Bantahan untuk Ustadz Abdul Somad

“..penetapan Hari Ibu pada hari ini adalah untuk mengenangkan jasa dan semangat kaum perempuan dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Negara Indonesia..”3 min


4

Seperti biasa dalam video-video ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) diikuti dengan sesi menjawab pertanyaan-pertanyaan para jamaahnya yang ditulis dalam secarik kertas, kemuadian UAS menjawabnya.

Dalam video yang baru dirilis pada hari ini, salah satu tema yang ditanyakan adalah terkait hukum merayakan dan mengucapkan Hari Ibu. Dalam video tersebut UAS membacakan pertanyaan berikut:

“Hari ini adalah hari Ibu, 22 Desember, Mother Day. Setiap tahunnya dirayakan oleh kita di Indonesia dan di luar negeri.” “Saya tak ingat Hari ini, Hari Emak,” UAS menimpali mukaddimah pertanyaan yang diajukan jamaah yang dibacanya, sebelum lanjut membacakan pertanyaan, ”Bagaimana hukum merayakannya?”

UAS pun menjawab pertanyaan tersebut sembari mengutip sebuah penggalan hadis Nabi, “Orang yang ikut merayakan Hari Ibu, man tasyabbaha bi qaumin, Siapa yang ikut tradisi orang Kafir maka kafirlah dia. Hari ini dibawakannya bunga, dibelikannya makananan, dibelikannya baju untuk emak-nya. Habis itu, baru ditengoknya lagi tahun depan. Setahun sekali. Kalau sayang sama Ibu bukan begitu caranya. Jaga dia, rawat dia. Ummuka, ummuka, ummuka. Orang Barat tak perlu mengajari kita bagaimana berbakti kepada Ibu. Orang Barat berbakti kepada emak-nya begitulah caranya, setahun sekali.”

Dalam sesi tanya-jawab tersebut juga muncul sebuah pertanyaan, “apakah mengucapkan Selamat Hari Ibu dibolehkan?” Dengan tegas UAS menjawab, “Tidak! Ulama mengharamkan mengikut tradisi orang Kafir. Ini orang kafir punya cerita. Tak usah dia, mereka, mengajari kita berbakti kepada orang tua.” Salah satu video lengkapnya bisa dilihat dalam link ini: https://web.facebook.com/aples.tea1/videos/1646038602121300/

Sebagaimana video-video lainnya, video ini pun dengan cepat ‘tersebar’ di sosial media. Selain banyaknya tanggapan yang “mengamini”, tidak sedikit juga komentar-komentar bernada negatif bahkan sampaii mencaci-maki Sang Ustadz.

Apakah saya kaget? Tidak! Saya justru sedih melihat fenomena masyarakat kita yang reaktif terhadap sebuah pernyataan yang tidak disetujui olehnya dengan caci-maki yang tidak berguna. Ini bukanlah cara berdiskusi dan menyikapi sebuah pernyataan yang diajarkan Islam sebagaimana misalnya tergambar dalam QS. al-Nahl: 125.

Saya sendiri termasuk salah satu orang yang suka mengikuti video-video ceramah Sang Ustadz. Saya juga tidak meragukan keilmuan Beliau sebagai seorang da’i. Hal ini juga lah yang membuat Sang Ustadz banyak digemari para jamaahnya. Bahkan bagi saya, para akademisi Muslim yang selama ini keilmuannya hanya “terkurung” di dalam diktat-diktat ilmiah justru harus mencontoh bagaimana metode UAS dalam berdakwah sehingga keilmuan yang selama ini dikaji bisa menyentuh, dipahami dan didengar oleh masyarakat pada umumnya.

Terkait persoalan perayaan dan mengucapkan hari Ibu yang dibahas dalam video tersebut, begini tanggapan saya:

Pertama, saya sangat setuju bahwa untuk memberi hadiah bahwa kita jangan memberi hadiah kepada Ibu pada peringatan Hari Ibu saja. Bahkan umat Muslim diajarkan untuk selalu mendoakan kedua orang tuanya: allahummaghfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.

Kedua, saya ingin menegaskan bahwa pernyataan tentang dirayakannya Hari Ibu pada hari ini, tanggal 22 Desember, di Indonesia dan di luar negeri dalam pertanyaan jamaah adalah pernyataan yang kurang tepat.

