Dunia Tafsir abad modern, sedang gencar-gencarnya memasuki babak baru dalam peralihan metodologi, hal ini karena tidak kuatnya metodologi-metodologi lama dalam menampung permasalahan-permasalahan yang multidimensi dan dinamis.
Namun nyatanya ada juga tawaran metodologi baru yang merupakan pelebaran dari metodologi yang sudah berkembang sejak lama. Untuk menjelaskan hal tersebut secara detail tentunya dibutuhkan mengkaji dan menelaah mengenai sejarah perkembangan metodologi-metodologi yang pernah ada dalam penafsiran.
Dalam dunia pemikiran Islam metodologi pembaharuan tersebut biasanya dikenal dengan istilah “liberalisasi pemikiran Islam” atau Pembaharuan dalam pemikiran Islam.
Yang pada prinsipnya pembaharuan tersebut tidak akan terlepas dari adanya relativisme kebenaran yakni, sebuah paham yang menyatakan tidak ada sebuah nilai yang memiliki kelebihan atas nilai-nilai yang lain.
Jika ditarik dalam sebuah penafsiran maka tidak penafsiran yang lebih unggul dibanding tafsir-tafsir yang lain, oleh karena itu ada nuansa kebebsan bagi para mufasir untuk mengolah penafsirannya sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan kecendrungan mereka.[1]
Diantara tokoh-tokoh muslim yang sangat gencar dalam memperjuangkan relativitas tersebut adalah Nashr Hamid abu Zayd, salah satu kutipannya mengenai adanya unsur subjektifitas dan relativitas dalam penafsiran.
“Sesungguhnya al-Qur’anyang menjadi poros pembicaraan kita hingga saat iniadalah teks agama yang permanen dari sisi lafalnya, tetapi dari sisi akal manusia berinteraksi dengannya dan ia menjadi “sesuatu yang dipahami (konsep)”, ia kehilangan sakralitasnya.
Pemahaman akannya selalu bergerak dan beragam. Permanen adalah sifat wahyu yang mutlak dan sakral, sementara pemahaman manusia adalah relatif dan profan.
Maka al-Qur’an adalah teks sakral dari sisi lafalnya, tetapi kemudian menjadi konsep yang dipahami oleh manusia yang relatif dan berubah, sehingga ia bergeser menjadi teks manusiawi.”[2] Jelas sekali pokok pikiran yang dibangun oleh beliau, bahwa antara wahyu dan pemikiran terhadap wahyu tidaklah sama.
Hal ini dijelaskan lebih jelas lagi oleh beliau dalam kitabnya Mafhum al-nas bahwa wahyu dibangun berdasarkan kontruksi budaya dalam istilah beliau yakni muntiju Ats-Saqofah (Produsen Budaya) dan muntaj ats-saqofah (produk budaya), Baginya, al-Qur’an bukanlah sesuatu yang transenden dan berbeda di luar realitas, atau melampaui hukum yang ada dalam realitas.
Justru wahyu adalah bagian dari bangunan konsep-konsep budaya serta berasal dari syarat dan ketentuan kebudayaan yang berlaku.[3]
Untuk membuktikannya penulis berandai-andai (terlepas dari benar atau tidaknya) kalau al-Qur’an turun bukan untuk merespon budaya, lantas apa hikmah dari penggunaan bahasa arab dalam al-Qur’an tidak lain menurut hemat penulis karena merupakan respon al-Qur’an atau Allah Swt. terhadap turunnya wahyu al-Qur’an di Negeri Arab.
(Wallahua’lam bi as-Showab)
[1] Lalu Heri Afrizal, “Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid
dan Dampaknya terhadap Pemikiran Islam”, dalam Jurnal Tsaqafah, Vol. 12, No. 2, November 2016, hlm. 300
[2] Nashr Hamid Abu Zayd,Naqd al-Khitab al-Diniy, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994), hlm. 126.
[3]Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nass(Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-’Ammah }
li al-Kitâb, 1990), hlm.34
0 Comments