Sekalipun masyarakat Indonesia secara umum menggunakan kalender Masehi sebagai kalender nasional, namun sebagian juga menggunakan kalender lain sebagai kalender “kedua”, salah satunya adalah kalender Hijriyah oleh umat muslim.
Bagi umat muslim di Indonesia, kalender Hijriyah berfungsi sebagai kalender penanda dan pengingat untuk menjalankan beberapa ibadah pada tanggal-tanggal istimewa yang ada dalam kalender tersebut. Meskipun demikian umat muslim di Indonesia tetap menggunakan kalender masehi untuk keperluan aktifitas sehari-hari.
Dalam kalender Hijriyah, ada salah satu bulan di mana masyarakat muslim di Indonesia sangat senang menyambut kedatangan bulan tersebut yakni bulan Muharram. Di bulan Muharram ini, banyak masyarakat muslim di Indonesia berusaha meningkatkan kualitas ibadahnya demi meraih keutamaan dari istimewanya bulan tersebut.
Dari penjelasan singkat di atas kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana sih sejarah mengenai bulan Muharram dan apa saja keistimewaan dari bulan tersebut sehingga membuat banyak masyarakat muslim di Indonesia dan di negara mayoritas muslim lainnya menyambut gembira kedatangan dari bulan tersebut?
Penulis akan mengulas jawaban mengenai beberapa pertanyaan di atas.
Sejarah Singkat Penetapan Muharram sebagai Bulan Pertama
Sebelum mengetahui keutamaan dan kemuliaan dari bulan Muharram, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui sejarah penetapan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah.
Para sahabat semuanya sepakat menjadikan tahun hijrahnya Rasulullah sebagai tahun pertama dalam kalender Islam.
Namun untuk bulan pertama dalam kalender Islam tidak persis merujuk pada bulan ketika Rasullullah hijrah, padahal Rasulullah hijrah pada bulan Shafar.
Lantas mengapa Muharram akhirnya dijadikan sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah?
Jawabnya karena pada bulan inilah niat dan tekad Rasulullah telah bulat untuk melakukan hijrah meskipun pada akhirnya baru terealisasi pada bulan Shafar karena adanya halangan berupa ancaman maut dari orang-orang Quraish dan koalisinya yang senantiasa mengintai beliau.
Adapun penetapan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah adalah dari hasil musyarawah dan kesepakatan para sahabat di era pemerintahan Umar bin Khattab yang mengusulkan penetapan kalender Islam.
Keistimewaan Bulan Muharram
Bulan Muharram termasuk dalam empat bulan haram dalam Islam. Apa maksudnya?
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗكَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٣٦
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (QS. At-Taubah [09]: 36
Bulan haram yang dimaksud pada ayat di atas adalah bulan yang disucikan dan dimuliakan bagi kaum muslimin. Adapun empat bulan haram yang dimaksud penjelasannya tertuang di dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Dari Abu Bakrah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil tsani dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari)
Pada keempat bulan ini Allah melarang kaum muslimin untuk berperang. Dalam penafsiran lain adalah larangan untuk berbuat maksiat dan dosa. Namun bukan berarti berbuat maksiat dan dosa boleh dilakukan pada bulan-bulan yang lain.
Nama Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Maka kembali pada permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, hal tersebut bermakna pengharaman perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah memiliki tekanan khusus untuk dihindari pada bulan ini.
Apabila seseorang berbuat dosa di bulan suci yang salah satunya bulan Muharram, maka dosanya akan dihitung lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lain. Hal ini menjadi istimewa supaya umat muslim semakin takut untuk berbuat dosa karena dengan adanya ancaman berupa dosa yang besar dapat membuat seorang muslim menghindari perbuatan dosa dan menyelamatkannya dari pada azab Allah.
Baca Juga: Meletakkan Pedang dan Perisai di Bulan Muharram |
Maka begitu pun sebaliknya apabila seorang muslim beramal kebajikan di bulan suci Muharram, maka pahala dan ganjaran kebaikan akan diperoleh dengan berlipat ganda.
Salah satu amalan untuk memperoleh keutamaan di bulan Muharram adalah dengan berpuasa sunnah. Setidaknya ada beberapa bentuk puasa sunnah dalam bulan muharram ini yakni sebagai berikut:
Puasa-Puasa Sunnah di Bulan Muharram
Salah satu amalan sunnah yang sangat dianjurkan di bulan Muharram adalah berpuasa.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas menjadi penguat bahwasanya bulan Muharram merupakan bulan yang utama, sebab Rasulullah menggandengkan puasa di bulan Ramadhan dengan puasa di bulan Muharram. Selain bulan Ramadhan disebut sebagai Syahruramadhan, bulan Muharram juga dinamakan sebagai bulan Syahrullah (bulan Allah), itu menunjukkan betapa agung dan mulianya bulan ini.
Di bulan Muharram ini terdapat sebuah hari yang dikenal dengan istilah Yaumul Tasu’ah dan Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sembilan dan sepuluh bulan Muharram. Tasu’ah sendiri berasal dari kata tis’ah yang berarti sembilan, sedangkan Asyuro berasal dari kata Asyarah yang berarti sepuluh.
Pada hari Tasu’ah dan Asyuro, terdapat sebuah sunah yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Tasu’ah dan Asyuro. Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut, diantaranya :
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qotadah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku berharap kepada Allah bahwa puasa pada hari ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun cara untuk berpuasa pada bulan Muharram setidaknya terbagi menjadi tiga yakni:
1. Berpuasa pada hari Tasu’ah (sembilan) dan Asyuro (sepuluh)
عَنْعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. (HR. Muslim)
Dalil di atas menunjukkan bahwasanya Rasulullah ingin melaksanakan puasa Tasu’ah (puasa pada hari kesembilan) akan tetapi Rasulullah terlebih dahulu wafat sehingga tidak sempat melaksanakan puasa pada hari kesembilan.
Puasa pada hari Tasu’ah bertujuan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa dan mengagunggkan hari Asyuro saja.
Baca Juga: Puasa Asyuro: Elastisitas Islam terhadap Tradisi Terdahulu |
2. Berpuasa hanya pada hari Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qotadah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku berharap kepada Allah bahwa puasa pada hari ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan hadis ini, terdapat kesimpulan bahwa hari yang paling utama adalah hari ‘Asyura karena terdapat penyebutan khusus pada hari tersebut yakni “puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu”.
Namun jika dilihat dari beberapa hadis nabi, disebutkan bahwa puasa ‘Asyura dahulunya merupakan hari puasanya orang-orang Yahudi dan orang-orang Quraish di masa jahiliyah yang bergembira karena hari tersebut merupakan hari di mana Nabi Musa diselamatkan oleh Allah dari kejaran para tentaranya Fir’aun.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu, ia berkata; hari ‘Asyura adalah hari yang sangat diangungkan oleh kaum Yahudi bahkan mereka menjadikannya sebagai hari raya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari itu.” (HR. Muslim)
Di hadis lain juga disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ هُوَ الْفَرِيضَةُ وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Dari Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata; “Dahulu hari ‘Asyura adalah hari berpuasanya orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan puasa pada masa jahiliyah, kemudian tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah beliau berpuasa pada hari tersebut dan beliau memerintahkan untuk berpuasa. Kemudian tatkala diwajibkan puasa pada Bulan Ramadhan maka puasa itulah yang diwajibkan dan puasa hari ‘Asyura di tinggalkan. Barangsiapa yang berkeinginan (berpuasa) maka ia (boleh) berpuasa, dan barangsiapa berkeinginan (tidak berpuasa) maka ia (boleh) meninggalkannya. (HR. Abu Dawud)
3. Berpuasa pada hari Tasu’ah, Asyuro, dan sebelas Muharram
عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Puasalah pada hari Asyura’ dan berbedalah dengan orang Yahudi. Berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”. (HR. Ahmad)
Hadits di atas diperselisihkan status kesahihannya oleh para ulama. Bahkan ada beberapa yang mendhaifkan hadis tersebut seperti syaikh Al-Albani, Al-Mubarafkfury, dll. Adapun yang menghasankan hadits ini adalah syaikh Ahmad Syakir.
Apabila kita anggap hadits tersebut dhaif, bukan berarti tidak boleh puasa pada tanggal 11 Muharram. Puasa 11 Muharram diperbolehkan dengan alasan untuk menyelisihi umat Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyuro dan alasan lain yakni puasa di bulan Muharram secara umum tergolong sah dan tetap mendapatkan keutamaan pahala berlipat.
Tiga cara berpuasa di atas dianggap sah seperti; berpuasa hanya pada hari ‘Asyura saja tetap sah dan mendapat keutamaan dihapusnya dosa setahun yang lalu, puasa hari Tasu’ah dan ‘Asyura juga sah bahkan ini lebih afdhol (utama) karena sesuai dengan perintah Rasulullah untuk menyelisihi puasanya kaum Yahudi, dan puasa tiga hari berturut-turu dari tanggal sembilan Hijriyah sampai sebelas tetap dianggap sah dan ini setidaknya lebih baik dari yang hanya puasa ‘Asyura saja.
Demikian sedikit pembahasan mengenai bulan Muharram dan keutamaan-keutamaan yang ada pada bulan tersebut. Semoga kita bisa mengawali awal tahun baru Hijriyah dengan ketaatan yang maksimal.
Amat sangat rugi kiranya apabila kita melewatkan kesempatan meraih keutamaan yang Allah berikan di bulan Muharram ini. Untuk itu, marilah kita perbanyak ibadah di bulan ini, terkhusus lagi untuk berpuasa sunnah di bulan Muharram yang mulia ini.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment