Laju pertumbuhan teknologi yang mewujud dalam bentuk media sosial (medsos) sedikit banyaknya telah merubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Dengan logika sosial media yang sudah menghilangkan batas-batas wilayah antara yang privat dan publik, semua hal seolah menjadi kabur apalagi ketika cara pandang kita diperhadapkan dalam melihat suatu masalah yang lagi hits, masalah politik misalnya.
Pada posisi seperti itu seringkali kita sudah tidak lagi mengenali sikap kita dalam berkomunikasi, entah lagi terbawa emosi atau tidak. Sikap kita dalam menanggapi sesuatu terkadang dengan bahasa yang kurang pantas didengar.
Tak ayal, dalam banyak berita media online, para pembaca akan menemukan kata-kata yang penuh cacian dan umpatan seperti, bodoh, goblok, tolol dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih parah lagi. Pada satu momen kita tidak mampu menempatkan suatu bahasa kepada konteksnya, apalagi bahasa itu menjurus pada kekerasan.
Baca juga: Gak Ada Akhlak? |
Tidak usah jauh-jauh, kita ambil saja contohnya pada pertandingan sepak bola. Agaknya sering sekali kita dan bahkan sudah biasa mendengar bahasa-bahasa para komentator yang menuju pada kekerasan seperti bahasa perang, misalnya istilah jenderal lapangan, benteng pertahanan, tembakan langsung, membombardir gawang lawan, dan lain sebagainya.
Dari kenyataan di atas, kemudian timbul pertanyaan bukankah ini ajang olahraga? Kenapa ajang olahgara bisa diandaikan sedang berada di medan perang dengan menganggap lawan sebagai musuh yang harus dihabisi seperti perang, bukan sebagai mitra yang fair sebagaimana lazimnya watak olahraga, yakni persahabatan?
Dari sini kemudian saya bertanya-tanya mengapa kehidupan manusia tampaknya tidak dapat dipisahkan dari kekerasan? Melihat begitu lekatnya sejarah manusia pada kekerasan.
Terkadang untuk menjawab itu, kita secara tidak langsung tergoda pada kesimpulan memang demikianlah “dari sananya” manusia itu senang berbuat dan berbahasa menggunakan bahasa kekerasan.
Tapi dalam sejarahnya ternyata pernyataan ini tidak hadir dari ruang yang kosong. Sejarah membuktikan tidak sedikit yang menganut pendirian seperti ini; seperti pendapat Konrad Lorenz yang berpendapat bahwa kekerasan dan agresi itu bermanfaat bagi kelangsungan hidup hewan, termasuk manusia.
Sesuai dengan gagasan tentang survival of the fittest, dikatakan bahwa hewan yang agresif-lah yang dapat bertahan hidup dan melahirkan keturunan sedangkan yang kurang agresif tersingkir (Mulkan, 2002).
Jika kita mengamini pendapat Konrad Lorenz bahwa penggunaan bahasa kekerasan sebagai bentuk sikap agresifitas seorang manusia dalam berkomentar untuk menunjukkan eksistensinya. Maka ini secara tidak langsung berbenturan dengan moralitas bangsa kita yang menjunjung tinggi sopan santun.
Sebagai bangsa yang berbudaya, budaya atau kebudayaan disini mengikuti dari sebuah arti yang sebelumnya saya tulis dalam artikel Pondok Pesantren Kaliopak: Sebagai Poros Kebudayaan Nusantara, bahwa budaya adalah menyatunya pikiran sehat dan jiwa yang bersih dengan tujuan mendidik manusia.
Maka secara tidak langsung berbahasa dengan baik berarti mendidik pikiran dan jiwa menjadi sehat.
Apalagi sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam, al-Quran sendiri diturunkan kepada manusia karena memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Oleh karena itu, al-Qur’an memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia.
Dalam hal komunikasi, ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya. sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut; “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Qs-Lukman ayat 19).
Oleh karena itu, dengan berbahasa yang santun, yakni berbahasa yang tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempatnya melakukan komunikasi dengan memperhatikan unsur-unsur budaya atau menyatunya pikiran dan jiwa bersih yang ada dalam masyarakat.
Baca juga: Nasihat Sri Mangkunegara IV Tentang Sopan Santun |
Maka akan tercipta sebuah keharmonisan, saling menghormati antara penutur dan pendengar. Maka tidak heran jika timbul sebuah pribahasa “mulutmu harimaumu”, peribahasa ini tentu bukan lahir dari ruang kosong hampa makna.
Mengingat akhir-akhir ini sebagian dari masyarakat kita, tidak mampu mengontrol dirinya dalam berbahasa tatkala hal itu berbenturan dengan kepentingan kita, seperti belum lama ini seorang ibu dengan mudahnya berkata kasar saat mencoba dinasehati oleh seseorang petugas saat terjadinya pelarangan untuk melakukan wisata dengan menyuruhnya memutar balik.
Dari konteks demikian, maka peribahasa itu seakan menjadi sebuah peringatan akan dahsyatnya sebuah kata-kata ketika dipakai pada hal-hal yang bukan pada konteksnya atau kekerasan jauh lebih melukai dibanding tajamnya pedang.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
0 Comments