Bulan maulid memang telah lewat, namun spirit kecintaan dan keteladanan kita terhadap Nabi Muhammad saw tentu tidak boleh ikut terlewat. Sejalan dengan spirit itu tulisan ini kiranya masih relevan dihadirkan guna merunut ceramah TGB mengenai hal tersebut. Ceramah yang disampaikannya sebagai penceramah pertama pada puncak rangkaian acara maulid di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tuan Guru Bajang (TGB), Muhammad Zainul Majdi, mengawali ceramahnya dengan menyebut kecintaan kepada Rasulullah memerlukan latihan dan pembiasaan. TGB mengafirmasi hal ini dengan menukil hadis riwayat Imam al-Syairazi, al-Dailami, dan Ibnu Najar dari sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Dapat dilihat dalam kitab al-Jami’ al-Shaghir karya Imam al-Suyuthi. Yakni, addibu awladakum ‘ala tsalatsi khishalin hubbi nabiyyikum wa hubbi ahli baytihi wa qira’ati al-qur’an (didiklah anak-anak kalian atas tiga perkara: mencintai Nabi dan keluarganya, serta membaca al-Quran dengan penuh cinta).
Karena itu, para ulama mentradisikan peringatan maulid Rasul guna melatih dan membiasakan umat untuk mencintai Nabi dan keturunannya. Lalu, seperti apa batasan cinta kepada Rasul?
Lagi-lagi, TGB mengutip salah satu hadis riwayat Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abdullah bin Hisyam. Hadis yang menceritakan testimoni cinta sayyidina Umar bin Khatthab kepada Rasulullah. Umar bertutur: “Wahai Rasulullah, engkau ialah yang paling kucintai melebihi apa pun selain diriku.” Lantas Rasul menimpali: “Wahai Umar, demi Allah, tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintaiku melebihi cintanya kepada apa pun, bahkan lebih dari dirinya sendiri.”
Memang mahabbah Rasul tidak serta merta terwujud dalam jiwa manusia tanpa intensif diingatkan dan disegarkan. TGB mengungkapkan bahwa sesuatu jika diulang terus-menerus, maka akan melekat di hati (ma takarrara takarrara). Itu alasan yang mendasari para ulama mewejang umat supaya memperbanyak sholawat, karena dengan begitu dapat melekatkan mahabbah Rasul dan lagi tercapainya kesempurnaan iman.
Seperti termaktub dalam prolog kitab maulid al-Barzanji, al-jannatu wa na’imuha sa’dun li man yushalli wa yusallim wa yubarik ‘alayh (surga dan segala kenikmatannya merupakan suatu kebahagiaan atau hadiah bagi siapa saja yang membiasakan bersholawat).
TGB mendedahkan penggunaan fiil mudhari‘ dalam ungkapan tadi, yakni pada lafal yushalli, yusallim, dan yubarik. Bahwa berdasarkan gramatika Arab, fiil mudhari’ itu yufidu al-istimrar (mengandung makna kontinuitas). Sehingga, bersholawat seyogianya dilakukan kontinu dan sebanyak mungkin.
Selanjutnya, TGB menilai kecintaan umat terhadap Rasul bukan sekadar kewajiban, tetapi sebuah kewajaran. Sebab, keagungan cinta Rasulullah kepada umatnya jauh melebihi besaran cinta para nabi yang lain terhadap umat mereka.
Atas itu, TGB mengilustrasikannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah: li-kulli nabiyyin da’watun mustajabatun (setiap nabi diberikan “jatah doa” yang langsung Allah kabulkan); fa-ta’ajjala kullu nabiyyin da’watahu (maka tiap-tiap nabi segera memakai “jatah doa” mereka di dunia); wa inni ikhtaba`tu da’wati syafa’atan li-ummati (sementara saya menyembunyikan “jatah doa” itu dan menyimpannya sebagai syafaat bagi umat saya kelak pada hari kiamat).
Sementara itu, al-Quran melukiskan kasih sayang Rasul pada akhir surah al-Taubah. “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (raufun rahimun) terhadap orang-orang mukmin,” (QS. al-Taubah: 128).
Dari itu, Nabi Muhammad saw menjadi satu-satunya sosok di dalam al-Quran yang dilabeli sifat yang lafalnya persis sama dengan salah satu asma al-husna. Hal ini disebabkan kasih sayang Rasul yang sungguh luar biasa terhadap umatnya, demikian terang TGB dengan berdasar pada tafsiran para ulama yang terdapat di sejumlah kitab tafsir. Ringkasnya, sumbangsih amal umatnya masih belum seberapa dan sangat tak sebanding dengan jasa agung Rasul bagi mereka.
Pada bagian akhir ceramahnya TGB mengajak para jemaah untuk bersama-sama menyegarkan kembali keteladanan Rasul. Salah satunya, sisi keteladanan Rasul fi hayat al-ijtima’iyyah (dalam aspek kehidupan sosial). TGB menegaskan betapa pentingnya membangun hubungan sosial yang baik, sebagaimana halnya Islam begitu memperhatikan hal ini. TGB menjelaskan bahwa urgensi berbagai hal dalam Islam dapat diidentifikasi melalui bagaimana al-Quran membahasakannya.
Di antaranya, terbukti ayat terpanjang al-Quran (surah al-Baqarah: 282) berbicara mengenai transaksi utang piutang. Bukti lainnya, di antara surah-surah makkiyah (surah yang diwahyukan pada periode Mekkah) ada surah al-Muthaffifin yang justru memuat tentang transaksi sosial. Padahal, lazimnya surah makkiyah berisikan ajaran-ajaran yang mengokohkan keimanan, bukan tentang kehidupan sosial.
Sebab itu, selaku bagian dari umat negara berbhineka Indonesia sekaligus bagian dari umat Islam yang berhaluan Aswaja, hendaklah kita wujudkan keberislaman seperti yang diteladankan Rasul, yaitu Islam yang menghadirkan kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian (rahmatan lil-‘alamin).
Menurut TGB, langkah awal mewujudkan hal itu adalah dengan mengokohkan kembali semangat persahabatan dan memperbaiki ikatan persaudaraan (ukhuwwah) di antara sesama. Selain upaya kita untuk terus-menerus belajar menyempurnakan kecintaan kepada Rasul.
TGB memungkasi ceramahnya dengan iktibar persahabatan almarhum KHR As’ad Syamsul Arifin (pendiri Pesantren Sukorejo) dan almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid (pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok). Keduanya bersahabat dekat walaupun tidak setiap saat berjumpa, lantaran persahabatannya tersebut dilandasi keikhlasan cinta dan keulamaan. Ibaratnya, duduknya boleh berjauhan tetapi hati mereka berdua tidak pernah pisah. Berbeda dengan kita yang seringkali malah sebaliknya, duduk bersama namun hati saling membelakangi. Demikian sindir TGB.
Selaku cucu Tuan Guru Zainuddin, TGB berniat hendak menyambung persahabatannya dengan KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pesantren Sukorejo saat ini dan notabene cucunya Kiai As’ad. TGB berpandangan jika kakeknya bersahabat, anak-cucunya juga harusnya bersahabat. Sesuai sabda Rasul, inna min akbari al-birri an yashila al-rajulu ahla wuddi abihi (salah satu cara berbakti sama orang tua adalah dengan menyambung hubungan baik kepada handai tolannya).
Begitulah runutan ceramah maulidnya TGB. Wallahu a’lam bi al-shawab.
One Comment