Mengingat Kembali Kode Etik Dakwah dan Da’i

"..Lebih celaka lagi, masyarakat cenderung suka gaya ceramah yang menyalah-nyalahkan, karena yang demikian membuat mereka semakin merasa benar.."2 min


5
14 shares, 5 points

Rasanya saat ini tepat untuk mengingat kembali kode etik dakwah yang dahulu (tahun 1996) pernah di rumuskan dalam munas oleh organisasi dakwah Ittihadul Muballighin pimpinan KH. Syukron Ma’mun (saat ini beliau menjabat pimpinan Forum Ulama dan Habaib).

Isi munas tersebut terkait kode etik dakwah adalah (1) Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan (QS. Ash-Shaff : 2-3). (2) Tidak ada toleransi agama (QS. Al-Kafirun), yang ada adalah toleransi antar umat beragama. bahkan toleransi antar umat beragama  adalah ajaran syariat Islam untuk bermu’amalah sesama manusia. (3) Tidak mencerca sesembahan agama lain. (4) Tidak diskriminatif (miskin atau kaya, pejabat atau jelata). (5) Tidak memungut imbalan apalagi tawar menawar tarif. Adapun menerima hadiah sangat di bolehkan, selama tidak meminta.

Kode etik keenam adalah tidak mengawani atau menjadikan pelaku maksiat sebagai kawan dekat. Seperti saat seorang da’i diminta untuk menemani public figure mengisi sebuah acara yang bertentangan dengan tujuan dakwah itu sendiri. Da’i seperti ini tidak akan mampu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, akhirnya Allah swt melaknat mereka (QS. Al-Maidah : 78-79). Ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak di ketahui. Hal ini berdasarkan QS. Al-Isra ayat 36.

Melihat dinamika dakwah saat ini, ada hal-hal yang kiranya perlu kita koreksi bersama, sambil membandingkan dengan kode etik dakwah di atas. Pertama, bermunculannya da’i-da’i sintetik. Yaitu da’i yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama, hanya kebetulan seorang public figure, terkenal, kemudian “hijrah” dan seketika menjadi seorang da’i. Celakanya, “hijrah”nya belum teruji (istiqomah), sehingga beberapa waktu setelahnya ia tak laku lagi berdakwah, serta merta ia kembali pada profesi lamanya yang kontra produktif dengan dakwah.

Kedua, Munculnya da’i-da’i diskriminatif. Da’i seperti ini akan lebih banyak lagi muncul menjelang pemilu, pilkada dan sejenisnya. Jika ia berbicara tentang kelompoknya, maka kelompoknya seluruhnya baik tanpa cela (Maha Benar). Namun, saat ia membicarakan oposisi, seakan oposisi buruk seluruhnya tanpa setitik pun kebaikan.

Padahal jika kita lihat bagaimana Al-Qur’an berbicara khamr. Memang khamr itu diperintahkan untuk kita jauhi, hanya saja Allah swt pun menyatakan “di dalamnya ada manfaat bagi manusia, hanya saja dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. Begitulah keadilan Allah dalam menilai sesuatu. Maka seorang da’i yang menganggap kelompoknya paling benar dan kelompok lain pasti mutlak salah adalah da’i yang tidak adil serta diskriminatif.

Ketiga, da’i-da’i yang berbicara masalah yang tidak dikuasainya. Seorang sarjana atau akademisi hingga setingkat guru besar memiliki kualifikasi dan spesifikasi keilmuan. Seorang Professor Ilmu Bahasa Arab, meski tak diragukan memiliki pengetahuan tentang makna kalimat Al-Qur’an, tak serta merta memberikan izin Peofessor tersebut untuk menafsirkan Al-Qur’an, karena tafsir membutuhkan ilmu pendukung selain bahasa.

Yang terjadi saat ini, banyak da’i atau ustadz yang “Maha Tahu”, menjawab berbagai pertanyaan lintas disiplin ilmu tanpa diawali pemikiran, penelitian bahkan belum pernah membaca masalah yang di bahas. Hanya kebetulan terlintas di pikirannya, lalu ia menjawab, tanpa dasar ilmu.

Padahal semenjak dahulu sudah ada kategori ulama, seperti imam madzhab yang spesialisasi ilmu fiqh dan ushulnya, muhadditsin (ahli hadis), muarrikhin (sejarawan), mufassirin (ahli tafsir) dan sebagainya. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari seorang ensiklopedis (ensiklopedi berjalan), lautan ilmu yang dengan ilmunya ia mencapai derajat mujtahid mutlaq. Hanya saja dengan kerendahan hatinya ia tidak menggaung-gaungkan pemikiran fiqhnya, karena ta’dzimnya kepada Imam Asy-Syafi’i.

Saat ini kita menyaksikan banyak da’i “mengkel” (belum matang), tetapi berani menjatuhkan dan menghina pendapat ulama yang sudah disebut pakar. Lebih celaka lagi, masyarakat cenderung suka gaya ceramah yang menyalah-nyalahkan, karena yang demikian membuat mereka semakin merasa benar. Hal-hal inilah yang kiranya perlu diperhatikan, agar dakwah Islam menjadi lebih produktif dan progresif, dua sisi yang harus diperhatikan lagi, yaitu kuantitas da’i berbanding lurus dengan kualitas dakwah.

Terkait perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi, memang memudahkan para da’i untuk memperluas wilayah dakwahnya, lintas teritorial. Dengan teknologi, kapanpun dan dimanapun, siapapun bisa mengakses dakwah.

Maka, dengan berkembanganya tekhnologi, seorang da’i harus lebih berhati-hati dalam tabligh ad-dakwah, menghindari stupid mistake (kesalahan konyol) dalam berdakwah, seperti bacaan al-Qur’an yang tidak lancar, atau menulis dalil dari Al-Qur’an dan hadis secara serampangan. Materi yang disampaikan pun harus dipersiapkan dengan baik dan terkonsep, karena dakwah yang disampaikan akan terekam dalam jejak digital.


Like it? Share with your friends!

5
14 shares, 5 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
7
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
8
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Dr. Mukhrij Sidqy, MA.
Dr. Mukhrij Sidqy, MA. adalah doktor di bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di STIQ Baitul Qur'an, Kelapa Dua, Depok. Ia menjabat sebagai Ketua Ikatan Da'i Muda Indonesia Depok, Wakil Pengasuh PP. Al-Wutsqo Depok, dan Pembina Tahfidz LPTQ Al-Muhajirin BPI Depok.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals