Unsur Lokalitas Penafsiran Syubah Asa

Eksistensi penafsirannya meneguhkan spirit Al-Qur'an dalam membaca zaman, sehingga pesan-pesan Al-Qur'an selalu hidup di setiap lintasan sejarah.2 min


0
Sumber gambar: tirto.id

Unsur lokalitas merupakan aspek yang sangat memengaruhi seorang mufasir atau pengkaji Al-Qur’an dalam memahami suatu teks. Aspek ini juga yang membedakan karya seorang mufasir dengan mufasir lainnya. Ada yang lebih condong ke bahasa, budaya, sosial, filsafat, tasawuf, dan lainnya. Ada pula penggabungan antara dua atau lebih unsur lokalitas.

Teks Al-Qur’an mengalami proses resepsi dan habituasi yang beragam berdasarkan konteks wilayah di mana seorang mufasir hidup dan berproses. Karenanya, Al-Qur’an memiliki tafsir yang luas, tidak tunggal, yang hanya bersumber dari wilayah di mana Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Ini sekaligus menegaskan mukjizat Al-Qur’an. Melampaui zaman dan kawasan.

Di Indonesia perkembangan karya tafsir bergenre lokalitas cukup signifikan. Bahkan ada pula yang memakai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Madura, dan lain-lain. Tafsir al-Ibriz, Tafsir Al-Iklīl, Tafsir Tarjuman al-Mustafid, dan Tafsir Faiḍ al-Raḥmān, di antara contohnya.

Baca juga: Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir

Dari penjajakan Islah Gusmian era tafsir Indonesia dimulai sejak abad 17, yakni Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf as-Singkili (1615-1693 M). Sampailah di era Quraish Shihab, abad 21, penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia muncul dengan beragam ruang dan orientasi. Masih menurut Gusmian, setidaknya ada 5 basis sosial-budaya penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia: politik kekuasaan, pesantren, basis madrasah dan kampus, organisasi sosial Islam, dan jejaring sosial lainnya.

Tafsir Syubah Asa, “Dalam Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Ayat Sosial Politik”, jika merujuk pada kategorisasi Gusmian masuk ke dalam poin terakhir. Ini disebabkan background intelektual dan status sosial Syubah Asa. Ia dikenal sebagai budayawan dan esais. Tersebab itu, penafsiran Syubah Asa terbilang unik dan khas bila dibandingkan dengan karya-karya tafsir arus utama. Ditambah lagi gaya penulisan Syubah Asa yang bercorak esai dan reportase. Bagi yang tak terbiasa, butuh waktu untuk menalar dan memahaminya.

Kehadiran karya tafsir Syubah Asa ini, bagi saya, semacam gebrakan baru pada waktu itu di mana metode dan model penafsiran kebanyakan betul-betul mengekor pada mazhab klasik. Apalagi Syubah Asa bukan ilmuwan Al-Qur’an tulen, sehingga tawaran alternatif penafsirannya begitu riskan. Tak pelak lagi, kritik bahkan hujatan menghujani Syubah Asa. Saya pikir itu hal yang wajar, jangankan Syubah Asa, Mahmud Yunus saja yang terbilang ahli di bidang Al-Qur’an tak luput dari kritik di awal-awal kehadiran Tafsir Al-Quran Al-Karim. Ini soal paradigma zaman yang butuh penyesuaian sampai akhirnya diterima.

Corak penafsiran yang diusung Syubah Asa lebih cenderung ke burhani, porsi akal lebih dominan. Sedangkan, metode penafsirannya tematik. Penafsiran kontekstual yang diterapkan Syubah Asa meniscayakan upaya menilik ulang ke masa lampau guna menemukan kerangka sosio-historisnya untuk memastikan esensi ayat, lalu dikembalikan ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualisasi (Mustaqim, 2011: 154).

Sumber tafsir yang digunakannya sangat variatif, tidak hanya literatur Timur, namun juga disisip dengan beberapa pendapat dari sarjana Barat. Syubah Asa di beberapa penafsiran juga menyertakan asbab al-nuzul, dan merujuk ke kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Baidawi, Tafsir al-Kasysyaf karya al- Zamakhsyari, dan lain-lain.

Baca Juga: Sejarah dan Pemetaan Model Penelitian dalam Studi Al-Qur’an dan Literatur Tafsir (Ilmu Tafsir)

Unsur lokalitas yang begitu kental dalam tafsir tersebut terbaca dari arah dan wacana yang dikembangkan, yakni kritik dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Misalnya, penafsiran Syubah Asa atas surah Al-Maidah: 32, yang dijabarkan berdasarkan konteks masalah pada waktu itu.

“Hari-hari saat menjelang reformasi pada Mei 1998 itu terdapat banyak pemuda yang diculik, disiksa, bahkan sebagian dibunuh. Aparat keamanan pun tidak mampu menjelaskan pihak mana yang sebenarnya melakukan tindakan biadab tersebut menurut Komnas HAM (Asa, 2000: 46).”

Dari 57 judul yang dimuat dalam buku tafsir tersebut, semuanya nyaris bernuansa kritik sosial. Tampak bahwa Syubah Asa memfokuskan eksplorasi tafsir pada konteks sosial-politik Indonesia di bawah rezim Soeharto. Eksistensi penafsirannya meneguhkan spirit Al-Qur’an dalam membaca  zaman, sehingga pesan-pesan Al-Qur’an selalu hidup di setiap lintasan sejarah.

Pendekatan penafsiran yang diperagakan Syubah Asa, meski sudah banyak sarjana Muslim yang melakukan hal serupa, merupakan representatif penafsiran Al-Qur’an yang perlu dimasifkan di tengah arus penafsiran konservatif nan rigid yang berkembang dewasa ini.

wallahualam bissawab.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Dr. Khairunnas Jamal, M.Ag
Dosen Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals