Saya ingin memulai tulisan ini dengan status facebooknya Kyai Abdul Moqsith Gazali. Berikut kutipan langsungnya: “… Kesalahan itu ternyata bukan hanya pada teks-tulisan ayat-ayatnya, melainkan juga pada pengungkapan verbal ustazahnya. Kesalahan di tulisan terkonfirmasi pada kesalahan di pelafalan. … Kesalahan itu biasa. Yang penting kita tak pernah berhenti belajar termasuk belajar membaca Al-Qur`an.”
Tentu saja Anda telah tahu, bahwa ini berkaitan dengan keriuhan dua hari yang lalu dalam sebuah ceramah di Metro TV. Beberapa lama berselang, muncul klarifikasi berupa capture dialog WA, bahwa ustazah terkait melimpahkan kekeliruan itu kepada alat. Klarifikasi ini diikuti oleh Metro TV yang menyampaikan hal serupa. Kemudian, muncul pula klarifikasi dan permintaan maaf versi video dari sang ustazah di Youtube.
Telah banyak yang melakukan koreksi. Koreksi-koreksi ideologis dan caci-maki yang berasal dari problem ‘nun di sana’ tumpah ruah. Tapi, mari kita lepaskan perkara ini dari keriuhan tiada henti tersebut. Koreksi paling dasar adalah dengan menyajikan versi benar dari ayat yang dijelaskan oleh Ustazah Nani. Koreksi di level berikutnya lebih detail dengan menjelaskan perbedaan makna antara الصلة dan الصلاة, atau kekeliruan gramatik الرسول الله dan semacamnya. Perhatian yang lebih fundamental menyoroti selektifitas stasiun tv terkait dan kompetensi sang Ustazah.
Koreksi yang disampaikan oleh Kyai Moqsith Gazali berada di kategori terakhir. Ia menilai Ustazah Nani memiliki problem kompetensi, yang tergambar dalam kekeliruan penulisan dan pengungkapan. Adapun terkait selektifitas stasiun televisi, bisa kita lihat dalam komentar Prof. Mahfud MD, sebagai salah satu contoh. Koreksi dari kedua tokoh ini menolak pengambinghitaman alat. Bagi mereka, kekeliruannya lebih mendasar dari sekedar problem teknis tersebut.
Beberapa kali teman membujuk saya untuk menulis tentang suatu hal, dan beberapa kali saya menolak dan tidak menyanggupi. Selain problem waktu (sebagai bentuk ngeles dari virus malas), saya menolak jika apa yang akan saya sampaikan hanya menambah keriuhan tanpa suatu hal yang baru. Percuma menimba air ke laut.
Akan tetapi, dalam hal ini, saya merasa khawatir problem kompetensi yang disuarakan oleh Kyai Moqsith dan Prof. Mahfud MD belum masuk akal bagi para pembaca secara luas. Hal ini tampak dari sejumlah komentar yang menganggap kekeliruan ini hanya sekedar ‘typo’ semata. Bahkan koreksian yang menjelaskan perbedaan makna الصلة dan الصلاة juga bisa disalahpahami sebagai typo. Sangat maklum sekali, dalam bahasa Indonesia, typo juga bisa mengubah makna. ‘berteriak macam mengaum’ berbeda artinya dengan ‘berteriak macan mengaum’. Ini contoh typo dalam bahasa Indonesia yang bermuara pada kesalahan makna. Saya khawatir, begitu pula persepsi masyarakat luas terhadap problem Ustazah Nani ini, sehingga protes Moqsith dan Mahfud MD tentang kompetensi tidak begitu bermakna karena tidak dipahami oleh masyarakat umum.
Untuk itu, saya menulis ini untuk memperlihatkan lebih jauh bahwa kesalahan dari tulisan itu bukanlah typo biasa. Jika hal ini kemudian telah dipahami, maka klarifikasi dari Ustazah dan Metro TV yang mengambinghitamkan alat juga dengan sendirinya terlihat tidak masuk akal. Karena, benar kata Kyai Moqsith, menyalahkan alat dalam hal ini terlihat sebagai seperti ‘berkilah’.
Dalam gramatika dasar Arab, dikenal dua cabang ilmu: Nahwu dan Sharf. Sharf adalah ilmu tentang bentuk kata. Jika dianalogikan ke dalam bahasa Indonesia, ilmu ini membahas keragaman antara ‘baca, membaca, dibaca, bacaan, pembacaan’ dan seterusnya. Bedanya, dalam bahasa Arab, keragaman tersebut bersifat lebih fix dan teratur. Adapun ilmu Nahwu berkenaan dengan keragaman harakat akhir kata. Bagian ini mungkin tidak ada analoginya dalam bahasa Indonesia. Dengan ilmu ini, seseorang bisa mengetahui kapan sebuah kata dibaca qalamun, qalamin, qalaman, al-qalamu, al-qalama, dan al-qalami.
Setiap ragam bentuk kata yang dibahas dalam ilmu Sharf dan keragaman harakat akhir yang dibahas dalam Nahwu akan bermuara pada perbedaan makna. Contoh yang sangat populer dalam ayat Al-Qur`an adalah surat al-Taubah ayat 3:
أن الله بريء من المشركين ورسوله
Ayat tersebut dibaca annallāha barī`un min al-musyrikīna wa rasūluhu. Artinya, “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik, begitu pula Rasulnya (berlepas diri dari mereka).” Suatu ketika, seseorang membaca ayat ini dengan annallāha barī`un min al-musyrikīna wa rasūlihi di dekat Abu Aswad al-Duwali. Bacaan kedua ini berarti “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang musyrik dan rasulnya. Jika di bacaan pertama Allah dan Rasul adalah subjek yang berlepas diri dari orang musyrik, bacaan kedua bermakna orang musyrik dan Rasulullah adalah dua golongan yang Allah berlepas diri dari mereka. Tentu saja kedua ini sangat berbeda sekali. Dalam sejarahnya, kesalahan bacaan ini lah yang kemudian memunculkan upaya untuk memberi harakat pada Al-Quran.
Hal serupa juga bisa kita lihat dalam surat Fathir ayat 28:
انما يخشى الله من عباده العلماء
Ayat itu seharusnya dibaca innama yakhsyallāha (dengan fathah) min `ibādihi al-`ulamā`u (dengan dhammah). Jika seseorang membaca innama yaksyallāhu (dengan dhammah) min `ibādihi al-`ulamā`a (dengan fathah), maka artinya akan sama sekali berbeda. Yang pertama, “Hanyalah yang takut kepada Allah dari hamba-hambanya adalah para ulama”, sementara yang kedua, “Hanyalah yang Allah takuti dari hambanya adalah ulama.” Tentu saja yang kedua tidak benar.
Kejadian serupa dua contoh di atas dalam kasus Ustazah Nani berada pada penulisannya terhadap kata munkar. Kata ini seharusnya berharkat kasrah, dibaca al-munkari, sementara dalam tayangan tersebut tertulis dengan fathah, al-munkara. Jika demikian halnya, bukankah itu bisa dianggap sama dengan typo yang bermuara kepada perubahan makna sebagaimana ‘macan mengaum’ dan ‘macam mengaum’?
Oke. Mari kita anggap saja, bagian ini adalah typo harakat. Tapi, mari kita cek contoh berikutnya.
