Kemiskinan menjadi persoalan serius yang harus diperhatian secara khusus. Oleh karena itu Islam, sebagai agama, memberikan penjelasan terkait persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial, baik dari aspek konsepsi maupun implementasinya. Semangat Islam mendorong persoalan kemiskinan ini harus diselesaikan hingga akar-akarnya supaya setiap manusia dapat menikmati kehidupannya di dunia dengan bahagia dan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Bukankah ketika setiap manusia dapat menikmati kehidupannya maka mereka dapat beribadah dengan tenang dan tidak terganggu dengan persoalan makanan?
Salah satu ajaran pokok Islam terkait hal ini adalah mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang mampu untuk selanjutnya disalurkan kepada orang-orang fakir untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Selain itu, dengan zakat maka para dhuafa (orang-orang yang ekonominya lemah) bisa mendapatkan haknya sebagai masyarakat yang terhormat karena orang-orang kaya di masyarakat ikut membantunya.
Baca juga: Nilai Transformasi Sosial dalam QS. al-Humazah
Ajaran tersebut sejalan dengan anjuran Al-Qur’an kepada orang-orang yang mampu untuk menyantuni dan merawat kaum dhuafa, serta memberikan penjelasan bahwa setiap harta yang dimiliki oleh orang-orang mampu tersebut terdapat hak yang harus diberikan kepada kaum dhuafa. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah SWT.,
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta”.
Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Daur az-Zakat fi `Ilaj al-Muskilat al-Iqtishadiya memberikan penjelasan bahwa dari aspek fikih, salah satu pengembangan zakat adalah memperluas cakupan kemiskinan, termasuk kriteria fakir miskin. Hal ini bertujuan supaya masyarakat bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya keberkahan dari adanya zakat.
Baca juga: Peran Sedekah dalam Mengatasi Kemiskinan di Indonesia
Terkait dengan siapa saja yang berhak untuk menerima zakat, para ulama merujuk pada ayat yang terdapat dalam surat At-Taubah (9): 60 berikut:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.
Semua ulama sepakat mengenai kelompok-kelompok di atas yang berhak sebagai penerima zakat jika mereka berstatus sebagai Muslim. Namun, bagaimana pandangan para ulama terkait dengan ahlu dzimmah fakir? Bolehkah ahlu dzimmah fakir menerima zakat?
Baca juga: Nikah Perspektif Zakat
Ahlu dzimmah sendiri adalah ahli kitab dan sejenisnya yang tinggal dengan umat Islam dan bertetangga dengan umat Islam atau satu kewarganegaraan dengan negara Muslim. Dari pengertian tersebut, ahlu dzimmah dalam konteks Indonesia agaknya lebih populer disebut sebagai Non-Muslim.
Terkait dengan hak mereka atas zakat, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Pertama, para ulama menegaskan bahwa mereka berhak atas sedekah untuk menjaga hubungan kemanusiaan. Perbedaan agama bukan menjadi halangan untuk dapat berbuat baik kepada sesama manusia selama mereka menghormati Islam dan bersikap kooperatif. Sebagaimana penjelasan firman Allah SWT. dalam surat Al-Mumtahanah (60): 8 berikut:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.
Baca juga: Masjid Dan Keniscayaan Perubahan Tatakelola
Meskipun begitu, prioritas utama penyaluran zakat ini adalah kepada para fakir Muslim karena dapat membantu mereka dalam hal ketaatan pada Allah SWT., Namun apabila fakir Muslim ini tidak bersedia menerima, maka diperbolehkan menyalurkan zakat tersebut kepada Non-Muslim.
Dalam hal zakat harta (amwâl) atau zakat wajib, para ulama sepakat untuk tidak memperbolehkan menyalurkannya kepada Non-Muslim. Perlu ditegaskan bahwa para ulama yang berpendapat tidak boleh menyalurkan zakat mâl kepada fakir Non-Muslim, bukan berarti bahwa para ulama membiarkan fakir Non-Muslim ini dalam kondisi kesulitan karena hak fakir non-Muslim ini dapat diambil dari baitul maal yang lain, misalnya fai’ dan ghanimah.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, idealnya zakat diberikan kepada fakir Muslim karena merupakan pajak atas kekayaan orang-orang mampu umat Islam, namun zakat juga boleh diberikan kepada orang Non-Muslim apabila dana yang dikumpulkannya cukup dan orang-orang fakir Muslim sudah menerima zakat.[]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment