
0 Comments