Sebagai fenomena sosial, agama selalu terikat dengan lokalitas kultur yang bersifat relatif dan partikular. Begitu pernyataan Komaruddin Hidayat dalam bukunya yang berjudul “Wahyu di Langit Wahyu di Bumi”. Lebih tegas ia menyebutkan, bahwa ajaran kebenaran dari Tuhan yang bersifat parennial dan transhistoris ketika sampai pada manusia harus melalui rentangan waktu dan tempat sehingga keragaman agama tidak mungkin untuk dinafikan.
Ia mencontohkan, ketika firman Allah tertuang ke dalam bahasa (Arab) dan pada urutannya diobjektifkan ke dalam wujud tertulis dalam sebuah mushaf, maka wahyu Allah itu telah memasuki pelataran sejarah dan akan terkena kaidah kaidah sejarah yang bersifat kultural-empiris.
Oleh karena itu, sifat lokalitas Islam yang muncul dalam lokus bahasa dan budaya Arab sebaiknya dipahami sebagai bukti dan wadah yang bersifat instrumental historis, sedangkan pesannya yang universal dan fundamental harus terus digali dan diformulasikan ke dalam lokus bahasa dan budaya non Arab, sehingga ekslusivisme bahasa dan budaya Arab bukannya sebagai penghalang penyebaran Islam, melainkan sebagai penjaga otentisitas ajaran Islam.
Barangkali inilah yang dimaksudkan Komaruddin Hidayat sebagai “Ketika Agama Menyejarah”. Pandangan semacam ini sepertinya ada benarnya. Terutama untuk melihat bagaimana fenomena pro kontra pelarangan cadar di beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang baru baru ini sering diperdebatkan.
Memang benar terdapat sejumlah teks agama (al-Qur’an dan hadis) yang berbicara atau memerintahkan wanita untuk mengenakan cadar (niqab) atau yang seidentik dengannya. Namun, jika itu hanya dipahami dengan menyandarkan pada otoritas teks tanpa mengkaji sekaligus mengapresiasi konteks psikologi, sosial, dan demografis di mana teks itu dilahirkan, dikhawatirkan keuniversalitasan teks akan terkalahkan oleh dimensi tekstualnya. Ini tentunya akan menyebabkan pemahaman tentang cadar yang partikularistik.
Pendapat ini tidak untuk menyokong pelarangan cadar di PT ataupun menolaknya, melainkan hanya ingin mengajak untuk melihat fenomena tersebut (cadar) dari sudut pandang lain. Karena, cadar bukanlah satu satunya masalah yang harus diperdebatkan mati-matian hingga kita lupa soal anak yatim dan fakir miskin yang tidak tahu mau makan apa besok pagi dan masalah sosial penting lainnya.
Perlu diingat, di satu sisi cadar adalah ajaran agama, namun di sisi lain, khsusnya dalam perspektif antropologi, ia bisa disebut kultur (budaya) yang bercirikan agama, atau simbol simbol kultural yang digunakan untuk mengekspresikan nilai nilai keagamaan (Islam).
Di samping itu, pelarangan cadar di PT agaknya juga bermuatan politis dan idiologis. Kebijakan pimpinan PT tentang ini tentu tidaklah keluar secara tiba-tiba. Sekilas ini mengisyaratkan adanya sebuah agenda besar yang sudah terstruktur dan tersistematis, entah itu untuk kepentingan idiologi ataupun politik-kekuasaan.
Asumsi ini dibangun berdasarkan hasil Deklarasi Pimpinan PTKIN 26 April 2017 di kampus UIN Ar Raniry lalu. Di antara poinya adalah “Melarang berbagai bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, dan anti-NKRI, intoleran, radikal dalam keberagamaan, serta terorisme di seluruh PTKIN”. Lalu kenyataannya hari ini benar, bahwa cadar diidentikkan sebagai simbol radikal. Dengan begitu, sangat masuk akal, jika kebijakan pelarangan cadar di PT dikaitkan dengan hasil konsesus tersebut.
Pelarangan dengan alasan seperti itu patut dipertanyakan. Karena, kalau memperdebatkan cadar sebagai ajaran (doktrin) agama atau sebagai sebuah budaya tentu boleh boleh saja. Tapi ketika cadar dinterpretasikan dan dipahami sebagai simbol pelau radikal tidaklah tepat sama sekali. Apalagi jika pelarangan cadar digiring dan dikapitalisasi untuk mengehegemoni individu maupun kelompok tertentu, dengan mengklaim mereka sebagai radikalis adalah tindakan yang sungguh keterlaluan.
Talal Asad, seorang Antropolog asal Inggris telah menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa situasi mental tidak pantas dikaitkan dengan simbol yang dimiliki seseorang. Dengan begitu, maka cadar tidak pantas dikaitkan dengan radikalisme. Sekali lagi, boleh saja berpendapat bahwa cadar adalah produk budaya ataupun ajaran agama, tetapi keliru besar jika menginisialkan cadar sebagai simbol radikalisme. Wallahu A’lam…
One Comment