Penetapan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka korupsi bansos untuk masyarakat di wilayah Jabodetabek 2020 yang terdampak pandemi Covid-19 mendapat sorotan dan komentar pedas di kalangan masyarakat. Menteri Sosial merupakan menteri kedua di Kabinet Indonesia Maju yang ditangkap oleh KPK. Sebelumnya, lembaga anti rasuah tersebut telah menangkap dan menetapkan Menteri KKP Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait ekspor benih lobster.
Penangkapan kedua menteri tersebut tentu membuat masyarakat prihatin dan gerah akibat tindakan amoral para pemangku kepentingan yang dengan rakus merampas hak rakyat untuk memperkaya pribadi. Tindakan tersebut sangat menyakitkan masyakarat, pasalnya bantuan sosial yang seharusnya dapat membantu meringankan beban masyarakat di tengah kelesuan ekonomi justru dirampas dengan sewenang-wenang tanpa belas kasihan.
Tulisan ini berupaya melihat perlukah hukuman mati dijatuhkan pada koruptor di tengah pandemi Covid-19 yang sedang dialami oleh bangsa-bangsa di dunia tak terkecuali adalah Indonesia? Terkait dengan legalitas hukuman mati dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut:
Baca Juga: Korupsi: Menguji Integritas Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum |
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2002, yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini, yakni sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Apabila melihat dampak pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan darurat kesehatan dan menimbulkan gonjang-ganjing perekomian di Indonesia, kemudian Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional maka keadaan ini dapat dijadikan sebagai pemberatan untuk menjatuhkan pidana mati pada koruptor. Namun untuk memberlakukan hukuman mati bagi koruptor tersebut masih menemukan hambatan lantaran parameternya belum jelas, hal ini tentu dapat mengganggu penegak hukum untuk menjatuhkan pidana mati bagi para koruptor.
Korupsi memang tidak dijelaskan secara detail dalam kajian Islam klasik, namun untuk melihat bagaimana korupsi menurut hukum pidana Islam setidaknya terdapat delapan istilah yang dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: pertama, ghulul (penggelapan). Muhammad Rawas Qala‘arji dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha memberikan definisi ghulul sebagai mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. Kedua,Risywah (penyuapan) yakni sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.
Ketiga,Ghasab (mengambil paksa harta orang lain). Keempat, Khianat (pembatalan sepihak atau melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama). Kelima,Sariqah (pencurian). Keenam,Hirabah (perampokan). Syamsuddin Muhammad dalam Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj memberikan definisi hirabah sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah, dengan tujuan untuk menguasai atau merampas harta benda milik orang lain tersebut atau dengan maksud membunuh korban atau sekedar bertujuan untuk melakukan teror dan menakut-nakuti pihak korban. Ketujuh, al-Maks (pungutan liar), dan kedelapan,al-Ikhtilas (merampas dengan tipuan).
Baca Juga: Perintah Anti-Korupsi dalam QS. An-Nisa: 58 |
Hukuman bagi pelaku koruptor dapat dikategorikan ke dalam jarimah ta‘zir. Hal ini disebabkan karena modus operandi tindak pidana korupsi sangat kompleks, sehingga penetapan dan putusan hukum berada di tangan penguasa (ulil amri). Dalam hal menentukan jenis hukuman bagi koruptor, penguasa harus memperhatikan prinsip keadilan dan kemaslahatan umum.
Dalam keadaan negara sedang memasuki resesi akibat pandemi serta memperhatikan aspek kepentingan umum akibat korupsi, maka hukuman ta‘zir yang paling berat berupa hukuman mati terhadap para koruptor dapat dijatuhkan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukuman mati tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai upaya efektif dalam rangka menjaga ketertiban dan kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments