Nilai Transformasi Sosial dalam QS. al-Humazah

Mungkin kita tak pernah berfikir atau bertanya mengapa dalam surat Al-Humazah Allah begitu mencela orang yang mengumpulkan dan menghitung harta?3 min


4
4 points
gambar: medium.com

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilempar ke dalam Huthomah.(dan) Tahukah kamu Huthomah itu? (yaitu) Api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati” (QS. Al-Humazah)

Surat Al-Humazah merupakan salah satu surat pendek yang ada dalam Al-Qur’an. Letaknya yang ada di bagian juz 30 telah membuat surat ini sangat familiar bahkan di kalangan anak-anak sekalipun. Jika dilihat secara zahir tentu surat ini termasuk pada surat sederhana yang singkat, namun perlu diketahui sebetulnya ia memiliki makna yang sangat mendalam.

Baca juga: Sumpah Nabi atas Tiga Fenomena Sosial

Mungkin kita tak pernah berfikir atau bertanya mengapa dalam surat Al-Humazah ini Allah begitu mencela orang yang mengumpulkan dan menghitung harta. Jadi sebetulnya apa sih maksud, hikmah serta semangat di balik ayat-ayat tersebut?

Seorang pemikir Islam asal India, Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam and Its Relevance to Our Age yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Pembebasan telah memberikan penjelasan makna mengenai surat Al-Humazah. Menurutnya di dalamnya terdapat semangat transformatif. Ayat ini juga telah menjadi salah satu argumen penguat atas “teologi transformatif” yang dikembangkan olehnya.

Baca juga: Perlindungan Sosial untuk Indonesia Berkemajuan

“Perubahan” merupakan sebuah diksi yang merujuk pada suatu keadaan yang berubah dan bergerak. Manusia dan perubahan seakan menjadi dua hal yang selalu bergandengan. Manusia dengan potensi akal yang dimiliki dengan sendirinya akan terus berusaha mengikuti arus perubahan, terlebih lagi ketika dibersamai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka secara naluriah agar bisa bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup dan dengan sendirinya manusia akan terus berusaha beralih dan mengubah sistem hidupnya.

Begitupun yang terjadi pada masyarakat Arab di Makah yang pada akhir abad kelima telah mengalami perubahan besar. Masuknya budaya perdagangan menjadi titik balik dari perubahan besar yang dialami oleh masyarakat Makah kala itu. Letak Makah yang strategis membuatnya menjadi jalur utama perjalanan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan. Makah menjadi pusat pertemuan dagang para saudagar yang berasal dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, serta Laut Merah. Kondisi tersebut membuat masyarakat Makah mau tidak mau terbawa arus budaya perdagangan yang mengubah struktur sosial mereka secara drastis.

Baca juga: Membaca Hadis Nabi saw dalam Persepektif Agama dan Budaya

Sebelumnya masyarakat Makah menjalani hidup berdasarkan pada norma kesukuan yang dikenal hidup sederhana serta cara hidup yang nomadik. Hal tersebut membuat kepentingan mereka hanya berkutat pada bagaimana cara untuk bertahan hidup. Selain itu, karakter masyarakat yang cenderung egalitarian pun membuat kondisi sosial mereka cenderung stabil.

Masuknya budaya perdagangan telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat Makah dalam sektor ekonomi, ditandai dengan mulai adanya penggunaan mata uang yang sebelumnya tidak ada dan yang paling pentingnya lagi mereka jadi mengenal budaya menumpuk harta kekayaan sehingga terjadi pemusatan harta kekayaan di kalangan tertentu.

Kontestasi dagang telah membuat karakter egalitarian mereka pun mulai terhapus secara perlahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya stratifikasi sosial. Berbagai masalah mulai muncul, orang-orang yang tidak termasuk pada golongan pedagang sukses menjadi terpinggirkan atau bahkan ditindas. Akibat dari adanya stratifikasi sosial, atmosfer sosial di Arab menjadi tidak sehat, hingga zaman ini dinamai dengan zaman jahiliyah, yang berarti zaman kebodohan.

Qadarullah, atas kehendak Tuhan, seorang lelaki bernama Muhammad bin Abdullah pun lahir di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah dengan mengemban tugas kenabian. Petunjuk Al-Qur’an bak hujan yang turun di tengah-tengah tanah tandus nan gersang. Meskipun wahyu merupakan karya Tuhan yang berasal dari langit, namun tak bisa dielakkan bahwa wahyu turun bukan tanpa sebab, ada kausalitas yang kuat antara wahyu yang turun (baca: Al-Qur’an) dengan fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat Arab.

Dalam surah al-Humazah di atas, kita bisa melihat bahwa isinya merupakan celaan bagi orang yang suka menumpuk harta dan menyangka bahwa harta dunia itu akan kekal padahal harta hanyalah sebuah titipan dari Tuhan yang bersifat sementara. Larangan menumpuk harta itu berarti perintah untuk mengeluarkan harta, dalam artian memberikan pada yang membutuhkan.

Baca artikel lainnya: Bijaksana Memanfaatkan Harta

Hemat penulis “pengeluaran harta” merupakan sebuah konsep utama dalam surat ini. Ada banyak bentuk perwujudan dari penjabaran konsep tersebut. Dalam Islam, kita mengenal konsep zakat dan infaq, sebagaimana yang diperintahkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Bahkan di sisi lain, perintah untuk memerdekan budak juga bisa kita kategorikan sebagai salah satu bentuk perwujudan dari konsep “pengeluaran harta” tersebut.

Zakat, infaq, dan memerdekakan budak merupakan tiga hal yang sangat bernilai transformis. Bagaimana tidak, dengan zakat dan infaq maka kesenjangan ekonomi akan berkurang, dengan memerdekakan budak maka akan mengurangi kesenjangan sosial. Adanya perintah mengeluarkan harta bagai obat penyembuh bagi luka yang selama ini dirasakan oleh masyarakat Makah.

Nyatanya hingga kini, konsep besar “pengeluaran harta” masih diterapkan dan terus berkembang dalam berbagai wujud lain selain dari zakat dan infaq. Misal dengan adanya kebijakan pajak, yang nantinya akan digunakan untuk membangun fasilitas umum dan kepentingan bersama.

Baca juga: Peran Sedekah dalam Mengatasi Kemiskinan di Indonesia

Jadi, bisa kita simpulkan bahwasannya makna di balik ayat Qur’an dalam surat Al-Humazah sangat mendorong pada semangat tranformasi sosial. Dimulai dari larangan menumpuk harta yang berarti perintah untuk mengeluarkan harta dan kemudian berujung pada perubahan (tranformasi) dan perbaikan sosial.

Wallahu ‘alam.

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

4
4 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Noviane Rizka Azhari
Mahasiswa

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals