Keluarga Petani

Para petani dalam kontinuitas pekerjaannya telah membangun budaya interaksi sosial yang unik dengan segenap balutan kesederhanaannya.4 min


2
2 points
gambar: shutterstock.com

Membaca tulisannya mas Badawi yang berjudul “Nikmatnya Bertani” menimbulkan getaran di hati. Menggiring rasa simpati sekaligus merasa berdosa terhadap kedua orang tua saya selaku petani.

Pertama, menggiring rasa simpati. Memang benar apa yang telah dijelaskan oleh mas Badawi, bahwa para petani dalam kontinuitas pekerjaannya telah membangun budaya interaksi sosial yang unik dengan segenap balutan kesederhanaannya. Melibatkan vokalisasi yang keras, mimik, gestur dan kode-kode tertentu yang merepresentasikan apa yang hendak diujarkannya. Sederhananya, berkomunikasi di area pertanian memiliki kekhasannya tersendiri. Menambah gaya interaksi sosial yang kemudian menjadi budaya dalam tradisi bertani.

Gaya interaksi sosial dalam tradisi bertani itu pula yang sering menjembatani tumbuhnya rasa simpati di antara para petani. Saling memahami apa yang menjadi kebutuhannya dalam akitivas bertani. Sehingga tidak segan-segan untuk saling berbagi wawasan, pengalaman dan bahkan menyodorkan solusi terhadap persoalan pertanian yang sedang dihadapi satu sama lain. Pola interaksi sosial dalam tradisi bertani ini menyebar pada aspek komunikasi intens yang lain. Termasuk di dalamnya terjalin kedekatan emosional layaknya ikatan persuadaraan. Sebab merasa senasib dan sepenanggungan.

Namun di balik sisi positif yang saling menguntungkan tersebut, tidak jarang pula aktivitas dalam pertanian menampilkan wajah negatif yang menyulut kontradiktif, sampai pada cekcok mulut bahkan pertengkaranpun tidak dapat terelakan. Seperti halnya yang terjadi di kampung saya. Monopoli irigasi sering terjadi. Dimana kali (sungai) yang merupakan sarana umum terkadang disabotase oleh satu pihak tertentu yang memiliki area persawahan yang luas. Sementara lahan yang lain membutuhkannya. Padahal kali tersebut dibuat dan dikelola bersama-sama. Aneh bukan?.

Tidak hanya demikian, terkadang ada pula kasus yang lebih mencengangkan, dimana batas kepemilikan lahan digeser oleh oknum tertentu. Jalan sebagai batas kepemilikan di antara dua sawah digeser. Hal ini terkadang membuat geram pihak yang merasa dirugikan. Namun hal tersebut terkadang diredam atas nama kerukunan, di simpan sampai pada akhirnya ada proses pemutihan lahan. Selain itu, terkadang ada pula kasus yang lebih nyeleneh, dimana hasil panen padi yang telah dikarungi dan siap dijemur hilang dicuri orang. Jika demikian, entah apa yang akan menjadi pengering keringat hasil jerih payah perjuangan.

Kedua, merasa berdosa terhadap kedua orang tua saya. Jarak dan tekad telah memisahkan saya dengan keluarga tercinta, sehingga tidak dapat membantunya setiap waktu. Namun saya tahu betul, bahwa kedua orang tua saya tinggal di kampung, dan kebetulan profesi utamanya adalah bertani. Memang lahan dan hasil panennya tidak seberapa banyak, namun hasil pertanian inilah yang menjadi penyambung kehidupan keluarga kami.

Tatkala musim cocok tanam tiba, biasanya Ibu menyisihkan beberapa kilogram padi untuk direndam di kolam. Proses perendaman ini dimaksudkan untuk menumbuhkan tunas dan akar biji padi. Kurang lebih selama tiga hari proses perendaman ini berlangsung. Kemudian, padi ditiriskan selama satu hari di daratan, yang kemudian ditebar di lahan yang telah disiapkan dan ditutupi tipis dengan jerami yang telah kering.

Sembari menunggu benih padi tumbuh sampai dengan sekitar kurang lebih dua puluh lima centi meter, biasanya lahan yang kering akan diairi terlebih dahulu, setelah itu baru dibajak. Untuk membajak sawah sendiri biasanya ada beragam cara, bisa menggunakan traktor, bajak menggunakan tenaga kerbau (bahasa Sunda red: munding) ataupun menggunakan cangkul secara manual.

Semua cara memiliki efektivitas dan efisiensi masing-masing. Tergantung keadaan dan keinginan para petani tersebut. Saya tidak ingin mengatakan, bahwa terkadang proses membajak sawah di kampung saya juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, waktu dan keumumannya (bahasa Sunda red: galibna). Yang pasti, membajak sawah selalu dalam rentan waktu yang bersamaan dengan khalayak para petani di sekitar lingkungannya.

Pernah suatu ketika, beberapa kali saya diajak sekaligus diajari cara untuk mencangkul sawah yang baik dan supaya tidak mudah capek oleh bapak saya. Sembari mencangkul, sesekali beliau gemar menasehati, kurang lebih demikian “Rek jadi naon bae, tetep kudu bisa merenahkeun awak. Ek jadi guru nya tetep kudu bisa macul, bisa ka sawah jeung bisa kapake kunu sejen”. (Ingin menjadi apa saja, tetap harus bisa beradaptasi. Jadi guru pun tetap harus bisa mencangkul, bisa bertani dan mampu bermanfaat untuk orang lain).

Namun bagi saya tidak dipungkiri, mencangkul sawah dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang merupakan aktivitas yang sangat melelahkan sekali. Merasa pegal, keram dan lecet di tangan adalah hal yang sangat lumrah. Meskipun demikian, terkadang aktivitas yang memberatkan itu dilakukan hampir sampai jam lima sore. Hanya berhenti sejenak untuk makan, minum dan salat. Sebagai efeknya, biasanya terasa di malam hari, terkadang bapak minta dipijati. Saya mulai memahami, bahwa tidak ada pekerjaan yang benar-benar berat selama dikerjakan dengan ikhlas dan sepenuh hati. Utamanya untuk mencukupi kebutuhan orang-orang tercinta dan yang terkasihi.

Satu-dua hari setelah dibajak, biasanya Ibu langsung nandur binih pare (menanam benih padi). Dimana sebelumnya, lahan kosong siap tanam telah terlebih dahulu digarisi kotak dengan rapi. Biasanya menggunakan alat persegi panjang kongruen yang berbingkai kubus (dalam istilah Sunda disebut geledeg). Proses ini lebih sering dikerjakan oleh Ibu. Karena ada asumsi, terutama di kampung saya, perempuan lebih teliti dan rapi. Namun meskipun demikian, terkadang bapak juga turut andil. Sementara saya lebih suka mengusung benih padi yang siap ditanam. Alasan klasik untuk menutupi ketidakmampuan saya untuk nandur padi.

Setelah proses nandur selesai, untuk beberapa bulan ke depan proses pengairan yang stabil dan perawatan menjadi perhatian. Salah satu cara perawatan tanam padi tersebut di antaranya ialah dengan memberikan pupuk secukupnya. Biasanya ada dua jenis pupuk yang digunakan, yakni pupuk kandang dan juga pupuk kimia. Sudah barang tentu penggunaan pupuk tersebut sangat mempengaruhi pada pertumbuhan, kualitas biji padi dan seberapa banyak hasil panen. Selain itu, perawatan lainnya ialah mengecek irigasi secara bergantian setiap pagi dan sore hari. Tidak heran, hal ini dilakukan, mengingat sabotase air selalu terjadi setiap saat, bahkan setiap hari.

Proses panen adalah salah satu puncak kebahagiaan para petani. Terlebih-lebih padinya bersisi dan berkualitas tinggi. Meskipun terkadang hama dan bencana sering menggagalkan kebahagiannya tersebut. Aktivitas panen padi di kampung saya masih tradisonal, tanpa selip padi.

Untuk memisahkan biji padi dengan batangnya cukup menggunakan media (alat bantu) yang terbuat dari perpaduan bambu dan kayu yang dibentuk segitiga siku-siku, dalam istilah bahasa Sunda disebut gegebuk. Istilah yang dilekatkan pada cara kerjanya cukup simple. Dimana biji padi yang masih menempel di batangnya dipukulkan berkali-kali di alat tersebut, terus demikian sampai biji dan batang padi terpisah. Proses yang lumayan menguras tenaga.

Uniknya di kampung saya, semua proses panjang dari rentetan bertani tersebut terkadang hanya cukup dikerjakan oleh seorang ibu, utamanya tatkala sosok bapak sedang mencari kerja sampingan di luar kota. Atau memang perempuan-peremuan dewasa lain yang telah menyandang status sebagai janda.

Ah, namun sayang, semua rentetan proses tersebut terakhir saya nikmati tatkala pertengahan kuliah di strata satu dulu. Rasanya saya telah menjadi anak durhaka. Dimana akhir-akhir ini saya merindukannya, sebab setiap pulang semester tidak mesti itu waktunya bertepatan dengan bercocok tanam padi dan panen. Bahkan terakhir kemarin ada kabar kurang menyenangkan, dimana padi yang sudah matang gagal panen akibat banjing bandang. Air sungai meluap menutupi persawahan.

Agaknya ada benarnya juga apa yang telah disampaikan Bu Ahdar dalam tulisannya yang berjudul “Memaknai Waktu dalam Surah al-Ashr”, waktu tepatlah waktu, dimana keadannya tidak dapat diulang, dipercepat ataupun diperpanjang. Sebab yang telah terlewati adalah kenangan. Apa yang sedang dijalani adalah kesempatan waktu untuk berproses yang harus dimajemen secara matang. Dan besok adalah waktu yang keadaannya harus lebih baik dari sekarang.


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals