Pada suatu hari, Musa berjalan melintasi pegunungan. Di tengah perjalanan ia mendapati dari kejauhan seorang penggembala bersimpuh sembahyang. Tangannya menengadah ke langit untuk berdoa.
Musa gembira melihatnya. Namun, begitu ia mendekat sungguhlah terkejut dengan doa yang dipanjatkan oleh si penggembala. “Tuhanku Yang Terkasih. Aku sangat mencintai-Mu, lebih dari yang Engkau tahu. Aku akan melakukan apa pun untuk-Mu. Cukup katakan padaku apa yang Engkau inginkan!”,
“Aku tidak akan ragu melakukannya walau harus menyembelih domba tergemuk dari gembalaanku. Kupanggangkan untuk-Mu. Kusajikan bersama nasi yang telah ku olesi dengan mentega agar terasa lebih lezat”,
“Kemudian akan kucuci kaki-Mu, kubersihkan kedua daun telinga-Mu, dan ku petani kutu yang ada di kepala-Mu. Ini karena betapa aku sungguh mencintai-Mu.”
Musa pun berteriak, “Hentikan wahai penggembala tolol! Apa yang ada di otakmu hingga kau berucap seperti itu kepada Tuhan? Kau pikir Tuhan makan nasi? Kau pikir Tuhan memiliki dua kaki yang kau akan membasuhnya? Perbuatanmu itu bukanlah sembahyang. Perbuatanmu adalah kekafiran yang hakiki!”
Penggembala itu pun mengakui ketidaktahuannya dan ia berjanji akan melaksanakan sembahyang sesuai ketetapan syariat. Kemudian Musa mengajarkannya bagaimana sembahyang yang benar.
Pada malamnya, Musa bermimpi berjumpa Tuhan, dan Dia berfirman kepadanya, “Wahai Musa, apa yang telah kau lakukan? Kau telah menghina seorang penggembala yang menyedihkan, dan kau tidak tahu kalau Aku menyayanginya,”
“Memang, dia tidak sembahyang dengan cara yang benar, tetapi dia tulus dalam perkataannya dan terdapat kesucian dalam hatinya. Di telingamu kalimatnya terdengar sebagai kekafiran, tetapi bagi-Ku, itu adalah kekafiran yang manis.”
Cuplikan kisah ini belumlah penulis temukan di kitab mana pun kecuali di novel karangan Elif Syafak berjudul “Qawaid al Isyq al Arba’un” (The Forty Rules of Love) yang ia kutip dari Syamsuddin At-Tabrazi. Meskipun begitu, andai kisah ini tidak pernah ada dalam kenyataan, tetaplah maknanya dapat dipertanggungjawabkan dan ada pelajaran yang bisa dipetik darinya: kasih sayang Tuhan tidak terbatas pada ritual keagamaan.
Pada kisah ini, sebenarnya teguran Tuhan bukan terletak pada “Musa mengajarkan” sembahyang yang benar, melainkan lantaran Musa mencemooh cara ibadahnya. Sehingga, ketulusan si penggembala menjadi lenyap dengan cara baru yang terpaksa itu.
Pemahaman soal tajsim terhadap Tuhan (menganggap Tuhan memiliki fisik) memang merupakan akidah yang menyimpang dalam akidah Islam Ahlusunah wal jamaah. Namun, penyimpangan akidah tersebut tidaklah serta merta menjadi alasan pembolehan seseorang untuk mencemooh.
Kemudian tentang kasih sayang Tuhan terhadap orang kafir tidaklah mustahil terjadi. Bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Allah berfirman pada lisan Nabi Isa ketika ia berdoa, “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Maidah: 118)
Ayat ini, oleh para ulama Ahlussunah, dijadikan sebagai dalil bahwa orang kafir pun ada kemungkinan masuk surga. Sebab, ayat ini tertera setelah uraian tetang kekafiran orang-orang Nasrani yang menjadikan Isa dan Maryam sebagai tuhan selain Allah. (Lihat Q.S. Al-Maidah: 116)
Imam Fakhruddin Ar-Razi misalnya, ketika menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, “Mafatih al-Ghaib”, ia mengatakan bahwa sesungguhnya merupakan kewenangan Allah untuk memasukkan orang kafir ke surga, dan orang zuhud dan orang ahli ibadah ke neraka. Karena kerajaan adalah kerajaan-Nya. Tidak seorang pun dapat menolak atau mengaturnya.
Masih menurut Ar-Razi, perkataan Nabi Isa tersebut adalah bentuk pasrah terhadap segala yang Allah lakukan. Karenanya, ayat ini dipungkasi dengan “Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Artinya, Engkau Maha Kuasa atas segala yang Engkau kehendaki. Engkau Maha Bijaksana atas segala tindakan-Mu, dan tidak seorang pun dapat mengatur-Mu.
Jika Allah menyiksa orang-orang yang buruk dalam bertindak dan menyimpang dalam berakidah, mereka adalah hamba Allah. Itu wewenang Dia untuk mewafatkan mereka dalam keadaan kafir lalu kemudian menyiksanya. Dengan menyiksa mereka, tidak menjadikan Dia lebih mulia karena Dia sudah Maha Mulia. Sebaliknya, jika Allah mengampuni mereka, atau mengeluarkan mereka dari gelapnya kekafiran, Allah juga Maha Perkasa, tidak ada yang bisa memaksa-Nya. Dia Maha Bijaksana, tidak ada yang perlu mengatur-Nya.
Kita memang tidak diizinkan untuk merestui kekafiran atau membela akidah yang menyimpang. Namun dalam saat yang sama, sebagai manusia kita juga tidak diperbolehkan mengolok mereka. Sebagai orang beriman, kita mestinya juga percaya bahwa kasih sayang Tuhan begitu luas, meliputi siapa saja. Kasih sayang Tuhan tidak terbatas pada orang-orang beriman saja. Kasih sayang Tuhan tidak terbatas ketika dimasukkannya seorang hamba ke dalam surga. Neraka dan azab-Nya jugalah bentuk dari kasih sayang-Nya.
0 Comments