Ibu Hj. Dalalah Chirzin Binti H. Anwar Rofi’i. Lahir: 9 Januari 1925, wafat: 9 Desember 2017. Itulah yang tertera pada nisan kayu di makam ibuku. Genap setahun sudah almarhumah Ibu meninggalkan kami untuk selamanya, tetapi kami yakin pada saatnya dipertemukan kembali dengan Ibu di sana.
Sambil mencabut rumput-rumput di pusara Ibu, kami berbincang-bincang mengenang jasa-jasa beliau yang tak terhingga, termasuk mengenang kebiasaan Bapak dan Ibu mengajak kami ziarah kubur kakak sulung kami, Siti Nuroniyah, yang wafat di usia sangat belia karena suatu musibah, dan makamnya tak jauh dari pusara Ibu.
Kami sebelas bersaudara, alhamdulillah hingga kini masih utuh. Orang tua kami memberi nama relatif berbeda dari teman-teman di kampung. Harapan mereka tentu agar di kemudian hari kami menjadi orang-orang sebaik dan seindah nama-nama kami.
Kesebelasan kami adalah Muhammad Nizar, Muhammad Habib, Siti Syarifah, Uswatun Hasanah, Hidayati, Nur Rohmah, Mustofa Hadi, Muhammad, Muhammad Natsir, Siti Sholihah, dan Siti Syamsiyatun.
Sebagai anak ke-8 saya lahir pada tahun 1959, 59 tahun yang lalu. Untuk mengabadikan nama Bapak, kami sematkan nama beliau di belakang nama putra-putra laki-laki. Jadilah kami lima bersaudara M. Nizar Chirzin, M. Habib Chirzin, Mustofa Hadi Chirzin, Muhammad Chirzin, dan M. Natsir Chirzin. Dengan harapan besar dan cita-cita tinggi orang tua menyekolahkan kami berlima di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo.
Tersimpan kenangan bahwa Ibu sangat memperhatikan kondisi kesehatan kami. Ibu rutin membuat ramuan jamu untuk kami. Untuk Bapak kami Ibu menggilas daun papaya dan memerasnya untuk diminum pada sore hari. Kadang Ibu memberi jamu daun papaya juga untuk kami. Setelahnya Ibu memberi secuil gula merah sebagai penawar pahit.
Ibu menggilas kencur dan beras untuk membuat jamu beras kencur. Sebuah keasyikan tersendiri berkerumun di sekeliling Ibu meracik jamu.
Bangun pagi-pagi Ibu selalu sudah berada di dapur menanak nasi dan merebus air. Kadang, sebelum shalat subuh, kami langsung menghampiri Ibu dan membantunya memasukkan kayu bakar ke tungku untuk menjaga api agar tetap menyala. Ibu pun dengan penuh kelembutan mengingatkan agar kami segera shalat subuh lebih dahulu.
Bila nasi telah matang, Ibu menggoreng tempe yang setengah jadi. Kami pun berbagi tugas. Ada yang mengambil cething, centhong, dan panci, serta membawa piringnya sendiri-sendiri. Ada pula yang memarut/mengukur kelapa untuk bumbu kerak nasi yang masih hangat.
Betapa lezatnya sarapan pagi kami. Bila tersisa nasi malam hari Ibu menggoreng nasi itu untuk sarapan kami.
Siapa yang masuk sekolah siang hari mendapat tugas untuk berbelanja di pasar. Ibu mendiktekan daftar belanjaan hari itu dan berapa harganya, termasuk membeli camilan untuk sepulang sekolah berupa gethuk dan aneka thiwul. Sesekali ditambah sebungkus kecil mie dan bakwan.
Kami tak pernah mengonsumsi buah-buahan, kecuali pisang dan pepaya yang tumbuh di halaman rumah kami. Minum susu sapi pun hanya ketika kami punya adik kecil.
Sejak tahun 1970an Ibu menggantikan Bapak mencari nafkah untuk keluarga dengan berdagang aneka pakaian anak-anak, jarit, kerudung, sarung, dan sebagainya, baik di Pasar Legi Kotagede maupun di Pasar Beringharjo Yogyakarta.
Pada hari pasaran tertentu Ibu berdagang di pasar Magelang dan Purworejo. Ketika semua putra-putrinya telah dewasa dan berumah tangga Ibu tetap mencari rezeki; menyulam topi bayi dan semacamnya dengan keterampilan yang diperoleh semasa sekolah di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Sampai jumpa lagi Ibu!
Ibu adalah guru pertama dan utama.
Kasih ibu kepada beta
tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia.
(…)
Terima kasihku kuucapkan
pada guruku yang tulus.
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
untuk bekalku nanti.
Setiap hari ‘ku dibimbingnya
agar tumbuhlah bakatku
Kan kuingat selalu nasihat guruku
Terima kasih kuucapkan.
(…)
0 Comments