Mayoritas kata dalam bahasa arab berakar dari 3 huruf, seperti كتب, درس, أكل, هدى, رمى dan sebagainya. Dalam ilmu Sharf, seseorang akan mempelajari keragaman bentuk kata yang berasal dari 3 huruf sederhana tersebut. Umpamanya, kita mengenal kata astaghfiru atau istighfār (أستغفر, استغفار). Kedua kata tersebut memiliki masing-masing enam dan tujuh huruf. Coba aja Anda hitung. Akan tetapi, seseorang yang belajar ilmu Sharf mengetahui bahwa kata tersebut berasal dari kata sederhana tiga huruf غفر. Seketika disebutkan sebuah kata tertentu, orang yang mengerti Sharf akan bisa menebak kata dasarnya. Tafsīr, dari fasara; karīm dari karama; hidāyah dari hada; ihtada dari hada; yahtadi, masih dari hada, dan sebagainya. Bahkan, meskipun seseorang tidak mengetahui makna dari kata sebuah kata tertentu, ia masih akan bisa menebak, atau paling tidak memperkirakan kata dasarnya. Hal ini sangat dimungkinkan, karena keragaman bentuk kata dalam bahasa Arab tersebut telah baku dalam rumus, dan belajar Ilmu Sharf adalah mempelajari rumus-rumus tersebut.
Dalam kasus Ustazah Nani, mari kita bahas satu kata saja, تنح. Kata ini seharusnya ditulis تنهى. Jika diperhatikan secara seksama, perbedaannya ada pada huruf هـ (ha besar, begitu dulu saya mempelajarinya), yang berganti dengan ح (ha padeh/pedas, karena pengucapannya seperti orang kepedesan). Dalam hal ini, kekeliruan ini bukanlah typo semata.
Mari kita bedah dulu dari versi yang benarnya, تنهى. Kata tanhā bentuk dasarnya adalah نهى (nahā). Huruf ta di awal itu adalah tuntutan rumus karena kata sebelumnya adalah al-shalāta (الصلاة). Beberapa bahasa menggunakan kategori gender, seperti he dan she dalam bahasa Inggris atau der, die, dan das dalam bahasa Jerman. Bahasa Arab juga begitu, ada kata feminine dan ada maskulin. Ta marbuthah di akhir الصلاة mengindikasikan jenisnya sebagai kata mu`annaṡ (feminine). Bentuk mu`annaṡ inilah yang mengharuskan نهى berubah menjadi تنهى.
Adapun yang tertulis dalam tayangan ceramah Ustazah Nani adalah تنح. Huruf ta di awal telah mengikuti rumus: kata mu`annaṡ menghendaki ta di awal kata kerja setelahnya. Jika demikian, kata dasar yang dikehendaki dari تنح adalah نح. Hal ini tidak mungkin, karena semestinya ia terdiri dari tiga huruf, sementara نح hanya dua huruf. Apakah ini sebuah pengecualian? Benar, setiap bahasa ada pengecualiannya, akan tetapi setelah dicek di kamus, tetap kata kerja نح tidak ditemukan.
Kemungkinan lainnya, huruf paling belakang kata itu terhapuskan. Rumus ini memang ada dalam Nahwu-Sharf, namanya hazf. Contohnya, فان لم تفعلوا (fa in lam taf`alū). Awalnya, ia berbentuk taf`alūna (تفعلون). Karena tuntutan rumus, huruf nūn di akhir dihapus dan dalam kasus ini diganti dengan alif. Akan tetapi, untuk konteks inna al-shalāta tanha, tidak ada rumus yang mengizinkan/mengsyaratkan penghapusan huruf terakhir tersebut.
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa Ustazah Nani tidak akrab dengan perkara-perkara sangat mendasar seperti ini. Begitu pula, كن (kana) yang seharusnya ditulis كان itu adalah pengetahuan Nahwu yang sangat sangat mendasar sekali. Ibarat bermain bola, pengetahuan semacam ini sangat awal, seperti kemampuan kontrol atau drible dasar. Dalam konteks keulamaan, Nahwu dan Sharf ini posisinya adalah kontrol dan drible tersebut.
Dengan demikian, klarifikasi Ustazah Nani di grup Whatsapp dan klarifikasi Metro TV yang mengambinghitamkan alat itu sejatinya bukanlah klarifikasi, melainkan kilah. Itu ibarat seseorang yang gagal mengontrol atau mendribel sebuah bola, lantas kemudian menyalahkan bolanya yang rusak, terlalu besar, terlalu kecil, atau kilah-kilah lainnya. Padahal, Paulo Dybala (contoh dari seorang juventini tentu saja 😀 ), sangat bisa juggling dengan bola pingpong, meskipun ukurannya sangat mini.
