Teruntuk saudari-saudariku terkasih,
Tanggal 22 Desember merupakan hari yang diperingati sebagai hari ibu bagi seluruh perempuan Indonesia. Hari dimana banyak dari kita yang sibuk mencari kado untuk sosok perempuan yang paling berharga dalam hidup, belahan jiwa yang kasihnya tanpa batas dan tanpa harap balas, yaitu omak jika saya menyebutnya, ibu, mama, bunda, umi, emak, nyak, mami serta sebutan lainnya.
Kita agaknya bisa melihat banyak anak-anak meng-upload fotonya bersama ibu di media sosial seperti instastory, fb dan lainnya, dan saya berbaik sangka bahwa ucapan itu pun juga disampaikan secara langsung pada sang ibunda. Selain itu, kita juga melihat iklan-iklan di media massa, baik di tv maupun media sosial yang mengucapkan selamat hari ibu pada semua ibu di dunia. Tak lupa pula, momen ini juga menjadi momen berburu diskon yang ‘berkeliaran’ di onlineshop maupun toko-toko yang ikut merayakan hari ibu.
Saat ini hari ibu menjadi hari yang identik dengan hari ungkapan kasih sayang, pemberian hadiah dan permohonan maaf bagi sang anak pada ibundanya. Memang tidak semua dari kita yang bisa melakukan hal tersebut, ada juga dari kita yang tidak mau tahu dengan momen ini bahkan ada yang menganggapnya haram? Mungkin ada juga mereka yang memang tidak tahu sama sekali. Ada juga dari kita yang hanya mengingat hari ini, namun tak bisa mengucapkannya pada sang ibunda secara langsung, karena terpisah jarak yang jauh atau terpisah karena sang Khaliq sudah menjemputnya terlebih dahulu.
Baca juga: Bantahan untuk Ustadz Abdul Somad
Namun tahu dan sadarkah kita bahwa hari ibu pada hakikatnya bukanlah bentuk romantisme perayaan bagi ibu semata. Hari ibu memiliki makna yang sangat agung dan sarat dengan nilai sejarah dan perjuangan panjang yang diperuntukkan bagi seluruh kaum perempuan Indonesia, bukan hanya bagi para ibu dalam arti harfiah saja.
Suatu kali, saya dan teman-teman diajak oleh bu Alimatul Qibtiyyah—dosen pengajar sejarah pergerakan perempuan di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga—untuk mengunjungi pendopo Ndalem Djayadipura yang berada di Yogyakarta. Pendopo ini merupakan tempat bersejarah, khususnya bagi perempuan, karena di sinilah pertamakali dilakukan Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928 yang dihadiri 30 organisai wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera serta menjadi tonggak awal gerakan perempuan nasional. Di bagian depan pendopo terdapat sebuah plakat besar yang bertuliskan pengesahan penyelenggaran kongres pertama perempuan yang digagas oleh tiga tokoh perempuan, yaitu Nn. Soejatin, Nyi Hajar Dewantara daan Ny.Soekonto.
Kongres ini dimaksudkan untuk menggalang persatuan antar-organisasi perempuan yang cenderung bergerak sendiri-sendiri. Di zaman tidak adanya alat transportasi dan media sosial seperti Google, Instagram, WhatsApp sebagai tempat berbagi keluhan, para perempuan tangguh dari berbagai kota hadir dalam kongres tersebut. Mereka menunjukkan intelijensia, kegigihan dan semangat juang di tengah masyarakat yang patriarkis demi menghadiri kongres tesebut.
Sekalipun perkumpulan kongres pertama ini dipandang sebelah mata saja oleh publik, khususnya pemerintah karena dianggap sebagai perkumpulan non-politis semata saat itu, Kongres tetap terlaksana dengan serius. Mereka, perempuan-perempuan hebat tersebut mengangkat isu pendidikan perempuan, UU perkawinan, beasiswa perempuan berprestasi, tunjangan janda, isu pernikahan di bawah umur, poligami, perdagangan manusia serta mendirikan PPPI untuk dibahas secara mendalam.
Kunjungan tersebut juga menyadarkan saya, bahwa terdapat sejarah panjang perjuangan kaum perempuan terhadap bangsa Indonesia. Mereka benar-benar luar biasa. Sebut saja Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi/ Nyai Ageng Serang (1752-1828) yang angkat senjata melawan Belanda di usianya yang tidak lagi muda, yaitu hingga usia 70an, di Aceh kita kenal Cut Nyak Dien (1850-1908) menjadi panglima dan pemimpin pasukan perang, ada pula Cut Mutia (1970-1910) yang juga melakukan penyergapan terhadap patroli Belanda.
Di Maluku, ada sosok perempuan yang mengangkat senjata melawan pasukan Belanda dan membakar semangat kaum perempuan untuk ikut melawan di usia yang sangat belia, yaitu 17 tahun, kurang tiga hari saja menjelang ulang tahunnya yang ke-18, ia meninggal dunia di medan perang.
Kini perjuangan kaum perempuanpun terus bergerak. Dahulu kala, perempuan tidak memperoleh pendidikan layaknya kaum laki-laki, perempuan kedudukannya sangat rendah, banyak dari mereka yang menjadi ‘pemuas’ dan menjadi ‘pelayan’ semata, serta terkurung dalam urusan rumah tangga yang bahkan dipandang sebelah mata. Tidak sedikit pula perempuan yang masih belia harus menjadi ibu karena adanya kawin paksa kala itu, menjadi simpanan dan budak nafsu-nya laki-lak
Pada masa kelam tersebut, R.A Kartini muncul mendobrak melalui tulisan dan juga memberikan pelajaran kepada kaum perempuan. Kartini adalah sosok yang menjadi pembawa cahaya bagi perempuan, bagi Kartini dengan pendidikan perempuan tidak akan lagi direndahkan. Masa itu pula, Dewi Sartika (1884-1945) hadir dan mengusung pendidikan dengan mendirikan sembilan sekolah yang disebut Sekolah Istri dan akhirnya diubah menjadi ‘Sekolah Keutamaan Istri’.
Dari Yogyakarta, sosok Nyai Walidah, istri K.H Ahmad Dahlan (1872-1946) mendirikan organisasi Wanita Muhammadiyah dengan sebutan Sopo Tresno yang saat ini menjadi organisasi Aisiyah. Hj. Rasuna Said (1910-1965) di Sumatera Barat bergerak dalam parlemen untuk mengusung kemerdekaan. Di Padang Panjang Rahmah El Yunisyah (1902-1969) yang mendapatkan gelar ‘syaikhah’ dari al Azhar mendirikan Diniyah Putri School, ia juga menjadi tentara untuk melawan penjajah dan ikut membantu terbentuknya pasukan Sabilillah dan Hisbullah.
Kunjungan ke museum tersebut, membuka mata saya lebih lebar untuk mengenal sejarah dan tokoh-tokoh perempuan yang berjasa dan patut jadi inspirasi kaum perempuan di Indonesia. Tentunya masih banyak tokoh perempuan yang ikut berjuang dan berjasa membangun kemerdekaan Bangsa Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Peringatan Hari Ibu di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri yang sangat berbeda dengan konsep ‘Mother’s Day’ di Barat sana. Penetapan setiap tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu sebenarnya merupakan peringatan atas perjuangan kaum perempuan dan upaya untuk melakukan pemberdayaan perempuan. Momen ini adalah hari perayaan perempuan Indonesia, semuanya termasuk ibu itu sendiri.
Hari ibu bukanlah ditujukan untuk hari penghormatan untuk orang tua semata, namun hari renungan bagi kita semua untuk kembali mengenal sejarah perjuang kaum perempuan dan mengambil kembali semangat kita sebagai perempuan untuk terus bergerak maju ke depan demi diri sendiri, keluarga dan juga bangsa.
Saya kira, kembali mempelajari sejarah pergerakan kaum perempuan yang dulu mungkin sudah kita pelajari di bangku sekolah sangat diperlukan agar pemaknaan Hari Ibu yang sebenarnya dapat kita rasakan dengan lebih khidmat. Tanpa perjuangan mereka, entah bagaimana nasib perempuan saat ini.
Selamat Hari Ibu Nasional bagi seluruh perempuan Indonesia, mari menjadi perempuan berdaya, berkarya, mandiri, dan bermanfaat dimanapun dan apapun jalan hidup yang kita pilih….
0 Comments