Ribuan peserta memadati aula Gedung Graha IAIN Surakarta pada hari Kamis (16/08). Pasalnya hari itu dilaksanakan kegiatan Studium General mahasiswa baru Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta TA 2018/2019. Megusung tema “Strategi Belajar di Perguruan Tinggi dalam Membentuk Mahasiswa yang Beraqidah, Berakhlak, dan Profesional”. FITK menghadirkan narasumber Prof. Drs. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D., guru besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.
Awal paparan Prof. Burhanuddin memberikan stimulus kepada mahasiswa bahwa keberhasilan pendidikan tidaklah cukup sekadar diukur dengan angka-angka atau intelegensi semata, tapi lebih dari itu adalah karakter. Mengutip quotes Martin Luther King Jr., bahwa “We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus character – that is the goal of true education”. Selanjutnya dikuatkan A.D. Pirous yang menyatakan “You lose your wealth, you lose nothing, you lose your health, you lose something, you lose your character, you lose everything”. Bahwa kehilangan sesungguhnya adalah kehilangan karakter.
Titik tekan karakter perlu mendapatkan perhatian lebih dalam praksis pendidikan di Indonesia, dikarenakan dewasa ini, di era serba digital sering kali terjadi tindakan nir-karakter yang terjadi di institusi pendidikan, baik yang dilakukan oleh siswa, guru, atau bahkan orang tua/wali murid. Perguruan Tinggi (PT) juga sering disebut sebagai institusi yang hanya memproduksi sarjana yang intelektual saja, tetapi tidak memiliki karakter luhur. Di sini rumpun ilmu humaniora perlu mengambil peran memberikan langkah solutif.
Prof. Burhanuddin menjelaskan bahwa ilmu humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada keunikan. Humaniora berusaha untuk mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif, tidak berorientasi materi. Ilmu humaniora akan menghasilkan interpretasi-interpretasi yang memunculkan adanya orientasi tindakan manusia dalam kehidupan bersama. Intinya humaniora menjadikan manusia lebih manusiawi/berbudaya.
Adapun kelompok ilmu pengetahuan yang masuk dalam lingkup humaniora mencakup bahasa, linguistik, kesusastraan, sejarah, kesenian, hukum, filsafat, teologi, filologi, kritisisme, teori dan praktik seni, serta semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi dan metode humanistik. Melalui ilmu humaniora, mahasiswa perlu memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional.
Lalu pertanyaan yang muncul, adakah permasalahan dalam pengembangan ilmu humaniora di Indonesia? Jawabannya, tentu, antara lain: (a) SDM yang menggeluti ilmu humaniora terkesan kurang serius, (b) rendahnya dukungan pemerintah terhadap riset humaniora, (c) lemahnya aspek metodologi yang dikuasai dalam ilmu humaniora, dan (d) ilmu humaniora kurang dilibatkan sebagai mitra dialog/mitra riset IPTEK. Permasalahan ini hendaknya segera dicarikan solusinya oleh semua pihak.
Padahal, jika menilik pilar pendidikan UNESCO, pendidikan dan pembelajaran hendaknya mengacu pada proses learning to know (untuk tahu), learning to do (untuk berbuat), learning to be (untuk membangun jati diri), dan learning live together (untuk hidup bersama-sama) secara harmonis. Dalam konteks ini, misi-misi learning live together sangat mendukung dalam bidang-bidang ilmu humaniora.
Ilmu humaniora sebagai ilmu yang bersinggungan dengan aspek sosial memiliki peran penting dan strategis dalam andil membangun karakter bangsa. Sesuai tema yang diangkat FITK, melalui rumpun ilmu humaniora diharapkan mampu terwujud mahasiswa yang beraqidah, berakhlak, dan profesional (baca: berkarakter). Utamanya untuk mewujudkan misi learning live together secara harmonis, damai, dan aman di masyarakat.
Prof. Burhanuddin mengakhiri paparan dengan berpantun ria:
Di atas dahan burung kakatua, melihat rusa tepi perigi,
Salam perpisahan untuk semua, di lain masa kita bersua lagi.
0 Comments