Perayaan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember hanya ada di Indonesia! Lebih dari itu, tujuan awal penetapan Hari Ibu pada hari ini adalah untuk mengenangkan jasa dan semangat kaum perempuan dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Negara Indonesia yang ditetapkan oleh Pesiden Soekarno ketika diselenggarakannya Kongres Perempoean Indonesia di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Kongres ini pun dalam sejarahnya berawal dari semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Singkat cerita, ketika kongres yang ketiga di Bandung pada 1938, sidang kongres memutuskan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Keputusan ini kemudian didukung oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit RI No.316 Tahun 1953 menetapkan setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu pada saat peringatan kongres yang ke-25 tahun 1953.

Meskipun Hari Ibu belakangan juga dirayakan untuk menghargai jasa ibu dalam berbagai hal, termasuk karier, urusan rumah tangga, dan kodrat alami sebagai ibu, seyogyanya semangat kenapa Hari Ibu diperingati tidak boleh dilupakan sebagaimana pernyataan resmi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Susana Yembise seperti dikutip CNN:

“Peringatan Hari Ibu dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda akan makna Hari Ibu sebagai hari kebangkitan dan persatuan serta kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa.”

Ketiga, peringatan Hari Ibu memang dirayakan di negara-negara Barat. Namun perlu diingat: peringatannya tidak dirayakan pada tanggal yang sama. Di Amerika, Hari Ibu diperingati dan dirayakan pada hari Minggu kedua bulan Mei. Bukan sekadar penghargaan kepada Mama, tapi juga bentuk untuk mengingat momen bersejarah yang terinspirasi dari penyair Julia Howe ketika PD II.

Di Spanyol, Hari Ibu dirayakan seminggu lebih awal dari Amerika. Di Inggris, Hari Ibu disebut Mothering Sunday yang jatuh pada hari Minggu tiga minggu sebelum paskah. Hari spesial ini jadi momen anak untuk pulang dari perantauan layaknya tradisi Mudik yang ada di Indonesia ketika Idul Fitri.

Lebih dari itu, peringatan ini juga ada diberbagai Negara Timur seperti India, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bahkan perayaan Hari Ibu juga banyak diperingati di Negara-negara Timur Tengah seperti Mesir.

Terakhir, kalau pun seandainya peringatan Hari Ibu berawal dari Barat, apakah lantas harus ditolak begitu saja? Apakah begitu maksud potingan hadis yang dikutip UAS? Hal ini tentu tidak bisa dipahami begitu saja.

Ajaran Islam sendiri pada awal kemunculannya tidak lepas dari interaksi dengan tradisi dan budaya masyarakat Arab ketika itu. Budaya-budaya tersebut tidak semuanya ditolak oleh Islam, justru ada yang dimodifikasi dan diluruskan, bahkan ada yang dikukuhkan seutuhnya.

Lantas bagaimana cara membedakannya untuk kemudian dihubungkan dengan hadis yang dikutip UAS dalam video tersebut? Hal ini harus dihubungkan dengan al-Quran yang dengan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mempertahankan ma’ruf (budaya positif mayarakat) yang tak bertentangan dengan nilai-nilai al-Quran dan melarang budaya yang menyimpang (munkar).

Hal ini juga lah kiranya yang menjadi spirit para da’i dan ulama-ulama awal yang mengenalkan ajaran Islam di Nusantra ini. Para ulama tersebut tidak melarang dan menolak begitu saja tradisi dan budaya nenek moyang kita yang dulu belum mengenal Islam. Tradisi-tradisi ini bahkan sampai sekarang masih terawat dengan sangat baik.

Akhir kata, saya ingin mengutip perkataan Imam Asy-Syathibi:

Setiap masalah yang terjadi dalam (ajaran) Islam, lalu terjadi perbedaan sesama (muslim) tapi perbedaan ini tak mengakibatkan permusuhan, kebencian atau perceraiberaian maka kita mengetahui bahwa perbedaan tersebut bagian dari (ajaran) Islam; setiap  masalah yang muncul lalu mengakibatkan permusuhan, ketidakharmonisan, caci maki, atau pemutusan silaturahmi maka kita mengetahui bahwa sedikit pun ia bukanlah bagian dari agama. Karena itu, kendati perbedaan adalah keniscayaan, pertemuan dan persatuan tetap harus dapat wujud/diwujudkan.”


Like it? Share with your friends!

4
Dona Kahfi MA Iballa
Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Artikula.id | Awardee LPDP Doctotal Program-Islamic Thought and Muslim Society-Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals