Metode Keteladanan Menurut Perspektif Abdullah Nashih Ulwan

Metode yang digunakan dalam rangka membentuk akhlak anak dengan cara pendidik/orangtua memberikan suri tauladan yang baik pada anak.7 min


Abdullah-Nashih-Ulwan
Foto Abdullah Nashih Ulwan (kiblat.net)

Manusia lahir ibarat kertas putih polos, kosong dan bersih tanpa coretan apapun. Keadaan ini membuat manusia siap dikonstruksi oleh lingkungannya. Lingkungan menjadi acuan utama seorang manusia untuk mengembangkan diri dan membentuk kepribadiannya. Lingkungan pertamanya adalah keluarga.

Orang tua menjadi sumber utama bagi anak untuk mendapatkan keteladanan. Merekalah yang pertama kali menanamkan nilai-nilai pada sang anak. Apabila orang tua  menginginkan sang anak tumbuh dalam kasih sayang, kejujuran, amanah dan menjauhi dari perbuatan yang tidak diridai agama maka hendaknya mereka memberikan teladan yang baik dari diri mereka sendiri.

Anak adalah peserta didik dalam keluarga, sehingga orang tua  harus mampu menampilkan pola perilaku yang positif dalam proses interaksinya. Proses tersebut penting untuk menstimulasi anak, terutama dalam etika berbicara, bertingkah laku dan sebagainya. Anak akan meniru dan mendemonstrasikan apa yang ia lihat.

Islam sendiri memandang orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab untuk menghantarkan anak-anaknya kepada kehidupan yang baik, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Kehidupan yang baik adalah ketika anak mampu memahami ajaran agama dengan benar.

Pemahaman agama yang tepat menimbulkan perilaku terpuji dan jauh dari perbuatan-perbuatan tercela. Maka, orangtua  harus menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar dimulai dari kehidupan interaksional dalam keluarga. Apabila orang tua  tidak melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, maka anak tidak akan memiliki arah hidup yang baik pula.

Baca juga : Teori Bawaan dalam Pendidikan Islam

Namun, sering kali muncul tindakan anak yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Apabila kita telusuri, penyebabnya tidak hanya muncul dari lingkungan keluarga,tetapi juga lingkungan sekolah dan masyarakat.

Lingkungan masyarakat dengan pola interaksi yang kurang membina generasi muda, menimbulkan anak akan mudah goyah dengan dinamika-dinamika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan lingkungan sekolah akan menjadi masalah apabila internalisasi nilai dan karakter sangat minim dilakukan oleh tenaga pendidik terhadap peserta didiknya.

Tidak sedikit pendidik berperan hanya sebagai pentrasfer ilmu, sedangkan perannya sebagai penanam nilai- nilai akhlak atau kharakter terabaikan. Keringnya spritualitas dalam pembelajaran pendidik dan peserta didik juga menjadi sebab munculnya generasi bangsa yang memiliki intelektual tinggi namun mengalami kekeringan jiwa.

Itu pun kalau tinggi, kalau tidak, bagaimana? Minimnya pembinaan karakter dalam dua lingkungan ini akan menimbulkan banyak efek negatif terhadap karakter anak nantinya.

Lingkungan sekolah menjadi faktor penting pembentukan karakter anak setelah keluarga. Hal ini disebabkan realitas anak yang menghabiskan banyak waktu setelah di sekolah setelah di rumah. Sebagai institusi pendidikan, sekolah sudah seharusnya dirancang sedemikian rupa untuk menumbuhkan karakter anak. Elemen penting sekolah dalam mewujudkan hal itu adalah tenaga pendidik; guru.

Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional juga dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian diri yang berakhlak mulia, yang selalu memegang teguh iman kepada Allah Swt. Dengan demikian, secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas. Tidak hanya berkualitas dalam aspek skill, kognitif dan afektif, tetapi juga aspek spiritual.

Baca juga : Al-Qur’an Sebagai Basis Pengembangan Karakter

Tenaga pendidik harus menyadari bahwa di samping mengajar dan membimbing anak didik untuk membentuk kepribadiannya melalui nasihat dan materi pembelajaran, ia juga harus memberi pendidikan yang memengaruhi jiwanya melalui keteladanan.

Kepribadian, sikap dan perilaku pendidik akan memberikan kesan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anak didiknya. Dalam hal ini peran guru sebagai pendidik sangat diutamakan, melalui keteladanan guru dengan cara memberi contoh-contoh konkret kepada peserta didiknya.

Persoalan akhir-akhir ini yang menunjukkan gagalnya peran orang tua dan guru sebagai tenaga pendidik yang menjadi sosok teladan peserta didiknya menjadi titik fokus tulisan ini diangkat. Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengetengahkan konsep keteladanan Abdullah Nashih Ulwan.

Abdullah Nashih Ulwan adalah seorang ulama, faqih, dai dan pendidik. Ia dilahirkan di Desa Qhadi ‘Askar di kota Halab, Suriah pada tahun 1347 H/ 1928 M, di sebuah keluarga yang taat beragama, yang sudah terkenal dengan ketakwaan dan kesalehannya. Nasabnya sampai kepada Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib r.a.

Beliau adalah salah satu putera Syaikh Ulwan, sesepuh agama di kota Halab. Seorang yang dikenal masyarakat sebagai seorang ulama dan tabib yang disegani. Selain menyampaikan risalah Islam di seluruh pelosok kota Halab, beliau juga menjadi tumpuan untuk mengobati berbagai penyakit dengan ramuan akar kayu yang dibuat sendiri.

Ketika  merawat orang sakit, lidahnya senantiasa membaca al Quran dan menyebut nama Allah. Di sisi lain, Syeikh Said Ulwan pun selalu berdoa agar anaknya dijadikan seorang alim yang bijaksana. Allah memperkenankan doa beliau dengan lahirnya Abdullah Nashih Ulwan sebagai ulama murabbi yang memberi pendidikan rohani dan jasmani yang disegani pada abad ini.

Nashih Ulwan menyelesaikan studinya di sekolah lanjutan tingkat atas jurusan Ilmu Syariah dan Pengetahuan Alam di Halab pada tahun 1949, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar Mesir, tepatnya di Fakultas Ushuluddin yang ia selesaikan pada tahun 1952. Disana ia bertemu dari guru-guru besar seperti Syaikh Raghib Ath-Thabbakh, Ahmad Asy-syama’ dan Ahmad ‘Izzuddin Al-Bayanuni. Disana ia juga bertemu dengan Dr. Musthafa As-Sibai.

Ia mendapatkan ijazah sekolah menengah atas syariah pada tahun 1949 M. Ia meneruskan studinya di Universitas Al-Azhar Asy-Syarif dan menyelesaikan S1-nya di Fakultas Ushuluddin. Pada tahun 1954 M, ia pun menyelesaikan S2-nya. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Halab dan bekerja sebagai pengajar materi pendidikan Islam di sekolah menengah atas disana. Namun tidak berapa lama kemudian ia pergi ke Yordania dan tinggal disana.

Sebagai seorang pendidik, Abdullah Nashih Ulwan mengartikan keteladanan sebagai metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam membentuk aspek moral, spritual dan etos sosial peserta didiknya. Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam yang tindak tanduk dan akhlaknya disadari atau tidak akan ditiru oleh anak didik mereka.

Dari definisi Nashih Ulwan itu dapat diketahui bahwa metode keteladanan merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modelling). Dalam pendidikan Islam sendiri, metode keteladanan diartikan sebagai bentuk perilaku individu yang bertanggung jawab dan bertumpu pada praktik secara langsung.

Metode praktik secara langsung akan memberikan hasil yang efektif dan maksimal. Menurutnya, metode pendidikan dengan keteladanan lebih tepat digunakan untuk mendidik anak dalam aspek tanggung jawab pendidikan akhlak, pendidikan kejiwaan dan pendidik sosial anak.

Dalam Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam-nya, Abdullah Nashih Ulwanmengklasifikasi pendidikan keteladanan (uswah hasanah) menjadi :

1. Keteladanan dalam Ibadah

Abdullah Nashih Ulwan memberi gambaran bahwa sesuatu yang berkaitan dengan ibadah haruslah merujuk kedalam diri Rasulullah saw, manusia yang paling agung dan taat beribadah kepada Allah Swt. Ia yang mendapatkan bimbingan langsung dan nur ilahi yang selalu mengitari kehidupannya itu tergambarkan dalam pribadi Rasulullah saw.

Dalam hal ini tergambarkan khusyukdan mulianya Rasulullah SAW dalam hal beribadah. Hal tersebut dapat kita lihat melalui hadis Rasulullah saw, diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah saw melakukan salat malam sampai kaki beliau bengkak. Ketika dikatakan kepada beliau: “ Bukankah Allah telah mengampunimu apa yang telah lalu dan akan datang?’’ beliau menjawab: “Apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).

Demikikianlah, hati Rasulullah saw yang selalu terpaut dengan Allah. Dengan penuh kerinduan, beliau beribadah dan bermunajat, bangun malam untuk salat tahajud dan sebagian siangnya beliau pergunakan untuk terus mendekatkan diri. Rasulullah mendapatkan ketenangan dalam ibadahnya. Bahkan beliau melarang para sahabatnya untuk menirunya jika di luar batas kemampuan mereka.

Suatu pengalaman kegiatan ibadah yang tidak mudah terlupakan oleh anak, yakni suasana pada bulan Ramadhan. Ketika ikut berpuasa dengan orang tuanya walaupun ia belum kuat melaksanakannya seharian penuh.

Kegembiraan yang dirasakan kepada mereka saat mereka berbuka bersama ibu-bapak dan seluruh anggota keluarga, kemudian bergegas salat maghrib, setelah itu pergi ke masjid atau mushala bersama temantemannyaUntuk melaksanakan salat Tarawih.

Pemberian contoh teladan yang baik (uswah hasanah) dalam beribadah terhadap anak didik, terutama anak yang belum mampu berpikir kritis akan banyak mempengaruhi pola tingkah laku mereka dalam dalam prilaku sehari-hari atau dalam mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan yang sulit. Orang tua sebagai pembawa dan pengamal nilai-nilai agama akan mempunyai daya guna mendidik anak bila menerapkan metode keteladanan.

Pendidikan keteladanan beribadah hendaknya ditanamkan dan dibiasakan semenjak ia kecil oleh Orangtua . Karena kebiasaan-kebiasaan baik dalam prilaku mereka yang ditanamkan semenjak kecil akan membentuk kepribadian mereka di masa depannya.

2. Keteladanan dalam Zuhud    

Seorang guru menduduki tempat yang tinggi dan suci, maka ia harus tahu kewajibannya sebagai guru. Ia haruslah seorang yang benar-benar zuhud. Ia mengajar dengan tujuan mencari keridhaan Allah, bukan karena mencari upah, gaji, atau suatu uang balas jasa. Artinya, dengan mengajar ia tidak menghendaki selain keridhaan Allah dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Dengan memahami larangan gaji bagi pendidik dalam pemikiran Al-Ghazali bisa jadi merupakan salah satu upaya untuk menghambat sifat matrealistik pada waktu itu.

Namun pemikiran tersebut tidak dapat digunakan lagi dalam pengelolaan pendidikan sekarang. Karena seorang alim atau sarjana betapa pun zuhud dan sederhana hidupnya, tetap saja memerlukan uang dan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Nashih Ulwan, tujuan zuhud Nabi adalah mendidik generasi muslim tentang hidup sederhana dengan cara menerima dan mencukupkan kebutuhan agar tidak terbujuk dengan gemerlapnya dunia sehingga melupakan kewajiban dakwah Islam dan tidak terperdaya oleh dunia sebagaimana yang terjadi pada orang-orang sebelumnya.

Selain itu, Nabi juga ingin memberikan pemahaman kepada orang-orang munafik dan para musuh-musuhnya bahwa apa yang dilakukan oleh orang Islam dalam dakwahnya bukan untuk mengumpulkan harta benda, kenikmatan dan hiasan dunia, melainkan tujuannya hanyalah mencari pahala dari Allah Swt.

3. Keteladanan dalam kerendahan hati

Abdullah Nashih Ulwan memandang uswahhasanah (keteladanan) kerendahan hati bermuara pada keperibadian Rasulullah saw yang memberikan keniscayaan pada umat dan pengikutnya. Bahkan Rasulullah SAW tetap memnampilkan kerendahan hatinya bagi kaum lainnya.

Teladan kerendahan hati beliau adalah selalu mengucapakan salam kepada sahabatnya, memperhatikan secara serius topik pembicaraan mereka. Jika beliau bersalaman, ia tidak akan menarik tangnya sebelum orang disalaminya melepaskan. Beliau selalu menghadiri pertemuan para sahabatnya hingga usai. Beliau juga pergi kepasar, membawa barang-barangnya sendiri dan berkata: “Aku adalah yang paling berhak untuk membawanya”.

Dari keterangan di atas, dapat kita pahami bahwa kerendahan hati merupakan faktor yang dapat memberikan kenyamanan antara satu dengan yang lain. Terjalin erat silturahmi antara satu dengan yang lain tanpa ada perpecahan yang dapat meregangkan persaudaran. Itu yang terihat secara gamblang pada kepribadian Rasulullah saw.

Alangkah indahnya orang tua dan guru yang memberikan keteladanan kerendahan hati pada anak sehingga anak dapat mempraktekkan dan mencontohkan pada yang lain. Dengan sikap tawadhu tersebut seorang guru akan menghargai muridya sebagai mahluk yang mempunyai potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar.

Pada perkembangannya, sikap tawaduk tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, di mana seluruh siswa terlibat di dalamnya.

4. Keteladanan dalam berakhlak

Salah satu diantara pentingnya uswah hasanah yang di miliki oleh orang tua dan pendidik ialah keteladanan dalam berakhlak , Abdullah Nashih Ulwan menekankan begitu amat pentingnya akhlak ditanamkan pada diri anak sehingga tidak mudah melanggar hukum-hukum Allah. Di antar dasar-dasar pendidikan akhlak yang wajib bagi para pendidik untuk memperhatikannya, menjaga, dan menumbuh kembangkan anak dengan jalan merealisasikan dan komitmen terhadapnya.

Sebagai orang tua dan pendidik sudah berkewajiban untuk menanamkan akhlak yang baik bagi anak, dengan cara atau pendekatan yang mudah di terima dan dapat direalisasikan di dalam kehidupan anak tersebut. Anak yang berakhlak baik jika orang tua dan pendidik mampu memberikan keteledanan dalam berakhlak dengan baik pula, begitu pula dengan sebaliknya.

Jika anak rusak akhlaknya maka peran orang tua dan pendidik yang kurang memberikan keteladanan berakhlak yang baik. Sungguh miris jika anak berakhlak buruk yang dapat menjerumuskan anak pada hal-hal yang dilarang oleh agama, lantas siapakah lagi yang menanamkan akhlak sedini mungkin pada anak selain orang tua dan pendidik?

Seorang guru wajib memiliki kepribadian ilmiah yang tinggi dan baik akhlaknya, karena anak memiliki dorongan ingin tahu dan meniru.Maka, seorang guru hendaknya menggunakan insting dalam mendidik anak dan membiasakan mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Seorang guru wajib memberikan contoh perbuatan yang baik dalam segala hal baik dari segi ilmunya, cara memanifestasikan pikirannya, dan cara bergaul yang baik serta tauladan yang baik.

Keteladanan guru dalam berperilaku atau berbudi pekerti yang baik sangatlah diperlukan dalam membentuk jiwa anak didiknya. Dengan berakhlak karimah maka seorang guru akan menempatkan dirinya pada derajat yang tinggi di sisi Allah SWT dan di hadapan sesamanya. [SW]

_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Wahyu Hidayat

Master

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Interdisciplinary Islamic Studies

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals