Di era milenial saat ini kita sering dihadapi dengan yang namanya perang ideologi beragama. Salah satu indikasinya adalah munculnya aliran radikalisme dan liberalisme, dua aliran yang lekat dengan stigma negatif hampir di setiap negara termasuk di Indonesia.
Stigma ini bukan tanpa alasan, keberadaan dua aliran tersebut dianggap bisa mengancam ideologi agama bahkan sebuah negara. Jika radikal lebih dilihat sebagai kelompok yang beraliran keras, maka liberal dikenal dengan ideologinya yang terlalu bebas dan hedonis lebih mengedepankan kesenangan duniawi.
Memang penyebaran ideologi yang diusung tidak frontal dengan langsung mengganti tatanan ideologi yang sudah rapi, tapi dengan cara normalisasi ajaran mereka di semua lini, tidak heran jika banyak sekali orang yang tidak sadar bahwa mereka sudah makan umpan atau bahkan sudah terkena kail pancing radikalisme dan liberalisme.
Ancaman dengan normalisasi seperti ini, alih-alih ingin dilawan malah korbannya akan merasa nyaman dengan umpan yang mereka tebar. Menurut K.H. Lutfi Bashori salah satu ulama dan pemikir muda NU, gerakan semacam ini adalah kekhawatiran umat Islam di seluruh dunia.
Dalam konteks ini lah pesantren bisa tampil untuk menjadi oase di tengah gurun pemikiran dan perang ideologi yang sedang berkecamuk. Melalui sistem pembelajaran yang ada di dalamnya, pesantren berupaya mencetak kader-kader ulama dan cendekiawan muda muslim yang beraliran moderat. Pesantren juga memiliki peran penting dalam mendidik para kader ulama sebagai tameng dari perpecahan dan perselisihan di tengah umat yang disebabkan munculnya aliran Islam kanan dan kiri.
Di lembaga ini santri digodok menjadi penerus perjuangan ulama. Seperti yang dikatakan Rais ‘Aam PBNU yang sekarang menjadi wakil presiden kita Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin, keberadaan pesantren tak lain sebagai pencetak para santri yang kompeten di bidang agama, namun pesantren juga sebagai tempat kaderisasi pematangan santri menjadi ulama yang mampu menjaga dan melestarikan warisan para ulama sehingga mempunyai sanad keilmuan yang jelas.
Hal ini lah kiranya alasan ulama dan pesantren sulit dipisahkan, dua hal ini bersinergi dan saling memberi kontribusi. Banyak ulama besar khususnya di Indonesia cikal bakalnya bermula dari pesantren. Di lembaga itu, ulama menimba ilmu keagamaan, dibina dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan sebagai ciri khas pesantren. Begitu pula sebaliknya, pesantren dibina oleh ulama sebagai tempat mengabdi dan mencurahkan ilmunya.
Oleh karena itu, para santri yang dididik di pesantren diharapkan mampu menjadi penerus para ulama dalam menjaga dan mengembangkan prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang rahmatan lil alamin. Melalui sistem pembelajaran pesantren dengan pendidikan karakter, santri diharapkan mampu mencegah masuknya dan menyebarnya aliran radikalisme dan liberalisme yang merupakan tantangan bagi kaum santri milenial.
Dengan demikian salah satu peran utama santri di era ini adalah mencegah berkembangnya paham radikalisme dan liberalisme dengan menanamkan pemahaman yang tepat terhadap masyarakat luas. Santri yang notabene belajar agama secara masif, sebisa mungkin memberikan pengertian bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Selain itu, dialog antara tokoh santri dan tokoh radikal juga harus terus diupayakan dan dibudayakan agar membuka wawasan dan pemikiran mereka.
Santri di era milenial juga diharapkan bisa bersinergi bersama pemerintah sebagai ujung tombak dalam pencegahan berkembangnya paham radikalisme dan liberalisme semakin luas. Harapan inilah yang dinanti masyarakat dan pemerintah dari santri yang menimba ilmu di lembaga pesantren sebagai warisan peninggalan para ulama. Harapan tersebut juga harus diikuti oleh kemampuan mengembangkan keilmuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang multikompleks.
Wallahua’lambissowab.
One Comment