Tentu saja kita bisa menerima klarifikasi dari Metro TV sebagai upaya mereka yang harus melindungi narasumber yang mereka undang. Justru, secara manusiawi, akan semakin keliru jika mereka melimpahkan kesalahan kepada Ustazah Nani. Akan tetapi, kembali, semua itu tidak menutupi problem kompetensi dari sang Ustazah.
Sebenarnya, bukan hanya itu. Mengerti atau tidaknya seseorang terhadap bahasa Arab atau Nahwu Sharaf, bahkan juga bisa dilihat dari ketepatan dia melakukan transliterasi. Transliterasi adalah memindahkan tulisan Arab ke bentuk latin.
Umpamanya, sebuah berita di khazanah republika (http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/12/05/p0hawp396-salah-tulis-ayat-alquran-ini-klarifikasi-ustazah-nani-h) yang menurunkan transkrip klarifikasi video Ustazah Nani ke bentuk tulisan. Mau tidak mau, sang penulis berita harus menuliskan ungkapan-ungkapan Arab dari Ustazah ke tulisan latin. Dalam hal ini, terlihat bahwa yang bersangkutan juga tidak familiar dengan Nahwu dan Sharf. Misalnya, dia menulis “alladzi lailaha illa hual hayyul…” Seharusnya dia menulisnya la ilaha secara terpisah, karena itu adalah dua kata yang berbeda. Terutama sekali pada contoh “… wa illam taghfirlana”, yang seharusnya ia tulis “… wa in lam taghfir lana”. Memang bacaanya illam, akan tetapi, itu terdiri dari dua kata, in dan lam. Terlihat bahwa penulis berita ini hanya bermodalkan pendengarannya, tanpa pengetahuan Nahwu-Sharf atau bahasa Arab.
Jika menulis versi latin-nya saja bisa menjadi pintu masuk untuk mengetahui kompetensi seseorang dalam Nahwu-Sharaf secara khusus dan keilmuan Islam secara umum, apalagi penulisan versi Arabnya.
Dari peristiwa ini, ada paling tidak dua pelajaran yang bisa kita petik.
Pertama, pihak Metro TV, dan tentu saja pihak lain-lainnya yang berada dalam posisi mencari narasumber untuk sebuah pengajian, baik stasiun TV, majelis ta’lim perkantoran, pesantren kilat, dan sebagainya, perlu mempertimbangkan dengan sangat sangat nasihat yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD. Peristiwa semacam ini sebenarnya bukanlah barang langka. Bahwa ia muncul di TV lah yang membuat publik ribut. Kenyataannya, Ustazah Nani telah berkiprah berceramah di banyak kesempatan; ada beberapa videonya di youtube, dan bahkan ada arsipnya yang dikumpulkan dan disebar dalam bentuk aplikasi smartphone. Saya yakin, masih banyak Ustazah Nani yang lainnya di sekitar lingkungan kita.
Kedua, memang benar setiap kita berkewajiban untuk tawashau dan dakwah. Akan tetapi, ibarat kata orang Minang, maukua sapanjang bayang-bayang. Kita harus lebih mengerti dulu batasan kemampuan diri sendiri dalam berdakwah. Dalam hal ini, saya merujuk kepada sebuah video Gus Nur yang dalam sebuah ceramahnya dia mengakui bahwa dia memang tidak bisa baca kitab. Tapi dia menyampaikan protes, “Lantas apa tidak boleh kita berdakwah, menyampaikan yang ma’ruf?!”, lebih kurang demikian katanya, tentu saja dengan nada dan intonasi khas dia.
Dalam hal ini, saya menjawabnya: Iya, boleh. Tapi, kenali dulu seberapa jauh kompetensi pribadi kita masing-masing sebelum berbicara di depan orang banyak. Dan jangan menyampaikan sesuatu melebih komptetensi itu.[]
0 Comments