Pernikahan adalah proses kontrak suci, kontrak kemanusiaan dan kontrak tanggung jawab, di mana setiap manusia menjalin kasih dan sayang serta menjalankan pengabdian atas Tuhan dan tanggung jawab atas kesepakatan.
Dalam konteks agama pernikahan adalah sunnah Rasul, di mana peringatan nabi dalam Hadisnya sangatlah jelas, bahwa menikah adalah sunnahku dan barang siapa meninggalkan sunnahku maka bukan bagian dariku, secara tekstual hadits ini dipahami sebagai tuntutan, bahkan secara sembrono digunakan dalil bagi mereka yang suka menikah lebih dari satu.
Tidakkah ada perenungan yang dalam atas hadis di atas? sehingga sangat sembrono menjalankan esensi pernikahan, rukun dan syaratnyapun tak karuan dipaham. Jika landasannya adalah agama maka dalam agama tidak hanya berisi hukum-hukum syariat, baik yang bersifat stagnan maupun yang bersifat dinamis, namun jauh dari pada itu ada proses-proses perenungan panjang dalam hati maupun logika, bahwasanya “mamayu bagya” menjalani proses ibadah adalah pengejawantahan yang berupa etika dan tanggung jawab.
Tanggung jawab atas apa? tanggung jawab atas ijab dan qabul jika lingkupnya pernikahan, tanggung jawab atas pelayanan jika konteksnya pemerintahan, tanggung jawab atas jiwa yang berbudi luhur jika konteksnya pendidik. Maka, dikembalikan kepada pernikahan, dalam pernikahan ada mahar, pun begitu dalam pendidikan atau dalam hal yang lain. Maharnya adalah kesiapan dari orang tua dan anak, agar menerima pendidikan dengan telaten.
Oleh karenanya tidak bisa seseorang main-main dengan mahar. Jika anak dan orang tua sudah siap menerima pendidikan maka seorang pendidik bertanggung jawab atas mahar yang berupa kesiapan itu.
Sedangkan hari ini menjadi bukti bahwa ketidaksadaran akan tanggung jawab itu berkembang. Dalam konteks pendidikan misalnya, peserta didik tidak dikawal ketat dalam proses pendidikan, dengan alasan berbagai rapat, rapet sampai repot administratif. Maka tidak heran jika ada murid yang sedikit-sedikit membantak pendidik. Karena kebingungan itu dibuat oleh dirinya sendiri. Begitu juga dalam konteks-konteks kehidupan.
Jika mahar yang lumrah dalam pernikahan adalah Kitab suci dan seperangkat alat shalat, maka seberapa sadar dan paham akan tanggung jawab yang disandangnya. bukan perihal seberapa panjang brewoknya, seberapa gelap jidadnya, bahkan seberapa tinggi celananya. tetapi seberapa paham dan tanggungjawab akan mahar yang ia berikan.
Dan sayangnya tidak sedikit yang abai akan tanggung jawab tersebut. Belum sadar? saya kira bukan perihal belum atau sudah, tetapi mau atau tidak. Jika saja mahar dalam konteks apapun disadari memiliki tanggung jawab maka rasa takut akan amanah dalil dari tuhan tidak secara sembrono dibuat mainan.
Sebenarnya hak bagi setiap manusia, mau menikah lebih dari lima puluh juga tidak masalah, tetapi apakah lantas membuat sadar akan perihal tanggung jawab. jika menafkahi saja secara dlohir dan batin, begitu juga perihal tanggung jawab.
Bukan berarti nantinya takut menikah, akhirnya tidak menikah dan menjadi jomblo fi sabilillah. Atau kemudian tidak mengajar lantaran takut tidak bertanggung jawab atas ijab dan qabul dari peserta didik.
Lantas apa yang harus dilakukan? jika perintah Tuhan kepada Nabi adalah agar tidak menggerakkan lisannya namun merenungkan dalam hatinya, maka merenung dan berpikir lebih dalam lagi adalah awal dari proses menumbuhkan kesadaran.
Intinya adalah terus belajar dan terus bergerak. agar tidak mandeg, karena jika mandeg hanya akan menjadi egoisme dan merasa bensr atas penemuannya sendiri. apalagi tidak ada proses musyawarah dan sinau bareng.
Jangan memandang lautan yang luas, jika tidak mampu melihat sungai yang airnya mengalir deras. Maka buah akan terasa manis ketika sabar menunggu matang saat memakannya. begitu juga kesadaran, akan terasa gamblang sebuah pengetahuan ketika bergerak dalam hari untuk merenungkan dan berfikir secara mendalam.
Semoga selalu dalam limpahan kesadaran.
0 Comments