Harap Maklum, Ustadz Adi dan Abdul Somad tak Seperti Kyai Sahal Mahfudz

"..Harap dimaklumi, subyek dakwah mereka adalah generasi muda yang gila kuota internet dan generasi tua yang tidak sempat bisa bertatap muka langsung.."2 min


9
45 shares, 9 points
sumber: islamedia.id

Menyimak channel TVMu (8 Juli 2018), sedang tayang pengajian Ustadz Adi hidayat. Pengajian ini berlangsung di auditorium KH. Ahmad dahlan, Menteng, Jakarta. “Sewaktu ada bom thamrin, saya di Lampung. Ditanya jamaah, apakah itu jihad?“. Langsung beliau jawab, “Jihad itu di jalan Allah, bukan di jalan Tamrin“. Peserta pengajian tertawa mendengar jawabannya. Nasehat yang tak kalah penting adalah, “Ketika anda punya KTA Muhammadiyah, buktikan anda berkomitmen menjunjung tinggi sifat-sifat yang terlekat pada Rasulullah saw“. Begitu nasehat muballigh jebolan Pascasarjana UIN Sunan Gunung jati, Bandung.

Wawasan muballigh yang tak masuk daftar 200 ulama rekomendasi Kemenag ini bukan cuma tarikh (sejarah), ulumul Quran dan ulumul hadis, beliau juga paham perkembangan dunia Sepak bola. Walau mengaku tidak pernah menonton langsung pertandingan piala Dunia. Barangkali cukup menonton siaran ulang jumlah gol yang diraih kedua tim yang berlaga.

Di berbagai pengajiannya, pendiri Quantum Akhyar Institute ini mampu menyebutkan judul kitab, letak halaman beserta posisi paragrafnya. Bukan pamer, tapi menunjukkan ke hati-hatian. Beralih ke Ustadz Abdul Somad Batubara. Ustadz berkultur NU ini memiliki penguasaan terhadap kitab turats. Setiap sesi tanya jawab, disisipi dengan pengalaman pribadi dan unsur humor. Mengapa pengajiannya disukai banyak orang? “Karena ustadz Somad tidak hanya menempatkan khalayak pada posisi penting dalam pembicaraan, tapi juga memenuhi tiga teori penting dalam public speaking, yakni ethos, pathos, dan logos.” Tulis Puji rianto, Dosen UII Yogyakarta di laman Pikiran rakyat.

Ketika ditanya tentang masalah berpacaran, dia membagi pengalamannya sewaktu menjadi mahasiswa di Mesir. Di sini, dia sedang membangun kredibilitasnya (ethos) sebagai orang yang layak berbicara mengenai “hukum” pacaran, tapi sekaligus membangun kedekatan dan simpati melalui topik yang diangkat (pathos). Sementara logos, dibangun melalui suatu argumen bahwa pendidikan jauh lebih penting sehingga inilah yang mestinya diurus karena hal itu akan membuka rezeki. Dengan menggunakan pendekatan seperti ini, ceramahnya bisa diterima dan disukai oleh jemaahnya.

Jarang ada muballigh muda yang konten pengajiannya berbasis literatur yang kuat dan sesekali disisipi humor. Rata-rata muballigh masa kini gaya ceramahnya monoton, disusupi unsur “Ashabiyah” (baca: merasa paling nyunnah!) dan banyak melucu. Saking lucunya, seorang muballigh tak ubahnya seorang komedian.

Konten pengajian ustadz Adi Hidayat, ustadz Abdul Somad maupun muballigh muda lainnya yang sedang populer tidak menghadirkan teori-teori pemikiran Islam yang baru. Maksud saya beliau berdua tak seperti KH. Sahal Mahfudz yang dikenang sebagai ulama penggagas “Fikih sosial”, “Objektifikasi islam” Dr. Kuntowijoyo, “teori receptie exit” Prof. Hazairin, dan konsep “Islamisasi ilmu pengetahuan” Prof. Syed Naquib al-Attas. Harap dimaklumi, subyek dakwah mereka adalah generasi muda yang gila kuota internet dan generasi tua yang tidak sempat bisa bertatap muka langsung. Jadi, buat apa bicara teori-teori keren dan ilmiah dihadapan subyek dakwah tadi?

Satu hal yang perlu ditekankan di sini, siapa pun tidak perlu memandang sinis terhadap dakwah mereka, apalagi main bubar membubarkan pengajian beliau berdua. “Ustadz apa itu… isi pengajiannya dangkal“. Jika sampai punya pikiran seperti itu, apa bedanya kita dengan iblis yang memandang sinis akan keberadaan Adam AS. Sekali lagi perlu ditegaskan, mengajilah dimana pun dan kapan pun asalkan muballighnya benar-benar punya kualifikasi akademis dan isinya tidak mengajarkan paham takfiri. Wallahu’allam.

 


Like it? Share with your friends!

9
45 shares, 9 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
5
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
1
Tidak Suka
Suka Suka
13
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
8
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Fadh Ahmad Arifan
Fadh Ahmad Arifan adalah Pria berdarah Madura yang lahir di Kampung Kotalama. Tahun 2013-2015 menjadi Dosen tetap di STAI Al-Yasini, Pasuruan. Sehari-harinya mengajar, jalan-jalan ke kota Batu dan menulis di sejumlah situs Islam.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals