Sunan Kalijaga atau yang memiliki nama asli Raden Mas Said merupakan salah satu dari Walisongo yang cukup masyhur kala itu bahkan hingga kini. Siapa yang masih merasa asing dengan nama Sunan Kalijaga? Jika ada, saya sarankan agar melancong ke Jogja terlebih dahulu, pasti akan ketemu dengan UIN Sunan Kalijaga hehehe.
Kali ini, bukan Sunan Kalijaga yang berbentuk universitas itu yang akan saya bahas. Melainkan Sunan Kalijaga sebagai wali yang telah memberikan sumbangsihnya dalam bentuk petuah, ajaran, dan ilmu laku kebijaksanaan hidup yang, saya rasa, masih sangat relevan jika diaplikasikan saat ini, bahkan hingga anak-cucu saya kelak.
Baca juga: Tradisi Baru Pimpinan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
Memasuki abad ke-21 ini, saya rasa ada hal yang membangunkan kegelisahan kita bersama. Tak hanya kita. Mungkin, jika Sunan Kalijaga hidup saat ini, entah bagaimanakah keresahan yang dirasakan beliau? Pastinya keresahan itu berjalin kelindan tanpa tedeng aling-aling. Tapi, keresahan seperti apa, sih, yang tega membangunkannya dari ketenangan yang amat kita damba-dambakan.
Keresahan yang pertama dan yang paling utama, yaitu, adanya globalisasi. Kita tidak bisa memungkiri, adanya globalisasi, di satu sisi memberi pengaruh yang signifikan pada ranah teknologi dan semakin mempermudah kita semua dalam berbagai hal. Ketika dimanfaatkan untuk hal-hal positif, adanya globalisasi akan meningkatkan etos kerja, menumbuhkan jiwa mandiri, lebih rasional, sportif, dan cenderung disiplin.
Kemajuan teknologi menyebabkan kehidupan sosial ekonomi yang lebih produktif, efektif, dan efisien, sehingga membuat produksi dalam negeri tak lagi merasa insecure bersaing di ranah internasional.
Akan tetapi, agar kita tak terperangkap dalam jurang kefanatikan yang membuta, segala sesuatu perlu ditelaah melalui dua sisi. sudah jelas, bukan? Bahwa malam akan terasa memuakkan jika tak ada siang. Begitupun dalam menyikapi globalisasi atau kemajuan teknologi kini. Selain memiliki sisi positif, tentunya memiliki sisi negatif. Sisi negatif itulah yang berhasil membangunkan keresahan kita bersama. Tentunya Sunan Kalijaga, andaikan beliau masih hidup, lho, ya.
Tak cukup itu saja, perkembangan zaman tersebut juga tak diimbangi dengan etika yang mumpuni. Etika terhadap sesama manusia, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Meminjam istilah yang sering diutarakan oleh Alm. KH. A. Dimyathi Romly pengasuh PP. Darul ‘Ulum Jombang yang kurang lebih begini bunyinya “Aku ora butuh santri seng pinter, aku butuhe santri seng ngerti” (Aku tidak butuh santri yang pintar, aku hanya butuh santri yang mengerti).
Baca juga: Pesantren dan Eksistensi Bahasa |
Banyak orang yang pintar, tapi sedikit orang yang mengerti. Mengerti dalam artian di sini adalah memahami situasi, kondisi, dan toleransi. Percuma saja pintar, tapi dengan manusia lain tak ada rasa empati dan simpati. Demi sesuap nasi rela menjatuhkan teman sendiri. Nyatanya memang begitu, bukan?
Sekali lagi, itulah keresahan-keresahan yang kita rasakan saat ini. Padahal, beberapa abad silam Sunan Kalijaga telah memberikan petuah yang sangat dinamis. Petuah yang sangat meruang dan mewaktu. Sebab−seperti yang telah saya sampaikan di atas−petuah tersebut tak lapuk di hujan dan tak lekang di panas.
Anglarasan ilining banyu, angeli ananging tan keli. Jika dalam Bahasa Indonesia, maka berbunyi: ikutilah arus air, tapi jangan tenggelam di dalamnya. Beberapa abad silam, beliau−Sunan Kalijaga−telah mengingatkan masyarakat agar mengalir saja dalam kehidupan yang dinamis, namun tak hanyut di dalamnya.
Bayangkan saja, jika beliau (baca: Sunan Kalijaga) hidup lagi di masa kini. Sudah jelas−dalam benak saya−beliau akan mencecarkan ulang gagasan beliau tersebut dengan bahasa yang modern pula. Jika dijabarkan ulang, kurang lebihnya beginilah penjabaran Anglarasan Ilining Banyu, Angeli Tan Keli tersebut:
Pertama, anglarasan ilining banyu; ikutilah mengalirnya air. Air dalam konteks ini merupakan kehidupan. Karena kehidupan ini layaknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Selalu dinamis. Agar tak tertelan oleh waktu, tentu kita perlu meng-upgrade pengetahuan dan pemikiran kita. Berkembangnya pengetahuan selalu beriringan dengan berkembangnya zaman. Dari sanalah munculnya pusparagam teknologi yang makin hari makin canggih.
Hal ini juga menuntut kita agar berpikiran lebih terbuka. Pemikiran yang pelit dan sempit merupakan suatu problem yang paling subversif di masa kini. Mungkin tak perlu saya jelaskan lebih rinci lagi tentang beratnya rintangan kita melawan mereka-mereka yang berpikir dan beragama dengan konservatif. Letih. Sudah tentu menjengkelkan pastinya.
Konsep anglarasan ilining banyu ini juga telah diajarkan oleh Sang Revolusioner terbesar sepanjang masa, yakni Nabi Muhammad SAW. Beliau, Nabi Muhammad SAW telah berhasil menjadi lentera di tengah kelamnya kultur budaya kaum kafir yang keukeuh mempertahankan ajaran nenek moyangnya.
Sepeninggal Nabi Muhammad, kondisi umat terus berkembang seiring berkembangnya kemajuan zaman. Di situlah pentingnya mengikuti arus kehidupan yang tak ada satu orang pun tahu titik pemberhentiannya, agar tak terjebak pada kultur yang terkesan konservatif dan pelit terhadap kemajuan.
Selanjutnya, angeli ananging tan keli; mengalir tapi tak hanyut di dalamnya. Maksudnya adalah, kita boleh saja berkembang sesuai perkembangan zaman. Tetapi, hanya ikan mati dan sampah yang larut dalam aliran air. Ya, begitulah pepatah mengatakan. Artinya, sejauh apapun kita melangkah, semaju apapun kita mengikuti perkembangan zaman, jangan sampai kita terbawa oleh arus kemajuan dan globalisasi yang justru malah memperbudak kita.
Harus ada pijakan fundamental yang bersifat spiritual dan bertautan dengan moral guna menghadapi arus globalisasi yang pantang berhenti. Setidaknya, jika Sunan Kalijaga hidup lagi di masa kini, anglarasan ilining banyu, angeli ananging tan keli itulah yang sudah pasti digencarkan kembali untuk melelapkan keresahan yang kita rasakan kini.
Sangat disayangkan, jika petuah ini hanya angin lewat yang sesekali bertiup memasuki ruas telinga kita. Perlu kiranya kita tancapkan lalu beri pupuk agar berbuah menjadi akhlak yang baik. Karena dalam hidup, yang kita butuhkan adalah kebaikan. Kebenaran cukup kita jadikan pijakan, karena sifatnya yang relatif. Sedangkan kebaikan bersifat universal. Perlu dan wajib untuk kita realisasikan.
Baca juga: Menakar Jiwa Manusia: Petuah Ki Ageng Suryomentaram |
Melalui tulisan ini, semoga kita tersadarkan dan tercerahkan tanpa perlu menunggu Sunan Kalijaga bangkit dari keabadiannya. Cukup ajaran dan segala petuahnya yang hidup dan kekal dalam kehidupan. Tentunya, melalui kita-kita yang terus berjibaku mencari dan terus meng-upgrade ilmu pengetahuan, tanpa menafikan ajaran-ajaran terdahulu.
Editor: Andika S
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments