Pendidikan Islam dan kebudayaan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diharapkan mampu menghasilkan generasi yang mempunyai karakter dan identitas yang kokoh untuk menerima tongkat kesinambungan kepemimpinan bangsa.
Namun sayangnya, di tengah kehidupan yang semakin modern banyak pihak melihat bahwa karakter yang demikian sudah sangat sulit ditemukan pada generasi muda hari ini. Banyak di antara mereka terbawa arus yang begitu kuat dari dampak modernisasi, salah satunya adalah kehilangan identitas jati dirinya sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai keluhuran seperti, spiritualitas, gotong-royong, toleransi, sopan santun, dan kekeluargaan.
Keadaan demikian pun telah menyentak kesadaran para pendidik untuk mengembangkan pendidikan karakter yang berbasis kebudayaan. Salah satu lembaga pendidikan yang mencoba menjaga karakter generasi muda hari ini untuk menemukan identitas sejati dirinya dan merupakan bagian dari subkultur masyarakat Indonesia adalah Pondok Pesantren Kaliopak.
Berbeda dengan kebanyakan pesantren yang ada, pesantren Kaliopak mengindentifikasi dirinya sebagai pesantren kebudayaan. Seperti yang tertera pada profil Pesantren Kaliopak, pesantren ini menawarkan berbagai program yang di dalamnya mencoba menyemai nilai-nilai luhur pesantren dan gagasan kebangsaan.
Dalam proses pembelajarannya, Pondok Pesantren Kaliopak mencoba mengakualisasikan kerja-kerja intelektual, kebudayaan, dan kesenian dalam menghadapi dinamisnya zaman.
Pesantren yang diasuh oleh Kiai Muhammad Jadul Maula dan berdiri sejak tahun 2004 di desa Klenggotan, Jalan Wonosari KM 11, Bantul, Yogyakarta. Dalam melakukan kerja-kerja pembelajarannya bukan tanpa alasan mengambil jalur kebudayaan.
Jika kita berefleksi sejenak mengenai kehidupan generasi hari ini, maka kita bisa menemukan alasan Pesantren Kaliopak mengukuhkan dirinya sebagai pondok kebudayaan. Gencarnya arus globalisasi yang dimaknai semakin tergantungnya antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dengan diikuti hadirnya kecanggihan teknologi di dalamnya yang menerpa generasi muda hari ini, telah membuat lahirnya peradaban yang mengarah pada kehidupan dunia yang kebarat-baratan.
Lahirnya modernisasi di dalam masyarakat kita, meski tidak selamanya modernisasi itu buruk sejauh itu bermanfaat bagi kehidupan. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika modernisasi itu telah merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, hingga tercipta jiwa-jiwa yang konsumtif, hedonis, dan individualis.
Berbagai macam fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini seperti sekumpulan eksekutif muda dengan parfum mahal di perkotaan tiap malam berdiskusi di sudut ruang kota bergaya Amerika, segerombolan anak muda berambut model punk dengan segala pernak-perniknya berkumpul di bawah jembatan layang.
Anak-anak gadis yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan umum, para wanita-wanita yang meski dia berhijab namun masih mengumbar aurat, anak muda yang lebih gandrung pada idola-idola luar negeri begitu “gilanya”, lunturnya nilai-nilai spiritual, anak-anak muda yang terjebak menjadi teroris, penggunaan narkotika serta bergaya hidup glamour.
fenomena di atas mencerminkan adanya duplikasi budaya masyarakat Barat yang telah mencerabut identitas kesejatian diri generasi muda hari ini. Budaya kelokalan Indonesia yang telah eksis sebelumnya, dan menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia yang selama ini dibangun oleh para pendahulu seperti spiritualitas misalnya, kini posisinya digantikan oleh budaya baru cerminan realitas palsu yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Dari fenomena di atas serta berangkat dari ajaran-ajaran luhur utamanya Walisongo, Pesantren Kaliopak hadir untuk mengajak generasi muda mengenali kembali identitas dirinya melalui nilai kebudayaan di tengah zaman yang berubah.
Baca juga: Pesantren Sebagai Meeting Point |
Kebudayaan yang dahulu merupakan medium pengembangan diri manusia untuk menyempurnakan fitrah. Melalui sebuah proses yang berjalan terus menerus sebagaimana makna dari kebudayaan itu sendiri yang berbunyi; “Manunggaling, Cipto, Roso, lan Karso Agawe Sentosa Bangsa”.
Maka kita akan melihat adanya nilai-nilai luhur di dalamnya bahwa dalam kebudayaan itu terdapat sebuah proses yang menyatukan atau kesatuan (manunggaling) dari cipta, yakni pikiran yang sehat dipadukan dengan hati dan jiwa (roso) yang bersih. Sehingga terciptanya kebudayaan itu adalah hasil bentukan pikiran dan jiwa yang sehat dengan tujuan mendidik jiwa manusia.
Bahkan lebih jauh dalam serta Wedhatama, sebagaimana yang diuraikan oleh Irfan Afifi di dalam buku berjudul “Suluk Kebudayaan Indonesia: Menengok Tradisi, Pergulatan, dan Kedaulatan Diri”, mengatakan bahwa proses berkebudayaan adalah sebuah laku atau perjalanan manusia dalam mengolah potensi “ruhani”, yakni sebuah laku menyempurnakan kedirian kemanusiaan seseorang (insan kamil) dalam rangka penerjemahan dorongan “fitrah” ilahi yang terberi secara inheren dalam diri manusia berupa kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Oleh karena itu, laku berkebudayaan merupakan laku yang masih satu jalur dengan oleh rohani yang dilakukan sepanjang masa perjalanan hidup seseorang yang tidak hanya menghasilkan produk nilai tanpa makna, melainkan nilai hikmah dan kebijaksanaan (Afifi, 2021).
Hal ini pun senada sebagaimana yang disampaikan oleh pengasuh Pesantren Kaliopak Kiai Muhammad Jadul Maula yang mengatakan bahwa budaya berasal dari dua kata, yakni budi dan daya. “Budi” memiliki arti cahaya yang ada di dalam diri manusia untuk mencapai habluminallah, habluminannas, dan habluminalalam.
Sedangkan “Daya” merupakan raga dari manusia untuk memberdayakan “budi”. Lebih lanjut Kiai Muhammad Jadul Maula menambahkan bahwa pemberdayaan diri dilakukan dengan membersihkan hati terlebih dahulu. Kemudian, pemberdayaan diri diaktualisasikan oleh raga dengan adat, seni dan pranata sosial untuk menyelaraskan antar sesama manusia (Labib, 2019).
Dari makna kebudayaan yang telah disebutkan di atas, ibarat pepatah “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Hadirnya Pesantren Kaliopak bukan hanya menyadarkan generasi muda hari ini untuk kembali memaknai kebudayaan sebagai proses oleh kemanusiaan dan ruhani, yang bukan duplikasi produk luar tanpa makna.
Melainkan juga ingin mengurai benang kusut antara benturan agama dan budaya, sebagaimana yang marak akhir-akhir ini. Seperti diketahui salah satu tema marginal dalam kajian ke-Islaman dewasa ini adalah soal eksistensi budaya lokal. Dalam diskursus keagamaan, tema terkait budaya lokal ini telah mengalami keterpinggiran dibandingkan dengan misalnya wacana formalisasi syariat.
Padahal jika kita mau merubah cara pandang makna kebudayaan seperti yang diuraikan di atas, maka kita akan menemukan titik pijak yang jelas bahwa antara agama dan budaya dalam praktiknya tidak ada pertentangan.
Bahkan para Walisongo pun dalam melakukan syiar Islam menggunakan media seni (budaya) dalam dakwahnya, seperti penggunaan wayang misalnya. Jika dahulu pagelaran wayang hanya dianggap sebagai ritual, pertunjukkan semata dan alat pemanggil arwah, maka pada masa Walisongo fungsi wayang dikembangkan menjadi media edukasi masyarakat untuk menemukan jati diri kemanusiaan kita.
Lakon-lakon wayang itu merupakan refleksi atas pergulatan unsur-unsur di dalam diri manusia. Karena secara tidak langsung menonton wayang menjadi alat memahami diri sendiri termasuk di dalamnya sisi kerohanian kita.
Sebagaimana salah satu contoh lakon di dalam pertunjukkan “Kumbayana” atau “Durna Kajarwa” yang memiliki makna tentang bahaya hawa nafsu di dalam diri kita yang selalu berupaya menggagalkan dan menjerumuskan orientasi kemanusiaan kita ke dalam perilaku yang hina (Maula, 2019).
Penggunaan media wayang ini dan kesenian lainnya tentu bukan tanpa alasan, menurut pengasuh Pesantren Kaliopak Kiai Muhammad Jadul Maula, yang mengatakan bahwa ajaran Islam seharusnya disampaikan dengan gembira, melalui beragam pagelaran seni.
Mulai dari sastra, seni rupa, tarian tradisional maupun modern. Oleh karena itu, Kiai Jadul Maula mendefinisikan pesantrennya sebagai pesantren kebudayaan. Sebab menurutnya, pesantren tak bisa lepas dari kesenian. Karena kesenian memberikan kebahagiaan, sekaligus menjadi sarana memperdalam makna kehidupan (Achidsti, 2020).
Sehingga untuk menegaskan komitmen yang dibangun Pesantren Kaliopak di jalan kebudayaan tersebut, yang juga ingin melawan stigma bahwa seni atau budaya bertolak belakang dengan Islam (agama).
Maka Pesantren Kaliopak pun membangun sebuah konsep kreatif dan dinamis sebagai titik tolak pengejewantahan nilai-nilai luhur pesantren dan gagasan kebangsaan serta kebudayaan nusantara melalui beberapa agenda seperti, sholawatan Emprak dan belum lama ini dilaksanakan yaitu ngaji posonan tahun 2021 bertema “Islam Berkebudayaan: Jalan Menemukan Diri Secara Kosmopolitan”, dan penerbitan buku berjudul “Islam Berkebudayaan (Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan).
Sholawatan Emprak sendiri merupakan kesenian tradisional yang tumbuh pada tradisi masyarakat Jawa tengah dan Timur. Sebagai sarana ruang pertunjukkan ritual keagamaan seperti maulid nabi, dengan memadukan unsur-unsur seperti, sastra, vokal, tari dan musik dikemas dalam pertunjukkan yang menghasilkan keharmonisan untuk memberikan pesan moral kepada masyarakat.
Adapun ngaji posonan yang diadakan pada bulan ramadhan tahun 2021 ini merupakan ikhtiar teman-teman santri Pesantren Kaliopak untuk mengajak generasi muda hari ini, menemukan identitas jati dirinya di tengah-tengah kehidupan yang semakin mengalami dekandensi moral dan budaya.
Sehingga dengan diadakannya pengajian itu diharapkan menjadi alternatif untuk menemukan diri di zaman yang serba sulit. Sedangkan penerbitan buku diharapkan menjadi sebuah pegangan dan wacana alternatif di tengah-tengah narasi ilmiah yang jauh dari akar kebudayaan masyarakatnya.
Maka dapat dipastikan dengan hadirnya Pondok Pesantren Kaliopak sebagai laboraturium keagamaan dan kebudayaan, secara tidak langsung ingin mengajak dan mendidik masyarakat mengenali asal-usulnya dalam memperoleh jati dirinya.
Baca juga: Membincang Islamisme dan Keberagamaan Anak Muda |
Serta membantu untuk melakukan keterjagaan diri dalam kehidupan yang memimjam istilah Ronggowarsito “zaman edan” kita hari ini. Untuk sampai pada ungkapan terkenal di dunia tasawuf; “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (siapa yang mengenal dirinya, maka dia sungguh mengenal Tuhannya).
Daftar Pustaka
Achidsti, A. (2020, Juni 27). Jadul Maula: Pesantren Tak Bisa Lepas dari Kesenian. Retrieved Mei 5, 2021, from Kongres Kebudayaan Desa (Membaca Desa, Mengeja Ulang Indonesia).
Afifi, I. (2021). Suluk Kebudayaan Indonesia (Menengok Tradisi, Pergulatan, dan Kedaulatan Diri). Yogyakarta: Langgar.co.
Labib, F. (2019, November 3). Islam Berkebudayaan: Solusi Atas Ekspresi Keagamaan Yang Kaku. Retrieved Mei 5, 2021, from ARENA (Kancah Pemikiran Alternatif).
Maula, J. (2019). Islam Berkebudayaan (Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan). Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
0 Comments